Tuesday, 25 December 2012

Tasbih Cintaku, Butiran Namamu: Nul.!!


Indah sekali rasanya pagi hari ini, setelah aku terkapar dua hari berturut-turut dalam pesakitan. Aku bangun kembali dalam keadaan bugar, meski masih menyisakan pegal, tapi rasa-rasanya otakku sudah mulai waras.
Aku memulai tulisan ini berteman syair-syair lirih nyanyian seorang penyanyi terkemuka, Anggun. Ya, aku menyukai lagu-lagunya tiap kali aku menulis ide-ide.
Baiklah, aku mulai saja. Jadi begini. Orang punya ribuan, atau bahkan berjuta alasan mengapa ia mencinta, mengucapkan kata cinta, memberikan cinta dan mendamba sebuah cinta. Mungkin, aku berbeda. Ya, berbeda, karena bagiku, cinta memang tak punya alasan yang cukup kuat untuk dilogika, sebab perasaan dan pikiran adalah dua ruang yang sulit disatukan, meski keduanya harus bersinergi. Dan cinta, aku sudutkan ia dalam ruang rasa. Jiwa.
Ini adalah sebuah muqaddimah singkat dari obrolan dua orang dalam sebuah telepon genggam saat itu. Sulit sekali akal sehatku menilai tentang arti kesungguhan yang hanya terdengar oleh suara-suara, tanpa aku melihat dalam sosok nyata nan sempurna, tetapi cinta, terkadang memang tak harus terjadi pada dua insan yang bertatap muka.
Panggil saja dia dengan sebutan mbokde. Ya, itu sudah lebih dari cukup. Sosok perempuan yang aku kenal sejak beberapa hari belakangan, dia jauh nun di sana, aku pun tak pernah bersua untuk berkenalan seperti umumnya orang-orang. Berjabat tangan dan sebut nama. Aneh, tapi ini nyata, dan aku tulis demikian adanya.
“Mbokde”, panggilku lirih lewat telepon genggam. Hp orang banyak menyebutnya.
“Iya pakde”, dia menimpal balik panggilan itu. Kami memang sudah akrab dengan panggilan tak biasa itu, karena aku masih terbilang muda untuk menerima panggilan seperti itu, dan begitu pula dia.
Sepertinya, telah terjadi kesepakatan tak tertulis atas panggilan yang tidak biasanya itu, tapi aku merasa akrab dan kini justru menjadi terbiasa. Aku nyaman dengan panggilan itu karena ada nuansa keakraban yang tersirat di dalamnya. Agama memang menganjurkan untuk memanggil seseorang dengan panggilan yang baik, dan itu tertulis dalam surah Al Hujurat. Sebuah surah yang terdapat di dalam kitab Suci Umat Islam. Al Qur’an. Pesan dalam surah tersebut, seingatku, ialah agar kita jangan memanggil sesama saudara dengan panggilan yang tidak menyenangkan. Sebaiknya memanggil seseorang sesuai dengan namanya, atau kalau seseorang mempunyai kunyah,[1] maka panggilan akrab itulah yang menjadi sebutan saban harinya. Mungkin kunyah kita, kau dengan sebutan “Al Mbokdei”, sebaliknya aku “Al-Pakdei”.!! Aku menyukai panggilan itu, dan aku yakin tidak melawan Al Qur’an.!
Waktu obrolan kami saat itu pada malam hari. Masih segar benar ingatanku, karena kita sama-sama masih dalam keadaan sadar dan belum mengantuk.
“Mbokde, maaf yah, aku ini sebenarnya punya perasaan tersendiri dengan sosokmu itu”, aku ku dengan jujur tanpa basa-basi. Perasaan ini mulai menyeruak ke permukaan setelah beberapa hari aku mengenal sosok mbokde, dan kami hanya bisa bersapa lewat media komunikasi saja.
“Perasaan gimana to pakde?”, sahutnya datar.
“Aku mengagumimu, bahkan mungkin lebih dari itu”, kalimat tak kongkrit ini pikirku. Tapi biarlah, pikirku, biar tak kehabisan bahan obrolan.!
