Indah
sekali rasanya pagi hari ini, setelah aku terkapar dua hari berturut-turut
dalam pesakitan. Aku bangun kembali dalam keadaan bugar, meski masih menyisakan
pegal, tapi rasa-rasanya otakku sudah mulai waras.
Aku memulai
tulisan ini berteman syair-syair lirih nyanyian seorang penyanyi terkemuka,
Anggun. Ya, aku menyukai lagu-lagunya tiap kali aku menulis ide-ide.
Baiklah,
aku mulai saja. Jadi begini. Orang punya ribuan, atau bahkan berjuta alasan
mengapa ia mencinta, mengucapkan kata cinta, memberikan cinta dan mendamba
sebuah cinta. Mungkin, aku berbeda. Ya, berbeda, karena bagiku, cinta memang
tak punya alasan yang cukup kuat untuk dilogika, sebab perasaan dan pikiran
adalah dua ruang yang sulit disatukan, meski keduanya harus bersinergi. Dan
cinta, aku sudutkan ia dalam ruang rasa. Jiwa.
Ini adalah
sebuah muqaddimah singkat dari obrolan dua orang dalam sebuah telepon genggam
saat itu. Sulit sekali akal sehatku menilai tentang arti kesungguhan yang hanya
terdengar oleh suara-suara, tanpa aku melihat dalam sosok nyata nan sempurna,
tetapi cinta, terkadang memang tak harus terjadi pada dua insan yang bertatap
muka.
Panggil
saja dia dengan sebutan mbokde. Ya, itu sudah lebih dari cukup. Sosok perempuan
yang aku kenal sejak beberapa hari belakangan, dia jauh nun di sana, aku pun
tak pernah bersua untuk berkenalan seperti umumnya orang-orang. Berjabat tangan
dan sebut nama. Aneh, tapi ini nyata, dan aku tulis demikian adanya.
“Mbokde”,
panggilku lirih lewat telepon genggam. Hp orang banyak menyebutnya.
“Iya
pakde”, dia menimpal balik panggilan itu. Kami memang sudah akrab dengan
panggilan tak biasa itu, karena aku masih terbilang muda untuk menerima
panggilan seperti itu, dan begitu pula dia.
Sepertinya,
telah terjadi kesepakatan tak tertulis atas panggilan yang tidak biasanya itu,
tapi aku merasa akrab dan kini justru menjadi terbiasa. Aku nyaman dengan
panggilan itu karena ada nuansa keakraban yang tersirat di dalamnya. Agama
memang menganjurkan untuk memanggil seseorang dengan panggilan yang baik, dan
itu tertulis dalam surah Al Hujurat. Sebuah surah yang terdapat di dalam kitab
Suci Umat Islam. Al Qur’an. Pesan dalam surah tersebut, seingatku, ialah agar
kita jangan memanggil sesama saudara dengan panggilan yang tidak menyenangkan.
Sebaiknya memanggil seseorang sesuai dengan namanya, atau kalau seseorang
mempunyai kunyah,[1] maka
panggilan akrab itulah yang menjadi sebutan saban harinya. Mungkin kunyah kita,
kau dengan sebutan “Al Mbokdei”, sebaliknya aku “Al-Pakdei”.!! Aku menyukai
panggilan itu, dan aku yakin tidak melawan Al Qur’an.!
Waktu
obrolan kami saat itu pada malam hari. Masih segar benar ingatanku, karena kita
sama-sama masih dalam keadaan sadar dan belum mengantuk.
“Mbokde,
maaf yah, aku ini sebenarnya punya perasaan tersendiri dengan sosokmu itu”, aku
ku dengan jujur tanpa basa-basi. Perasaan ini mulai menyeruak ke permukaan setelah
beberapa hari aku mengenal sosok mbokde, dan kami hanya bisa bersapa lewat
media komunikasi saja.
“Perasaan
gimana to pakde?”, sahutnya datar.
“Aku
mengagumimu, bahkan mungkin lebih dari itu”, kalimat tak kongkrit ini pikirku.
Tapi biarlah, pikirku, biar tak kehabisan bahan obrolan.!
Di
sela-sela obrolan, aku justru menyelanginya dengan sedikit bercurhat tentang
masa lalu, dari beberapa peristiwa yang telah berhasil menyentak pikiran,
perasaan dan mentalitasku, namun berhasil aku hadapi semuanya. Dan begitu pun
ia, meski aku tidak meminta, dengan sendirinya dia pun terpancing untuk
melakukan hal yang sama, yakni curhat. Saling curhat ini rasanya membuat
obrolan merambat ke mana-mana, dan itu justru membuat fresh, meski terkadang
beberapa hal sayup-sayup tak terdengar dengan jelas. Maaf. Kita terkadang
bercerita terlalu panjang, sehingga ada beberapa poin cerita yang nyaris
terabaikan. Memang, mendengarkan curhat lewat handphone, agak terbatas, karena
suara, diakui atau tidak terputus-putus. Secara teori, mendengarkan curhat,
keluhan, cerita, atau apapunlah yang sejenisnya, lebih efektif jika dilakukan
dengan saling berhadapan serta bertatap muka. Singkatnya, menjadi pendengar
yang baik, setidaknya bagiku, bukanlah perkara yang mudah.
“Apa alasan
kamu punya perasaan seperti itu?”, pertanyaan ini tiba-tiba terdengar nyaring
dari kejauhan.
Rupa-rupanya
mbokde disela-sela curhat tadi, juga mencermati pengakuanku itu. Sepertinya dia
paham maksud perkataanku yang tak kongkrit tersebut. Sejenak aku tertawa, agar
tak terlihat grogi, dan obrolan ini tetap rileks.
“Hhhmm, aku
suka sama kamu bokde. Yaa, nggak ada alasannya kenapa aku suka dan punya rasa
sayang itu terhadap kamu”, kalimat ini terkesan formal gumamku.
Agak serius
aku bicara lebih lanjut, “bagiku, cinta dan sayang itu tidak butuh logika,
karena ia datangnya dari perasaan yang memiliki fungsi merasa”. Ahhk, aku
seperti sedang presentasi sebuah karya ilmiah.
“Yaa ada
lah, perasaan itu pasti ada alasannya, coba apa alasannya kamu bilang gitu
tadi”, mbokde kembali memberikan penegasan.
Aku juga
tak mau kalah dan memberikan penegasan bernada alibi, “aku kan sudah bilang,
perasaan itu tak butuh logika, karena perasaan yang sedang aku rasakan sekarang
tak bermotif, dan biasanya, perasaan yang diungkapkan jika dibarengi dengan
alasan-alasan, berarti perasaan itu tidak murni serta agak jauh dari kemurnian
sebuah rasa”, ungkapku panjang lebar.
Mbokde
terlihat agak terdiam, mungkin dia sedang bingung, pikirku. Begitu pun aku, tak
kalah bingungnya, tapi kebingunganku justru muncul dari ketakutan-ketakutan,
karena aku tak terbiasa mengungkapkan sebuah perasaan kepada seorang wanita.
Oke. Coba
kita berteori sejenak. Menurut seorang pakar psikoanalisis kelahiran Freiberg,
Moravia, Republik Cekoslowakia, Sigmund Freud, pada diri manusia itu terdapat
tigas aspek, yaitu aspek biologis (ID), aspek psikologis (EGO), dan aspek
sosiologis (SUPEREGO). Menurutnya, perasaan terdapat pada aspek psikologis di
dalam diri manusia, yang terlihat pada sikap empati yang diberikan kepada orang
lain. Selain itu, aspek psikologis, menurut Freud, berada pada alam antara
sadar dan tidak sadar, karena tugas ego adalah penyalur antara ID dan Superego.
Singaktanya begitu, dan intinya, ketiga aspek itulah yang membentuk kepribadian
seseorang, dan kepribadian adalah aktualisasi proses kehidupan dalam diri
indiviidu yang bebas, terintegrasi secara sosial, dan menyadari keberadaan jiwanya.
Kalimat terakhir ini merupakan kesimpulanku dari teori Sigmund Freud yang
terkenal itu. Lalu, apa hubungannya kepribadian dengan perasaan, pikirku liar.
Jawabannya, pikirkan saja sendiri, karena aku lagi nggak mau berteori, karena
kalau banyak-banyak berteori nanti malah membuat aku menuhankan rasionalisme,
hentakku dalam hati.
Aku
tercengang dengan teori Sigmund Freud, dan menganggapnya sebuah teori yang
tidak utuh dan tidak lengkap dalam memandang manusia. Bagiku, teori lengkap
tentang pandangan terhadap manusia hanya terdapat pada sosok Imam Al Ghazali. Beliau,
menurutku, lebih komprehensif dan substantif dalam memandang manusia. Bayangkan
saja, beliau mengatakan bahwa pada diri manusia terdapat empat aspek, qalb,
ruh, nafs, dan ‘aql. Raja dari semua aspek itu adalah nafs, kedua qalb,
selanjutnya ruh, dan terakir ‘aql. Dan yang merasa (perasaan), menurut Al
Ghazali terdapat pada ruh. Ruh adalah jiwa. Perlu kita ingat, ruh menurut Imam
ini mempunyai arti benda dan arti daya. Aaakkh, aku berterori lagi, dan
lagi-lagi berteori. Bodoh sekali aku, pekikku. Cukup..cukup..!!
“Jadi
begini mbokde”, lanjutku, “rasa cinta dan sayang itu adalah sesuatu yang
immaterial dan irrasional. Ia tak butuh dijelaskan secara logika atau
dirasionalisasikan, karena rasionalisasi-rasionalisasi hanyalah kumpulan alibi-alibi,
dan alasan-alasan yang memiliki motif”. Selanjutnya, “ketika kita merasakan
kenyamanan terhadap sosok seseorang, entah karena faktor apa, maka ia hanyalah
menjadi sebuah perasaan yang dirasa, sebuah rasa yang memberikan ketenangan di
dalam hati dan di jiwa”. Jadi, ia hanya merasa, dan merasa, selanjutnya merasa,
bahkan terus merasa, kemudian menjadi rasa”. Oleh karena itulah mengapa
perasaan itu tidak dapat dipaksa, dan jika tidak ada rasa, maka ia sulit
dipaksa untuk menjadi rasa.
“Terus?”,tanya
mbokde lagi.
“Yaa nggak
ada terusnya, ya udah begitu aja”, jawabku mentok. Dan pikirku, jangan-jangan
aku ini sedang gila.!!!!
Hahahaha.
Kami tenggelam dalam tawa. Dan tak berhenti sampai di situ, dalam menulis ini
pun aku masih ingin tertawa terbahak-bahak. Upss.!!
“Yaa udah,
ke Palu gih pakde”. Sahut mbokde datar. Sepertinya ia tak begitu simpatik
dengan ceramahku barusan.
“Iya deh,
nanti aku ke Palu, kita berdiskusi, sambil aku jelasin”, sahutku riang. Pede
sekali aku.!
Singkat
sekali pernyataan itu gumamku dalam kebingungan. Dan kamipun lantas menyudahi
obrolan lewat barang kecil yang canggih produk kemajuan zaman itu. HP. Dan
mengakhiri dengan salam, dan dijawab pula dengan salam.
Sambil
berlari aku menghampiri teman-teman di mana tempat aku nongkrong bersama malam
itu sambil berteriak, “Paluuuu,,, Paluuu,, Paluuu..!!”
Ajis,
seorang teman nongkrong lantas terperanjat, begitu pula teman-teman lainnya,
sebut saja nama mereka, Ajay, Tukil, Yogo, Ibnu, dan Malkan, dalam keadaan
bingung mereka lantas berujar, “kamu cari palu rik, buat apa?”.
“Hahahaha,
nggak, nggak, maksudku aku pengen ke Palu bro”, jawabku agak sumringah.
“Oooalaaah,
kirain ada apa”, sahut mereka lega.
“Emang ada
apa di Palu rik?”, tanya Ajis penasaran.
“Ada deh,
mau tau aja.!”, jawabku sembari tertawa.
“Kayak
orang gila kamu rik”, sahut Tukil.
“Jiiah,
bukannya dari dulu aku emang udah gila kil?”, candaku.
Hahahaahahaha.
Kami tenggelam dalam tawa dan sembari melanjutkan obrolan santai di warung
kopi. #
Hidup terus berjalan. Itu
takdir. Takdir yang tak dapat dilawan oleh semua makhluk hidup. Selama dunia
masih ada, nafas kehidupan masih akan terus ada, dan di situlah setiap orang
juga akan menuliskan sejarah-sejarahnya serta menentukan nasibnya.