Di sela-sela obrolan, aku justru menyelanginya dengan sedikit bercurhat tentang masa lalu, dari beberapa peristiwa yang telah berhasil menyentak pikiran, perasaan dan mentalitasku, namun berhasil aku hadapi semuanya. Dan begitu pun ia, meski aku tidak meminta, dengan sendirinya dia pun terpancing untuk melakukan hal yang sama, yakni curhat. Saling curhat ini rasanya membuat obrolan merambat ke mana-mana, dan itu justru membuat fresh, meski terkadang beberapa hal sayup-sayup tak terdengar dengan jelas. Maaf. Kita terkadang bercerita terlalu panjang, sehingga ada beberapa poin cerita yang nyaris terabaikan. Memang, mendengarkan curhat lewat handphone, agak terbatas, karena suara, diakui atau tidak terputus-putus. Secara teori, mendengarkan curhat, keluhan, cerita, atau apapunlah yang sejenisnya, lebih efektif jika dilakukan dengan saling berhadapan serta bertatap muka. Singkatnya, menjadi pendengar yang baik, setidaknya bagiku, bukanlah perkara yang mudah.
“Apa alasan kamu punya perasaan seperti itu?”, pertanyaan ini tiba-tiba terdengar nyaring dari kejauhan.
Rupa-rupanya mbokde disela-sela curhat tadi, juga mencermati pengakuanku itu. Sepertinya dia paham maksud perkataanku yang tak kongkrit tersebut. Sejenak aku tertawa, agar tak terlihat grogi, dan obrolan ini tetap rileks.
“Hhhmm, aku suka sama kamu bokde. Yaa, nggak ada alasannya kenapa aku suka dan punya rasa sayang itu terhadap kamu”, kalimat ini terkesan formal gumamku.
Agak serius aku bicara lebih lanjut, “bagiku, cinta dan sayang itu tidak butuh logika, karena ia datangnya dari perasaan yang memiliki fungsi merasa”. Ahhk, aku seperti sedang presentasi sebuah karya ilmiah.
“Yaa ada lah, perasaan itu pasti ada alasannya, coba apa alasannya kamu bilang gitu tadi”, mbokde kembali memberikan penegasan.
Aku juga tak mau kalah dan memberikan penegasan bernada alibi, “aku kan sudah bilang, perasaan itu tak butuh logika, karena perasaan yang sedang aku rasakan sekarang tak bermotif, dan biasanya, perasaan yang diungkapkan jika dibarengi dengan alasan-alasan, berarti perasaan itu tidak murni serta agak jauh dari kemurnian sebuah rasa”, ungkapku panjang lebar.
Mbokde terlihat agak terdiam, mungkin dia sedang bingung, pikirku. Begitu pun aku, tak kalah bingungnya, tapi kebingunganku justru muncul dari ketakutan-ketakutan, karena aku tak terbiasa mengungkapkan sebuah perasaan kepada seorang wanita.
Oke. Coba kita berteori sejenak. Menurut seorang pakar psikoanalisis kelahiran Freiberg, Moravia, Republik Cekoslowakia, Sigmund Freud, pada diri manusia itu terdapat tigas aspek, yaitu aspek biologis (ID), aspek psikologis (EGO), dan aspek sosiologis (SUPEREGO). Menurutnya, perasaan terdapat pada aspek psikologis di dalam diri manusia, yang terlihat pada sikap empati yang diberikan kepada orang lain. Selain itu, aspek psikologis, menurut Freud, berada pada alam antara sadar dan tidak sadar, karena tugas ego adalah penyalur antara ID dan Superego. Singaktanya begitu, dan intinya, ketiga aspek itulah yang membentuk kepribadian seseorang, dan kepribadian adalah aktualisasi proses kehidupan dalam diri indiviidu yang bebas, terintegrasi secara sosial, dan menyadari keberadaan jiwanya. Kalimat terakhir ini merupakan kesimpulanku dari teori Sigmund Freud yang terkenal itu. Lalu, apa hubungannya kepribadian dengan perasaan, pikirku liar. Jawabannya, pikirkan saja sendiri, karena aku lagi nggak mau berteori, karena kalau banyak-banyak berteori nanti malah membuat aku menuhankan rasionalisme, hentakku dalam hati.