Begitu pula perasaan manusia
terhadap manusia lainnya, akan terus hidup seiring berjalannya
interaksi-interaksi, dan hanya kematianlah yang berhak membunuh perasaan itu.
Prinsipnya, hanya ada dua
kekekalan yang dalam hidup, yaitu kematian dan perubahan. Perubahan-perubahan
akan terus terjadi, dan itu merupakan hukum alam, hukum kehidupan, karena
perubahan tersebut akan membuat seseorang menjadi apa dan siapa.
Aku merasa perubahan baru
terjadi dalam diriku. Dimulai saat aku merasakan gejolak jiwa yang
menggebu-gebu mengenai cinta dan kasih sayang terhadap sesosok perempuan yang
telah berhasil membangkitkan kembali rasa yang nyaris mati di penghujung tahun
lalu. Perasaan seseorang memang sensitif, dan mungkin karena sensitif itulah
meengapa Tuhan berulangkali mengatakan agar manusia menjaga hatinya, karena
jika sedikit saja bercak kotor mengotorinya, maka sulit untuk membersihkannya
kembali.
Bagiku, bercak kotor yang
mengotori hati dan perasaanku tempo hari ibarat najis yang harus segera
disucikan, dan dibasuh dengan air suci pula. Ya, air suci bernama cinta, cinta
yang baru, kasih dan sayang yang baru.
Hari ini, seperti biasanya
aku bersama teman-teman punya jadwal nongkrong bareng di
warung kopi. Bagi mahasiswa Jogja, warung kopi adalah tempat yang tepat untuk
menghabiskan waktu, karena banyak hal yang dapat dikerjakan di sana. Bahkan,
konon ceritanya, warung kopi zaman dulu, terutama di kawasan Asia Tengah, mampu
menghasilkan berbagai gagasan dan ide-ide cerah, karena warung kopi tak hanya
dijadikan sebatas nongkrong belaka, melainkan sebagai ruang berbagi pengetahuan
dan pengalaman, sehingga memunculkan ide-ide cerah. Di kota Gudheg sendiri,
warung kopi kerap dijadikan sebagai ruang diskusi, rapat organisasi, peguyuban,
dan berbagai perkumpulan lainnya. Warung kopi adalah ruang non-formal yang tak
terikat serta bebas, sehingga orang merasa nyaman dalam menyampaikan
pendapat-pendapatnya.
“Gimana skripsimu Jay?”, tanyaku
santai pada Ajay yang sedang serius berhadapan dengan laptopnya.
“Beres, udah di-acc ini,
besok tinggal daftar munaqosah”, jawabnya penuh semangat.
“Alhamdulilah, kalau begitu,
aku ikut senang, berarti kan usaha kita berhasil”, tukasku empatik.
“Dan kamu Jis, piye, kayaknya
galau begitu.!”, tanyaku pada Ajis yang tampak bingung.
“Aahhh mbuh rik, ini malah
dicoret-coret lagi skripsiku, pusing aku”, celoteh Ajis.
“Hahahahaha,,,kalau nggak
dicoret mana mungkin kamu tahu kesalahan skripsimu Jis,,Jis”, jawabku penuh
canda. “Ya, udah ayo kita perbaiki lagi, jangan murung kayak gitulah bro,
santai aja, oke”, aku coba menyemangati Ajis, begitupun Ajay ikut menyemangati.
Ajay dan Ajis adalah dua
sosok mahasiswa tingkat akhir yang sedang bekerja keras menyelesaikan tugas
akademiknya, skripsi sejak sebulan lalu yang kami kerjakan secara bersama-sama.
Sementara aku sendiri ditakdirkan lulus tiga bulan sebelumnya, dan bagiku,
membantu mereka mengerjakan skripsi merupakan suatu kewajiban, karena mereka
juga adalah teman seperjuangan.
“Ehhh rik, gimana mbokdemu?”,
celetuk Ajis secara tiba-tiba. Aku memang pernah cerita dengan Ajis mengenai
perempuan yang aku panggil mbokde. Meski tidak banyak mengerti tentang aku dan
mbokde, Ajis sepertinya ingin tahu.
“Hhhheemm, sudah,,sudah,
kerjain aja itu dulu skripsimu”, jawabku mengelak, sambil memberikan laptop
kepada Ajis.
Ajay dan Ajis pun tenggelam
dalam kesibukannya mengerjakan skripsi mereka. Sementara aku asyik sendiri
dengan handphone ber-merk blackberry, BBM-an dengan mbokde. Sesekali Ajay dan
Ajis mencolek aku yang mendengar dan melihat aku tertawa sendiri dalam
keasyikanku, dan sesekali pula mereka bertanya kepadaku, meminta pertimbangan
dariku tentang skripsinya, karena aku memang bertanggung jawab terhadap isi skripsi
yang mereka kerjakan itu.
.......................###.........................
Hari ini aku merasa gelisah
sekali. Apa-apa serba salah, dibawa tidur tetapi mata tak mengantuk, mau keluar
hujan deras sekali. Aku tidak memutuskan untuk melakukan apa-apa dalam
kegelisahan itu, kecuali berusaha untuk mencari sumber dari kegelisahan yang
aku rasakan sejak terbangun dari tidur tadi pagi.
Aku pikir, setiap orang pasti
pernah mengalami hal yang serupa, persis
seperti yang aku rasakan ini, dan kegelisahan tentu datang bukan tanpa
sebab. Sederhananya, ada asap pasti ada api, ada air pasti ada sumber air. Dan
begitupun dengan kegelisahan yang aku rasakan ini, tak luput dari sebab-sebab
yang pasti ada sumbernya. Lalu, aku ingat-ingat kembali dalam pulasnya tidurku
semalam, aku bermimpi apa, dan aku ingat, barusan tadi malam, dalam tidur aku
bermimpi ibu menelpon aku dan menyuruh aku untuk segera pulang ke kampung
halaman. Kalimantan, tanah kelahiranku 27 tahun silam. Ya, aku pun sudah rindu.
Maklum, sejak setahun yang
lalu, hingga aku mengangkat toga, bahkan sampai detik ini aku memang belum
melihat wajah beliau, dan sangat jarang menelpon. Di situ, aku lantas
berkesimpulan, bahwa beliau sangat merindukan aku yang jauh ini, dan begitu
pula aku merasakan hal yang sama.
Tiba-tiba handphone-ku
berdering, sebuah panggilan datang dari rumah, kampung. Abangku. Dan aku segera
mengangkat telepon itu.
“Rik, sudah sampai mana?”, tanya
abang dalam suara telepon.
Aduh. Sebuah pertanyaan yang
memang aku hindari sejak kemarin aku dikirim biaya untuk pulang, gumamku dalam
hati.
“Belum berangkat bang, aku
belum menyelesaikan urusanku ini”, jawabku penuh alasan.
“Oohh, itu lho umak udah nunggu
kamu dari kemarin, katanya mau pulang secepatnya”, tukas abang.
“Iya bang, segera setelah
pekerjaanku selesai aku akan pulang, dan bilang sama umak”, kataku.
“Ya udah, nanti kalau udah
berangkat pulang, kasihkan kabar”, perintah abang santai.
“Oke...oke bang, nanti aku
telepon kalau aku sudah di jalan”, jawabku lirih.
Alhamdulillah. Aku merasa
lega setelah menjawab telepon dari abang, meski sebenarnya aku belum memastikan
kapan aku akan beranjak untuk pulang dari tanah rantauan ini, karena masih
berat kaki ini untuk aku langkahkah pulang, pun aku mau apa di rumah selain
bertemu ibu dan segenap keluarga?, pikirku bodoh.
Sejujurnya aku memang belum
ada rencana untuk pulang ke kampung halaman karena bagiku, hidup di tanah
rantauan merupakan pilihan yang memang aku harus tempuh. Lagi pula aku ini kan
anak terakhir dari enam bersaudara, dan selain aku, saudara-saudaraku sudah
berkeluarga semua, jadi, aku berusaha untuk menentukan takdir hidupku sendiri,
dan aku pikir, takdir hidupku memang di tanah rantauan, entah di mana, akupun
tak tahu, tapi yang pasti saat ini kakiku masih menginjak tanah jawa, tanah
rantauan yang pertama kali aku injak sejak meninggalkan kampung halaman 12
tahun silam, Solo saksinya, dan berlanjut di Jogja.
Jogjakarta 23 November
2012,hujan. Deras sekali hujan kali ini, aku putuskan untuk tak ke mana-mana
hingga hujan berhenti, sebab, tepat pukul 24.30 WIB, aku harus keluar ke warnet
untuk membuka e-mail sembari menulis artikel pesanan seseorang yang memberikan
aku sebuah pekerjaan sejak bulan lalu.
Pekerjaan sudah rampung, dan sepertinya aku akan segera pulang ke
Kalimantan. Selain itu, aku pun sudah mulai merasa kesepian hidup sehari-hari
di Jogja, mungkin sudah bosan, merasa tak lagi punya teman, dan sering merasa
kesepian. Kejenuhan seperti ini terkadang memberontak dalam hatiku, terlebih
saat musim hujan, sering bersendirian di tengah-tengah keramaian orang, dan tak
dapat ditampik, aku juga mulai malas berurusan dengan ibu kost. Kondisi-kondisi
ini membuat aku mulai putus asa, dan jauh dari rasa semangat.
Sesaat kemudian handphoneku berdering yang jelas pertanda ada panggilan. Ken,
aku lihat nama itu yang muncul dalam deringan telepon. Seakan-akan dia mengerti
jika seharian ini aku mendekam di kamar kost tanpa sedikitpun melihat matahari
di luar karena memang hujan sehingga aku merasa malas membuka pintu ataupun
jendela kamar.
“Halloo, lagi di mana rik?”, suara dalam telepon itu berbunyi.
“Aku di kost aja Rif, piye?”, sahut dan tanyaku balik.
“Ngopi yuuk, sepi ini lagi malas di kost”, ajaknya.
Tanpa sungkan dan alang kepalang aku pun lantas menjawab “Oke rif, siiap,
kalau urusan ngopi, apalagi saat cuaca dingin begini cocok banget”. Hahaha,
kami tertawa riang dalam telepon.
Kami pun lantas berangkat untuk nongkrong di warung kopi sejak sore hari. Rasa
tak terima muncul ketika di warung kopi aku dan Ken hanya duduk berdua karena
kami yakin tak akan ramai tanpa teman-teman yang lain bergabung bersama-sama. Tanpa
disuruh aku pun mengirim sms ajis, fida, bogel, dan lain-lain untuk menyusul
kami berdua di warung kopi tempat biasanya kami bersenda gurau. Sementara Ken
sedang sibuk dengan laptop di hadapannya.
Tak lama kemudian, teman-teman yang aku sms pun berdatangan. Suasana berubah
menjadi ramai seketika, dan nuansa persekawanan seperti ini memang menjadi
santapan kami sehari-hari jika sedang berkumpul bersama, karena ikatan
persahabatan ini memang sudah dirajut sejak tiga tahun silam. Seketika, rasa
sepi dan kebosanan yang tadi aku alami lenyap begitu saja tenggelam dalam gelak
tawa kami di warung kopi. Malampun berlalu begitu saja, dan esok hari akan
segera datang menyapa.
Hari ini aku bagun tidur agak siang. Agak malas rasanya tuk beranjak dari
kasur dan memulai aktifitas seperti biasanya. Aku tak putuskan apa-apa dalam
kemalasan itu, kecuali terbaring dan berbaring sampai-sampai tak terasa jam sudah
menunjukan pukul 12.00 siang. Semangat tak kunjung datang, tapi aku masih teringat
mimpi semalam, mimpi berjumpa dengan bokde. Si dia yang jauh di seberang sana,
dan dalam waktu bersamaan bokde menelopon, seakan-akan ia tahu bahwa semalam
aku memanggilnya dalam mimpi panjangku. Ini bukanlah suatu keanehan, gumamku
dalam hati, tapi hanyalah suatu kebetulan saja.
“Pakde, sedang apa?”, sapa bokde dalam suara telepon.
“Aku baru bangun tidur bokde, nggak tau ini tidurku lelap banget
sampi-sampai jam segini baru bangun”, sahutku agak lesu.
“Apa..!!! baru bangun jam segini.?!!”, tukas bokde dengan nada seperti
terperanjat tapi nada-nadanya marah. “..kamu itu tiap malam begadang, makanya
bangun kesiangan trus, mbok yoo jangan begadang terus kasian tubuhnya nggak
sehat, ntar kalo sakit gimana, hayoo?”, sambungnya.