Aku tercengang dengan teori Sigmund Freud, dan menganggapnya sebuah teori yang tidak utuh dan tidak lengkap dalam memandang manusia. Bagiku, teori lengkap tentang pandangan terhadap manusia hanya terdapat pada sosok Imam Al Ghazali. Beliau, menurutku, lebih komprehensif dan substantif dalam memandang manusia. Bayangkan saja, beliau mengatakan bahwa pada diri manusia terdapat empat aspek, qalb, ruh, nafs, dan ‘aql. Raja dari semua aspek itu adalah nafs, kedua qalb, selanjutnya ruh, dan terakir ‘aql. Dan yang merasa (perasaan), menurut Al Ghazali terdapat pada ruh. Ruh adalah jiwa. Perlu kita ingat, ruh menurut Imam ini mempunyai arti benda dan arti daya. Aaakkh, aku berterori lagi, dan lagi-lagi berteori. Bodoh sekali aku, pekikku. Cukup..cukup..!!
“Jadi begini mbokde”, lanjutku, “rasa cinta dan sayang itu adalah sesuatu yang immaterial dan irrasional. Ia tak butuh dijelaskan secara logika atau dirasionalisasikan, karena rasionalisasi-rasionalisasi hanyalah kumpulan alibi-alibi, dan alasan-alasan yang memiliki motif”. Selanjutnya, “ketika kita merasakan kenyamanan terhadap sosok seseorang, entah karena faktor apa, maka ia hanyalah menjadi sebuah perasaan yang dirasa, sebuah rasa yang memberikan ketenangan di dalam hati dan di jiwa”. Jadi, ia hanya merasa, dan merasa, selanjutnya merasa, bahkan terus merasa, kemudian menjadi rasa”. Oleh karena itulah mengapa perasaan itu tidak dapat dipaksa, dan jika tidak ada rasa, maka ia sulit dipaksa untuk menjadi rasa.
“Terus?”,tanya mbokde lagi.
“Yaa nggak ada terusnya, ya udah begitu aja”, jawabku mentok. Dan pikirku, jangan-jangan aku ini sedang gila.!!!!
Hahahaha. Kami tenggelam dalam tawa. Dan tak berhenti sampai di situ, dalam menulis ini pun aku masih ingin tertawa terbahak-bahak. Upss.!!
“Yaa udah, ke Palu gih pakde”. Sahut mbokde datar. Sepertinya ia tak begitu simpatik dengan ceramahku barusan.
“Iya deh, nanti aku ke Palu, kita berdiskusi, sambil aku jelasin”, sahutku riang. Pede sekali aku.!
Singkat sekali pernyataan itu gumamku dalam kebingungan. Dan kamipun lantas menyudahi obrolan lewat barang kecil yang canggih produk kemajuan zaman itu. HP. Dan mengakhiri dengan salam, dan dijawab pula dengan salam.
Sambil berlari aku menghampiri teman-teman di mana tempat aku nongkrong bersama malam itu sambil berteriak, “Paluuuu,,, Paluuu,, Paluuu..!!”
Ajis, seorang teman nongkrong lantas terperanjat, begitu pula teman-teman lainnya, sebut saja nama mereka, Ajay, Tukil, Yogo, Ibnu, dan Malkan, dalam keadaan bingung mereka lantas berujar, “kamu cari palu rik, buat apa?”.
“Hahahaha, nggak, nggak, maksudku aku pengen ke Palu bro”, jawabku agak sumringah.
“Oooalaaah, kirain ada apa”, sahut mereka lega.
“Emang ada apa di Palu rik?”, tanya Ajis penasaran.
“Ada deh, mau tau aja.!”, jawabku sembari tertawa.
“Kayak orang gila kamu rik”, sahut Tukil.
“Jiiah, bukannya dari dulu aku emang udah gila kil?”, candaku.
Hahahaahahaha. Kami tenggelam dalam tawa dan sembari melanjutkan obrolan santai di warung kopi. #
Hidup terus berjalan. Itu takdir. Takdir yang tak dapat dilawan oleh semua makhluk hidup. Selama dunia masih ada, nafas kehidupan masih akan terus ada, dan di situlah setiap orang juga akan menuliskan sejarah-sejarahnya serta menentukan nasibnya.