Perhatian sekali bokde dengan aku, gumamku dalam hati. Dan segera aku
menjelaskan mengapa aku bangun kesiangan adalah karena kelelahan, dan
sepertinya dia memakluminya.
“Ya sudah, mandi sana dulu trus makan”, suruhnya lewat suata telepon.
Tuuttt,,tuuuttt,,tuutt,, suara telepon itupun berhenti dan percakapan kami
pun berhenti sampai di situ saja. Demi membangkitkn kembali semangat, maka aku
segera bergegas ke kamar mandi, berharap nanti setelah mandi dan makan aku
bersemangat untuk mengerjakan finalisasi pekerjaanku yang dianggap gagal oleh
rekanku yang memberikanku pekerjaan itu.
Dan ternyata benar. Air yang membasahi tubuh ternyata dapat memberikan rasa
kesegaran, maka tak heran tuhan mengatakan bahwa air dapat menjadikan semua
mahkluk hidup itu hidup. Terlebih lagi jika dibarengi dengan makanan yang masuk
ke dalam perut, asal tak berlebihan, maka makanan pun menjadi sumber hidup
(semangat), sehingga ada benarnya juga jika Abraham Maslow, seorang pakar psikolog
eksistensial humanistik itu mengatakan bahwa fisiologis adalah kebutuhan paling
mendasar pada diri individu. Teori Maslow itu dikenal dengan teori jenjang
kebutuhan, yang berbentuk piramida utuh.
Setelah mandi dan makan aku lewatkan, aktivitas menulis juga segera aku kerjakan
hingga menjelang sore hari. Seperti biasa, kalau sudah sore, handphopne pun
berbunyi, dan kali ini pesan yang masuk. Dari Ken. Seperti biasa, sahabatku
yang satu ini ngajak ngopi lagi. Aku
memang sempat merasa aneh akhir-akhir ini karena sahabatku ini sangat sering
menghubungi aku untuk sekadar mengajak nongkrong baersama, padahal beberapa
bulan lalu dia sibuk dengan pekerjaannya. Namun, rasa heranku itu segera
terjawab karena terdengar kabar Ken memang sedang butuh ditemani, sebab, lagi
frustasi akibat kekasihnya yang entah tanpa alas an meninggalkan dirinya. Kabar
itu aku dengar dari Ajis.
Nongkrong bersama Ken memang tak pernah lama. Karena dia memang disibukan
dengan pekerjaannya untuk mengantarkakn barang yang dipesan oleh pelanggan.
Paling hanya dua sampai tiga jam saja kami nongkrong, dan setelah itu pulang ke
tempat masing-masing, apalagi kali ini teman-teman yang lain tak terdengar kabarnya
ingin menyusul.
Tepat pukul 21.00 WIB aku sudah tiba di kost. Karena tak ada aktivitas, aku
putuskan tuk membuka laptop, dan ingin menonton film yang baru saja aku
copy-paste dari teman di warung, sepertinya film ini bagus sehingga membuat aku
penasaran. Maklum saja, aku memang termasuk orang yang gemar menonton film, dan
kali ini film berjudul Black Gold,
sebuah film yang agak serius bercerita tentang petinggi Arab Saudi yang menjual
lahannya kepada investor asing (Barat) untuk dieksploitasi karena setelah
diteliti di perut bumi dari lahan itu mengandung minyak yang melimpah.
Satu setengah jam, film hampir selesai, tiba-tiba handphone berdering
pertanda ada panggilan. Bokde. Seperti janjinya petang tadi, kalau aku sudah di
kost dia ingin menelepon. Janji yang jauh dari khianat. Dengan kata lain, bokde
memang sosok yang selalu menepati janjinya, setidaknya aku nilai dari janjinya
yang akan menelepon aku kalau aku sudah di kost. Pause, aku klik tulisan itu di
dinding laptop. Aku angkat telepon itu, dan aku memang selalu gembira jika ada
telepon dari bokde. Nonton film dilanjutkan nanti saja, pikirku cepat.
Tak seperti biasanya, obrolan aku dan bokde kali ini tensinya agak tinggi. Itu
jelas sekali terlihat, dan sepertinya terjadi saling salah paham di antara
kami. Gawat pikirku. Sepertinya memang harus segera diakui, bahwa jika ingin
membicarakan tentang hal yang serius dengan menggunakan media elektronik banyak
melahirkan kesalahpahaman. Bahasa kerennya, misunderstanding
atau miscommunication.
“Bukan begitu bokde, kamu itu terlalu cepat menyimpulkan omonganku’,
sahutku dengan nada agak meninggi. “Orang akunya aja belum selesai ngomong kok,
udah kamu simpulkan aja, gimana sih.!”, lanjutku emosional.
Kesalalahpahaman ini bermula saat aku dan bokde ngobrol tentang sesuatu
yang akan serius terkait dengan masa depan dan rencana-rencana ke depan,
terutama terkait dengan rencanaku yang berubah pasca pekerjaan yang baru saja
aku selesaikan itu rampung. Mungkin, bokde merasa bahwa perubahan rencana itu
disebabkan kehadiran dia selama beberapa bulan terakhir ini dalam diriku, dan
bokde tak menginginkan hal itu. Dia tak ingin jika semua rencana yang telah aku
susun rapi justru berubah hanya karena dirinya. Aku pun memahaminya. Tapi, aku
justru memiliki kesimpulan lain yang sangat subyektif, bahwa dari kesimpulan
bokde aku justru berpikir jangan-jangan bokde justru tidak menaruh simpati dan
menolak tawaranku untuk hidup bersama. Tanpa alang kelapang, kesimpulan itu aku
tepis.
“Rencana ini sebenarnya memang sudah lama aku susun, bahkan sebelum aku
kenal dengan bokde lho, jadi jangan salah paham dulu lah”, jawabku emosional.
“Ohh begitu, iya aku paham kok pakde, dan maafkan aku, aku nggak bermaksud
kayak gitu”, tukasnya.
Kami terdiam setelah pertengkaran kecil itu terjadi, namun sudah kami
klarifikasi dan jelaskan satu persatu duduk perkaranya. Dalam kondisi saling
diam, tiba-tiba telepon terputus, dan tepat, sepertinya obrolan agak panas ini
memang harus segera dihentikan agar tak berkepanjangan. Dan sebelum tidur, kami
saling klarifikasi, bahwa di antara kami hanyalah terjadi kesalahpahaman, dan
saling meminta maaf. Malampun berlalu, bokde tidur dan aku masih terjaga
sembari menonton film yang tadi belum selesai.