Begitu pula perasaan manusia terhadap manusia lainnya, akan terus hidup seiring berjalannya interaksi-interaksi, dan hanya kematianlah yang berhak membunuh perasaan itu.
Prinsipnya, hanya ada dua kekekalan yang dalam hidup, yaitu kematian dan perubahan. Perubahan-perubahan akan terus terjadi, dan itu merupakan hukum alam, hukum kehidupan, karena perubahan tersebut akan membuat seseorang menjadi apa dan siapa.
Aku merasa perubahan baru terjadi dalam diriku. Dimulai saat aku merasakan gejolak jiwa yang menggebu-gebu mengenai cinta dan kasih sayang terhadap sesosok perempuan yang telah berhasil membangkitkan kembali rasa yang nyaris mati di penghujung tahun lalu. Perasaan seseorang memang sensitif, dan mungkin karena sensitif itulah meengapa Tuhan berulangkali mengatakan agar manusia menjaga hatinya, karena jika sedikit saja bercak kotor mengotorinya, maka sulit untuk membersihkannya kembali.
Bagiku, bercak kotor yang mengotori hati dan perasaanku tempo hari ibarat najis yang harus segera disucikan, dan dibasuh dengan air suci pula. Ya, air suci bernama cinta, cinta yang baru, kasih dan sayang yang baru.
Hari ini, seperti biasanya aku bersama teman-teman punya jadwal nongkrong bareng di warung kopi. Bagi mahasiswa Jogja, warung kopi adalah tempat yang tepat untuk menghabiskan waktu, karena banyak hal yang dapat dikerjakan di sana. Bahkan, konon ceritanya, warung kopi zaman dulu, terutama di kawasan Asia Tengah, mampu menghasilkan berbagai gagasan dan ide-ide cerah, karena warung kopi tak hanya dijadikan sebatas nongkrong belaka, melainkan sebagai ruang berbagi pengetahuan dan pengalaman, sehingga memunculkan ide-ide cerah. Di kota Gudheg sendiri, warung kopi kerap dijadikan sebagai ruang diskusi, rapat organisasi, peguyuban, dan berbagai perkumpulan lainnya. Warung kopi adalah ruang non-formal yang tak terikat serta bebas, sehingga orang merasa nyaman dalam menyampaikan pendapat-pendapatnya.
“Gimana skripsimu Jay?”, tanyaku santai pada Ajay yang sedang serius berhadapan dengan laptopnya.
“Beres, udah di-acc ini, besok tinggal daftar munaqosah”, jawabnya penuh semangat.
“Alhamdulilah, kalau begitu, aku ikut senang, berarti kan usaha kita berhasil”, tukasku empatik.
“Dan kamu Jis, piye, kayaknya galau begitu.!”, tanyaku pada Ajis yang tampak bingung.
“Aahhh mbuh rik, ini malah dicoret-coret lagi skripsiku, pusing aku”, celoteh Ajis.
“Hahahahaha,,,kalau nggak dicoret mana mungkin kamu tahu kesalahan skripsimu Jis,,Jis”, jawabku penuh canda. “Ya, udah ayo kita perbaiki lagi, jangan murung kayak gitulah bro, santai aja, oke”, aku coba menyemangati Ajis, begitupun Ajay ikut menyemangati.
Ajay dan Ajis adalah dua sosok mahasiswa tingkat akhir yang sedang bekerja keras menyelesaikan tugas akademiknya, skripsi sejak sebulan lalu yang kami kerjakan secara bersama-sama. Sementara aku sendiri ditakdirkan lulus tiga bulan sebelumnya, dan bagiku, membantu mereka mengerjakan skripsi merupakan suatu kewajiban, karena mereka juga adalah teman seperjuangan.
“Ehhh rik, gimana mbokdemu?”, celetuk Ajis secara tiba-tiba. Aku memang pernah cerita dengan Ajis mengenai perempuan yang aku panggil mbokde. Meski tidak banyak mengerti tentang aku dan mbokde, Ajis sepertinya ingin tahu.
“Hhhheemm, sudah,,sudah, kerjain aja itu dulu skripsimu”, jawabku mengelak, sambil memberikan laptop kepada Ajis.
Ajay dan Ajis pun tenggelam dalam kesibukannya mengerjakan skripsi mereka. Sementara aku asyik sendiri dengan handphone ber-merk blackberry, BBM-an dengan mbokde. Sesekali Ajay dan Ajis mencolek aku yang mendengar dan melihat aku tertawa sendiri dalam keasyikanku, dan sesekali pula mereka bertanya kepadaku, meminta pertimbangan dariku tentang skripsinya, karena aku memang bertanggung jawab terhadap isi skripsi yang mereka kerjakan itu.

.......................###.........................

Hari ini aku merasa gelisah sekali. Apa-apa serba salah, dibawa tidur tetapi mata tak mengantuk, mau keluar hujan deras sekali. Aku tidak memutuskan untuk melakukan apa-apa dalam kegelisahan itu, kecuali berusaha untuk mencari sumber dari kegelisahan yang aku rasakan sejak terbangun dari tidur tadi pagi.
Aku pikir, setiap orang pasti pernah mengalami hal yang serupa, persis seperti yang aku rasakan ini, dan kegelisahan tentu datang bukan tanpa sebab. Sederhananya, ada asap pasti ada api, ada air pasti ada sumber air. Dan begitupun dengan kegelisahan yang aku rasakan ini, tak luput dari sebab-sebab yang pasti ada sumbernya. Lalu, aku ingat-ingat kembali dalam pulasnya tidurku semalam, aku bermimpi apa, dan aku ingat, barusan tadi malam, dalam tidur aku bermimpi ibu menelpon aku dan menyuruh aku untuk segera pulang ke kampung halaman. Kalimantan, tanah kelahiranku 27 tahun silam. Ya, aku pun sudah rindu.
Maklum, sejak setahun yang lalu, hingga aku mengangkat toga, bahkan sampai detik ini aku memang belum melihat wajah beliau, dan sangat jarang menelpon. Di situ, aku lantas berkesimpulan, bahwa beliau sangat merindukan aku yang jauh ini, dan begitu pula aku merasakan hal yang sama.
Tiba-tiba handphone-ku berdering, sebuah panggilan datang dari rumah, kampung. Abangku. Dan aku segera mengangkat telepon itu.
“Rik, sudah sampai mana?”, tanya abang dalam suara telepon.
Aduh. Sebuah pertanyaan yang memang aku hindari sejak kemarin aku dikirim biaya untuk pulang, gumamku dalam hati.
“Belum berangkat bang, aku belum menyelesaikan urusanku ini”, jawabku penuh alasan.
“Oohh, itu lho umak udah nunggu kamu dari kemarin, katanya mau pulang secepatnya”, tukas abang.
“Iya bang, segera setelah pekerjaanku selesai aku akan pulang, dan bilang sama umak”, kataku.
“Ya udah, nanti kalau udah berangkat pulang, kasihkan kabar”, perintah abang santai.
“Oke...oke bang, nanti aku telepon kalau aku sudah di jalan”, jawabku lirih.
Alhamdulillah. Aku merasa lega setelah menjawab telepon dari abang, meski sebenarnya aku belum memastikan kapan aku akan beranjak untuk pulang dari tanah rantauan ini, karena masih berat kaki ini untuk aku langkahkah pulang, pun aku mau apa di rumah selain bertemu ibu dan segenap keluarga?, pikirku bodoh.
Sejujurnya aku memang belum ada rencana untuk pulang ke kampung halaman karena bagiku, hidup di tanah rantauan merupakan pilihan yang memang aku harus tempuh. Lagi pula aku ini kan anak terakhir dari enam bersaudara, dan selain aku, saudara-saudaraku sudah berkeluarga semua, jadi, aku berusaha untuk menentukan takdir hidupku sendiri, dan aku pikir, takdir hidupku memang di tanah rantauan, entah di mana, akupun tak tahu, tapi yang pasti saat ini kakiku masih menginjak tanah jawa, tanah rantauan yang pertama kali aku injak sejak meninggalkan kampung halaman 12 tahun silam, Solo saksinya, dan berlanjut di Jogja.