Setelah aku pikri-pikir, sebenarnya, perubahan dari rencana yang telah aku
susun diakui atau tidak memang berubah karena kehadiran bokde dengan tujuan
bahwa jika aku sukses dengan rencana-rencana baruku itu, maka hal itu aku
harapkan justru untuk mendekatkan diriku kepada bokde. Dan harus disadari,
perubahan rencana itu bukanlah karena unsur keterpaksaan tetapi murni karena
situasi dan kondisi yang memang sedang aku hadapi yang menuntut aku untuk
merubah sekian hal tentang apa nanti yang akan aku kerjakan demi meniti karir. Secara
tidak langsung, aku harus mengakui bahwa bokde adalah salah satu inspirator
sekaligus motivator dalam setiap aktivitas bahkan rencana-rencanaku ke depan. Jangan
salah paham lagi yaah bokde. Oke.!! Tasbih cintaku, (memang) adalah butiran
namamu.!
....................................###..................................
Hidup terus mengalami
perubahan-perubahan. Kejadian atau peristiwa hari ini tak akan pernah terulang
di masa yang akan datang, dan oleh karena itulah sebagian orang terjadang
mengabadikan aktivitas hariannya dalam lembaran-lembaran kertas karena semua hal
yang kita lakukan adalah sejarah untuk diri kita sendiri.
Waktu terus berjalan, dan tak akan
ada siapapun di dunia ini yang dapat menghentikan putaran jarum waktu yang
terus menerus berputar mengikuti masa demi masa. Perputaran jarum waktu ang seakan
tiada lelahnya itu membuat manusia hidup terasa semakin lama, meski terkadang
siang berganti malam, dan malam berganti siang tak disadari oleh manusia. Mengapa
bisa terjadi demikian itu? Ya, karena kita memang tak terbiasa menghitung
waktu, atau mungkin lebih ekstrem lagi, kita adalah salah satu dari kebanyakan
manusia yang kurang menghargai waktu, sehingga waktu berlalu begitu saja tanpa
kita memberikan sebuah arti pnting. Mungkin
karena alasan inilah mengapa tuhan
bersumpah atas nama waktu.!!
Rembulan malam ini telah menunjukan
pertanda kita sedang berada di pertengahan bulan Desember tahun 2012. Bulan purnama itu tampak sangat rendah,
seakan ingin bersatu dengan bumi, seperti halnya jika kita sedang berada di
tengah-tengah lautan, maka pada sore hari dengan mata telanjang kita akan
melihat matahari yang seakan ingin tenggelam ke dasar lautan, padahal sejatinya
ia sedang berlari ke ufuk barat untuk meninggalkan siang.
Aku tetap memuji rembulan, terutama
bulan purnama malam ini, meski tak sedikit orang mengatakan bahwa kita memang
sering ditipu oleh bulan. Dari kejauhan ini tampak sekali bulan itu amat sangat
indah, menyegarkan pandangan mata, serta menyejukan jiwa bagi yang memandang
dengan pujian. Namun, bagi yang sinis, maka mereka akan mengataan bahwa
penampakan rembulan sesempurna itu hanyalah tipuan belaka, sebab jika dilihat
dari dekat, katanya, bulan itu cekung, bolong, serta kotor, sama halnya dengan
bumi. Tetapi, karena kita hanya mampu melihatnya dari jauh, maka bulan itu
tampak sangat indah, dan jauh dari cela sedikitpun.
“Aaaahh, kayak pernah mendarat di
bulan saja orang-orang sewot itu”, dengan nada jengkel aku berkata dalam hati,
karena aku sendiri tak termasuk dalam golongan mereka yang sinis terhadap
penamakan rembulan. Apapun kata-kata mereka tentang keindahan ini, bagiku tidak
penting, kita sama-sama mempunyai pandangan sendiri-sendiri. Bagiku, sampai
kapanpun, rembulan akan tetap terlihat indah sampai kelak jika ia pecah karena
telah ditakdirkan akan bertabrakan dengan planet, matahari, bintang, serta
benda-benda langit lainnya. Kiamat.!
Mendengar kata kiamat , pikiranku
lantas berpaling dari pemujianku terhadap keindahan rembulan malam ini. Yang tadinya
pikiran dan mata dihiasi dengan keindahan karena takjub kepada rembulan kita
semerta-merta berubah drastis menjadi gelap. Aku lantas teringat kembali dengan
ramalan bangsa Maya, bahwa pada tanggal 21-12-12 akan terjadi kiamat, dunia
akan hancur.!! Secara keyakinan memang aku tak meyakininya, tapi berita beredar
di seluruh penjuru dunia, bahkan telah membuat gaduh sebagian manusia. Namun,
gencarnya pemberitaan ramalan bangsa Maya tentang hari kiamat membuat aku
beranjak dari tempat ini dan menuju ke kost, dari pada aku sendiri ikut-ikutan
mengamini bangsa Maya, pikirku, lebih baik aku tidur saja.
Kesokan harinya berita sesat lagi
menyesatkan itu, gumamku dalam hati, masih saja bergema di mana-mana. Rasa-rasanya
ingin sekali aku meluruskan kepada segenap umat manusia di muka bumi ini, bahwa
ramalan itu tidak benar, karena kiamat adalah urusan tuhan saja. Tapi kenyataannya,
hari ini aku lihat banyak orang yang akan pulang kampung, sebab, berita ini
juga bersamaan dengan waktu libur natal.
Aku sudah tak mau peduli dengan
berita ini lagi, karena hari ini aku harus pergi menemui temanku yang kemarin
hari memohon bantuanku untuk menyelesaikan tugas kuliahnya, sebab tak lama lagi
ujian akhir semester akan digelar. Bagiku, membantu teman ini adalah penting
dari pada memikirkan serta mendengarkan berita sesat lagi menyesatkan itu.
Dengan berjalan kaki, aku telah
sampai di kost temanku yang ku maksud. Yoga. Tak perlu waktu lama aku berada di
kost Yoga, dia lantas menyuguhkan sebuah laptop sekaligus menunjukan
tugas-tugas kuliahnya kepadaku untuk aku selesaikan selama dua hari. Aku pun
kaget, karena kemarin hari kita telah mufakat untuk mengerjakannnya
bersama-sama.