Jogjakarta 23 November 2012,hujan. Deras sekali hujan kali ini, aku putuskan untuk tak ke mana-mana hingga hujan berhenti, sebab, tepat pukul 24.30 WIB, aku harus keluar ke warnet untuk membuka e-mail sembari menulis artikel pesanan seseorang yang memberikan aku sebuah pekerjaan sejak bulan lalu.
Pekerjaan sudah rampung, dan sepertinya aku akan segera pulang ke Kalimantan. Selain itu, aku pun sudah mulai merasa kesepian hidup sehari-hari di Jogja, mungkin sudah bosan, merasa tak lagi punya teman, dan sering merasa kesepian. Kejenuhan seperti ini terkadang memberontak dalam hatiku, terlebih saat musim hujan, sering bersendirian di tengah-tengah keramaian orang, dan tak dapat ditampik, aku juga mulai malas berurusan dengan ibu kost. Kondisi-kondisi ini membuat aku mulai putus asa, dan jauh dari rasa semangat.
Sesaat kemudian handphoneku berdering yang jelas pertanda ada panggilan. Ken, aku lihat nama itu yang muncul dalam deringan telepon. Seakan-akan dia mengerti jika seharian ini aku mendekam di kamar kost tanpa sedikitpun melihat matahari di luar karena memang hujan sehingga aku merasa malas membuka pintu ataupun jendela kamar.
“Halloo, lagi di mana rik?”, suara dalam telepon itu berbunyi.
“Aku di kost aja Rif, piye?”, sahut dan tanyaku balik.
“Ngopi yuuk, sepi ini lagi malas di kost”, ajaknya.
Tanpa sungkan dan alang kepalang aku pun lantas menjawab “Oke rif, siiap, kalau urusan ngopi, apalagi saat cuaca dingin begini cocok banget”. Hahaha, kami tertawa riang dalam telepon.
Kami pun lantas berangkat untuk nongkrong di warung kopi sejak sore hari. Rasa tak terima muncul ketika di warung kopi aku dan Ken hanya duduk berdua karena kami yakin tak akan ramai tanpa teman-teman yang lain bergabung bersama-sama. Tanpa disuruh aku pun mengirim sms ajis, fida, bogel, dan lain-lain untuk menyusul kami berdua di warung kopi tempat biasanya kami bersenda gurau. Sementara Ken sedang sibuk dengan laptop di hadapannya.
Tak lama kemudian, teman-teman yang aku sms pun berdatangan. Suasana berubah menjadi ramai seketika, dan nuansa persekawanan seperti ini memang menjadi santapan kami sehari-hari jika sedang berkumpul bersama, karena ikatan persahabatan ini memang sudah dirajut sejak tiga tahun silam. Seketika, rasa sepi dan kebosanan yang tadi aku alami lenyap begitu saja tenggelam dalam gelak tawa kami di warung kopi. Malampun berlalu begitu saja, dan esok hari akan segera datang menyapa.
Hari ini aku bagun tidur agak siang. Agak malas rasanya tuk beranjak dari kasur dan memulai aktifitas seperti biasanya. Aku tak putuskan apa-apa dalam kemalasan itu, kecuali terbaring dan berbaring sampai-sampai tak terasa jam sudah menunjukan pukul 12.00 siang. Semangat tak kunjung datang, tapi aku masih teringat mimpi semalam, mimpi berjumpa dengan bokde. Si dia yang jauh di seberang sana, dan dalam waktu bersamaan bokde menelopon, seakan-akan ia tahu bahwa semalam aku memanggilnya dalam mimpi panjangku. Ini bukanlah suatu keanehan, gumamku dalam hati, tapi hanyalah suatu kebetulan saja.
“Pakde, sedang apa?”, sapa bokde dalam suara telepon.
“Aku baru bangun tidur bokde, nggak tau ini tidurku lelap banget sampi-sampai jam segini baru bangun”, sahutku agak lesu.
“Apa..!!! baru bangun jam segini.?!!”, tukas bokde dengan nada seperti terperanjat tapi nada-nadanya marah. “..kamu itu tiap malam begadang, makanya bangun kesiangan trus, mbok yoo jangan begadang terus kasian tubuhnya nggak sehat, ntar kalo sakit gimana, hayoo?”, sambungnya.