“Loh, Yoga, ini kok dikasihkan ke
aku, bukannya kita mau ngerjain tugasmu bersama-sama?”, tanyaku dengan wajah
terheran-heran sambil memegang laptop yang disodorkan Yoga ke tanganku.
Dengan nada terburu-buru Yoga menjawab, “Rik, aku minta tolong
banget sama kamu, aku nggak bisa ngerjain ini bareng kamu, jadi aku minta
tolong kamu saja yang ngerjain sendiri, karena aku yakin kamu bisa. Aku buru-buru
mau pulang ini, tadi aku ditelpon ibu disuruh pulang, bapakmu masuk rumah sakit
dan sekarang dalam keadaan koma..!!”, papar Yoga dengan wajah gelisah sekaligus
khawatir dengan kondisi bapaknya yang sedang terbaring sakit di rumah
pesakitan.
“Oke bro”, dengan penuh empatik aku
berkata, “Siap, ini aku kerjain sendiri aja nggak apa-apa bro, kau pulang saja,
temani bapakmu dan aku doakan semoga bapak segera sembuh”, amin. Sembari aku
memberikan semangat kepada Yoga agar dia jangan terlalu panik dengan kondisi
ini.
“Kau segeralah pulang, sampaikan
salamku untuk keluarga, dan jangan lupa, pastikan kau balik ke Jogja jika
bapakmu sudah dalam kondisi sehat, oke?”, aku tak tega melihat wajah Yoga yang
tampak dirundung kesedihan karena bapaknya biasanya tak pernah sakit sampai
separah ini.
Tak lama kemudian, Yoga keluar dari
kost-nya dengan menyangking tas kecil sembari mengenakan helm, dan dia putuskan
untuk pulang ke rumah dengan mengendarai sepeda motor. Sementara aku meminta
kepadanya untuk mengantarkanku ke kost Ajis.
Sesampainya aku di kost Ajis, aku
lihat dia sedang tertidur pulas, paling tadi malam habis begadang pikirku. Karena
sudah merasa siang, aku lantas membangunkannya dan kebetulan aku juga sedang
membawa makan, dan aku yakin Ajis pasti belum makan siang.
Menjelang sore hari tiba, aku
bersama Ajis memutuskan untuk keluar ke warung kopi. Setelah jam menunjukan pukul
20.00 WIB, handphoneku berdering, dan segera aku menjawab sebuah telepon dari
nomor yang tak aku kenal.
“Halo, siapa ini?”, tanyaku ingin
tahu.
“Halo, ini Hijra mas, sampean di
mana sekarang, ini Fida abis kecelakaan, parah banget, sampean tak tunggu di
kost ya”, suaranya terdengar gemetar. Dan aku tidak kaget, ekspresiku
biasa-bisa saja, karena aku belum yakin jika berita ini benar demikian.
“Iya, bentar lagi aku sama Ajis tak
ke kostmu bro”, jawabku datar dan dengan nada santai seakan-akan tak percaya
dengan berita ini.
Setelah setengah jam aku dan Ajis
tak beranjak dari tempat duduk, ada sms, yang mengharapkan aku dan Ajis untuk
segera datang ke kost Hirja. Kali ini aku mulai percaya bahwa berita ini benar
adanya, dan segera aku beserta Ajis berkemas-kemas lalu pergi menuju kost yang
dimaksud. Kaget tak alang kepalang, aku lihat wajah Fida penuh dengan darah,
nyaris tak tampak wajah aslinya karena dilumuri oleh darah merah. Tanpa diperintah,
kamipun segera membawa Fida ke rumah sakit. Dan saat sedang berada di rumah
sakit sembari menanti hasil pemeriksaan Fida, handphone kembali berdering, dan
kali ini bokde yang menelpon, dan segera aku bilang saat ini sedang berada di
rumah sakit menunggu temanku yang baru saja habis kecelakaan. Telepon pun segera
ditutup olehnya.
Tak lama kemudian, Fida keluar dari
ruang pemeriksaan dan dinyatakan dokter ntuk rawat jalan saja setelah beberapa
luka di wajah temanku satu ini dijejali dengan beberapa jahitan. Fida,
diinapkan di kost Hijra, dan beberapa saat setelah ia istirahat, tertidur, aku
putuskan untuk kembali ke kost bersama Ajis. Seperti biasanya, di kost aku
telpon-telponan dengan bokde, karena hari ini rindu kian membujuk di relung
hati. Aku tenggelam dalam obrolan lewat handphone dengan bokde, sampai kami
selesai bersenda gurau melalui suara di balik HP. Baru setelah itu aku
menghadap laptop untuk menyelesaikan tugas Yoga yang ia titipkan kepadaku tadi
siang. Dan aku larut hingga tengah malam menjelang waktu subuh.
Selang beberapa hari kemudian, Fida
sudah terlihat sehat dengan perban di sekitar wajahnya, dan terlihat lebam
seperti habis dipukul orang. Hanya itu yang tersisa dari kecelakaannya tadi
malam, dan kondisi ini tidak mengkhawatirkan, bahkan aku anggap telah sembuh. Dan bersamaan dengan ini, Ajay, temanku
diwisuda, aku turut merasa senang atas keerhasilannya dalam menyelesaikan
kuliah.
....................###.........................
Entah mengapa hari ini aku tak
tenang, gelisah tak karuan. Mau berbuat apa serba salah, mungkin rasa kantuk
ini, gumamku dalam hati. Segera saja aku mandi kemudian dilanjutkan makan.
Aku lihat laptop belum sempat aku
rapihkan semalam karena aku ketiduran. Aku nyalakan kembali laptop sementara
tangan kiriku meraih modem di dalam tas untuk aku pasang di laptop. Hari ini
aku sedang butuh online, ingin mengirimkan proposal penerbitan untuk sebuah
perusahaan penerbit buku.
Pada saat sedang asyik dengan
online, tiba-tiba handphone berbunyi pertanda ada pesan masuk. Pesan itu
berbunyi, “Pakcu, Aan mau pulang ini, sekarang lagi di bandara, mama masuk
rumah sakit tadi pagi kata bapak”. Pesan ini dikirimkan oleh keponakanku di
Jakarta, dia perawat di sebuah rumah sakit swasta di sana. Tak panjang aku
menjawab pesan itu kecuali mengingatkan Aan untu berhati-hati di jalan, karena
dia pulang tanpa berteman alias seorang diri.