Perhatian sekali bokde dengan aku, gumamku dalam hati. Dan segera aku menjelaskan mengapa aku bangun kesiangan adalah karena kelelahan, dan sepertinya dia memakluminya.
“Ya sudah, mandi sana dulu trus makan”, suruhnya lewat suata telepon.
Tuuttt,,tuuuttt,,tuutt,, suara telepon itupun berhenti dan percakapan kami pun berhenti sampai di situ saja. Demi membangkitkn kembali semangat, maka aku segera bergegas ke kamar mandi, berharap nanti setelah mandi dan makan aku bersemangat untuk mengerjakan finalisasi pekerjaanku yang dianggap gagal oleh rekanku yang memberikanku pekerjaan itu.
Dan ternyata benar. Air yang membasahi tubuh ternyata dapat memberikan rasa kesegaran, maka tak heran tuhan mengatakan bahwa air dapat menjadikan semua mahkluk hidup itu hidup. Terlebih lagi jika dibarengi dengan makanan yang masuk ke dalam perut, asal tak berlebihan, maka makanan pun menjadi sumber hidup (semangat), sehingga ada benarnya juga jika Abraham Maslow, seorang pakar psikolog eksistensial humanistik itu mengatakan bahwa fisiologis adalah kebutuhan paling mendasar pada diri individu. Teori Maslow itu dikenal dengan teori jenjang kebutuhan, yang berbentuk piramida utuh.
Setelah mandi dan makan aku lewatkan, aktivitas menulis juga segera aku kerjakan hingga menjelang sore hari. Seperti biasa, kalau sudah sore, handphopne pun berbunyi, dan kali ini pesan yang masuk. Dari Ken. Seperti biasa, sahabatku yang satu ini ngajak ngopi lagi. Aku memang sempat merasa aneh akhir-akhir ini karena sahabatku ini sangat sering menghubungi aku untuk sekadar mengajak nongkrong baersama, padahal beberapa bulan lalu dia sibuk dengan pekerjaannya. Namun, rasa heranku itu segera terjawab karena terdengar kabar Ken memang sedang butuh ditemani, sebab, lagi frustasi akibat kekasihnya yang entah tanpa alas an meninggalkan dirinya. Kabar itu aku dengar dari Ajis.
Nongkrong bersama Ken memang tak pernah lama. Karena dia memang disibukan dengan pekerjaannya untuk mengantarkakn barang yang dipesan oleh pelanggan. Paling hanya dua sampai tiga jam saja kami nongkrong, dan setelah itu pulang ke tempat masing-masing, apalagi kali ini teman-teman yang lain tak terdengar kabarnya ingin menyusul.
Tepat pukul 21.00 WIB aku sudah tiba di kost. Karena tak ada aktivitas, aku putuskan tuk membuka laptop, dan ingin menonton film yang baru saja aku copy-paste dari teman di warung, sepertinya film ini bagus sehingga membuat aku penasaran. Maklum saja, aku memang termasuk orang yang gemar menonton film, dan kali ini film berjudul Black Gold, sebuah film yang agak serius bercerita tentang petinggi Arab Saudi yang menjual lahannya kepada investor asing (Barat) untuk dieksploitasi karena setelah diteliti di perut bumi dari lahan itu mengandung minyak yang melimpah.
Satu setengah jam, film hampir selesai, tiba-tiba handphone berdering pertanda ada panggilan. Bokde. Seperti janjinya petang tadi, kalau aku sudah di kost dia ingin menelepon. Janji yang jauh dari khianat. Dengan kata lain, bokde memang sosok yang selalu menepati janjinya, setidaknya aku nilai dari janjinya yang akan menelepon aku kalau aku sudah di kost. Pause, aku klik tulisan itu di dinding laptop. Aku angkat telepon itu, dan aku memang selalu gembira jika ada telepon dari bokde. Nonton film dilanjutkan nanti saja, pikirku cepat.