Aku sendiri tak heran dengan
masuknya mama Aan ke rumah sakit karena sejak dua tahun belakangan rumah sakit
telah menjadi tempat keluar-masuk mamanya. Jadi, aku berpikir paling-paling hanya
memenuhi panggilan rumah sakit untuk sekedar transfusi darah yang memang
dilakukan selama empat bulan sekali, dan kali ini adalah keempat bulannya. Mama
Aan, sejak dua tahun lalu divonis menghidap penyakit Anemia Plastic, sebuah nama penyakit untuk orang yang terindikasi
kekurangan darah merah akut. Dan selama dua tahun belakangan, transfusi darah
berjalan lancar, tak ada hambatan, dan rumah sakit tak pernah kekurangan darah
sehingga mama Aan dapat dikatakan baik-baik saja jika sudah ditransfusi darah
sebanyak tujuh kantong darah.
Sambil berbaring aku masih sibuk
dengan aktivitas online, mengirim tulisan, mengirim proposal, chatting, dan
lain-lain di jejaring sosial. Tak lama kemudian, datang suara telepon dari
abang, bapaknya Aan. Iya bang, wa’alaykum salam, koti[2]?. Tanyaku kepada
abang yang terdengar mengisak tangis. “Udaham kau ay, kakak kau te udah nadak
esik lagik im, udah meninggal dunia todik te[3]”, nada
suara abang melemah. Innalillahi wa inna ilaihi roji’un. Aku pun tak kuasa
untuk menahan kucuran air mata, bahkan saat aku menulis ini.
Segera aku menelpon Aan tapi
nomornya sudah tidak aktif. Mungkin sedang berada di dalam pesawat. Seharian
penuh aku mondar mandir mencari pinjaman uang untuk keperluan pulang malam ini
juga, aku ingin sekali melihat wajah kakak sebelum diuburkan. Dan untu
keperluan pulang, aku dapat pinjaman dan segera aku langsung menuju bandara
Adisucipto Yogyakarta tepat pukul 20.00 WIB. Rasa sedih kian membuncah setelah
tiba di bandara ku ketahui penerbangan sudah tidak ada lagi karena telah
berakhir pada pukul 18.00 petang tadi. Dan aku tak bisa pulang, tak bisa
menghadari acara pemakaman, tak melihat wajah kakak untu terakhir kalinya. Doaku
semoga tercurahkan kepada beliau, Allahummaghfirlaha
warhamha waj’alil jannah matwaaha.[4] Amin.
Peristiwa ini memberikan suatu
peringatan kepadaku bahwa apapun kesibukan yang sedang kita kerjakan, maka
berikanlah waktu untuk menjenguk keluarga di rumah, sekalipun engkau sedang
berada di negeri orang yang jauh. Aku sadari, aku memang terlalu larut untuk
mengurusi pekerjaanku di Yogyakarta sehingga pulang ke kampung halaman belum
sempat tercapai. Kematian kakak merupakan sebuah teguran kepada diriku untuk
jangan sekali-kali menunda kepulangan setelah keluarga berharap aku menemui
mereka di terlebih dahulu sebelum aku melanjutkan aktivitas yang menjadi
pilihan hidupku. Beliau memang kakak iparku, tetapi kebaikannya selama ini
dalam mendidik aku adalah bukti nyata betapa beliau sangat memperhatikan aku
ibarat adik kandungnya sendiri. Hal yang paling aku ingat, beliau adalah sosok
wanita yang ulet, rajin, dan tak pernah sekalipun marah, bahkan di rumah,
beliau lah yang merapihkan tempat tidurku.
Kematian kakak aku ceritaan kepada
bokde. Bokde pun berusaha menenangkan aku melalui telepon dan pesan singkatnya.
Setelah peristiwa ini, aku bertekad bulat akan segera pulang ke kalimantan,
hentakku kesal dalam hati yang masih tersisa sedih. Empat hari kemudian, datang
teleon dari ibu yang dengan nada harap agar aku segera pulang, karena sudah dua
tahun ini aku sendiri tak pernah berjumpa dengan keluarga di Melawi. Sejujurnya,
aku memang sangat ingin pulang bercengkrama bersama keluarga seperti dulu, tapi
kendalaku kini adalah ongkos yang telah aku habiskan untuk berbegai keperluan
di Yogya, maklum sejak mengangkat toga, jatahku telah ditarik, sehingga aku
harus pontang panting mencari sesuap nasi, bahkan terkadang minta kepada orang.
Rasa-rasanya kemarin-kemarin ingin minta ongkos ke rumah untuk biaya pulang,
tetapi rasa malu ternyata lebih dominan di wajahku karena selalu meminta.
Ibu, abang dan keluarga sepertinya
mengerti keberadaanku di Yogya yang tak jelas. Setelah ibu menelpon, abang
lantas menanyakan nomor rekening, karena besok akan dikirim ongkos untuk kedua
kalinya agar aku segera pulang dan, mungkin saja ak berkiprah di sana. Nada pesimis
mulai menggerogoti hati dan pikiranku untuk melanjutkan dua cita-cita besar
yang belum sempat terpenuhi, yakni melanjutkan S2 dan bertemu dengan tasbih
cintaku yang selalu aku sebut dalam do’a harapku. Nul.! Semoga takdir
mempertemukan jiwa kita nanti, karena hanya takdirlah yang akan menyatukan
jiwamu dan jiwaku, sebab, keinginan, hasrat, asa, serta cinta sudah sejak lama
membara, tapi sekali lagi, takdirlah sebagai titik penentunya. Mari bersama-sama
kita memanjatkan do’a.! Nul, aku memanggilmu.#
[1] Kunyah adalah istilah
dalam Islam yang dipakai untuk memanggil seseorang dengan sebutan tertentu,
sebutan yang baik, bahkan dijadikan sebagai sebuah identitas. Kunyah ini pada
masa Nabi Muhammad saw dan di kalangan khulafaurrasyidin sangat lumrah, seperti
Al Hurairah, As-Shidqi, Al Misri, Al Hudaibi, Al Iraqi, Al Dimsyqi, dan
lain-lain.
[2] Koti berarti bagaimana.
[3] Kakak kau sudah meninggal dunia barusan
[4] Ya Tuhanku, ampunilah dosanya, dan
jadikanlah surga sebagai tempat kembalinya.