Tak seperti biasanya, obrolan aku dan bokde kali ini tensinya agak tinggi. Itu jelas sekali terlihat, dan sepertinya terjadi saling salah paham di antara kami. Gawat pikirku. Sepertinya memang harus segera diakui, bahwa jika ingin membicarakan tentang hal yang serius dengan menggunakan media elektronik banyak melahirkan kesalahpahaman. Bahasa kerennya, misunderstanding atau miscommunication.
“Bukan begitu bokde, kamu itu terlalu cepat menyimpulkan omonganku’, sahutku dengan nada agak meninggi. “Orang akunya aja belum selesai ngomong kok, udah kamu simpulkan aja, gimana sih.!”, lanjutku emosional.
Kesalalahpahaman ini bermula saat aku dan bokde ngobrol tentang sesuatu yang akan serius terkait dengan masa depan dan rencana-rencana ke depan, terutama terkait dengan rencanaku yang berubah pasca pekerjaan yang baru saja aku selesaikan itu rampung. Mungkin, bokde merasa bahwa perubahan rencana itu disebabkan kehadiran dia selama beberapa bulan terakhir ini dalam diriku, dan bokde tak menginginkan hal itu. Dia tak ingin jika semua rencana yang telah aku susun rapi justru berubah hanya karena dirinya. Aku pun memahaminya. Tapi, aku justru memiliki kesimpulan lain yang sangat subyektif, bahwa dari kesimpulan bokde aku justru berpikir jangan-jangan bokde justru tidak menaruh simpati dan menolak tawaranku untuk hidup bersama. Tanpa alang kelapang, kesimpulan itu aku tepis.
“Rencana ini sebenarnya memang sudah lama aku susun, bahkan sebelum aku kenal dengan bokde lho, jadi jangan salah paham dulu lah”, jawabku emosional.
“Ohh begitu, iya aku paham kok pakde, dan maafkan aku, aku nggak bermaksud kayak gitu”, tukasnya.
Kami terdiam setelah pertengkaran kecil itu terjadi, namun sudah kami klarifikasi dan jelaskan satu persatu duduk perkaranya. Dalam kondisi saling diam, tiba-tiba telepon terputus, dan tepat, sepertinya obrolan agak panas ini memang harus segera dihentikan agar tak berkepanjangan. Dan sebelum tidur, kami saling klarifikasi, bahwa di antara kami hanyalah terjadi kesalahpahaman, dan saling meminta maaf. Malampun berlalu, bokde tidur dan aku masih terjaga sembari menonton film yang tadi belum selesai.
Setelah aku pikri-pikir, sebenarnya, perubahan dari rencana yang telah aku susun diakui atau tidak memang berubah karena kehadiran bokde dengan tujuan bahwa jika aku sukses dengan rencana-rencana baruku itu, maka hal itu aku harapkan justru untuk mendekatkan diriku kepada bokde. Dan harus disadari, perubahan rencana itu bukanlah karena unsur keterpaksaan tetapi murni karena situasi dan kondisi yang memang sedang aku hadapi yang menuntut aku untuk merubah sekian hal tentang apa nanti yang akan aku kerjakan demi meniti karir. Secara tidak langsung, aku harus mengakui bahwa bokde adalah salah satu inspirator sekaligus motivator dalam setiap aktivitas bahkan rencana-rencanaku ke depan. Jangan salah paham lagi yaah bokde. Oke.!! Tasbih cintaku, (memang) adalah butiran namamu.!

....................................###..................................

Hidup terus mengalami perubahan-perubahan. Kejadian atau peristiwa hari ini tak akan pernah terulang di masa yang akan datang, dan oleh karena itulah sebagian orang terjadang mengabadikan aktivitas hariannya dalam lembaran-lembaran kertas karena semua hal yang kita lakukan adalah sejarah untuk diri kita sendiri.
Waktu terus berjalan, dan tak akan ada siapapun di dunia ini yang dapat menghentikan putaran jarum waktu yang terus menerus berputar mengikuti masa demi masa. Perputaran jarum waktu ang seakan tiada lelahnya itu membuat manusia hidup terasa semakin lama, meski terkadang siang berganti malam, dan malam berganti siang tak disadari oleh manusia. Mengapa bisa terjadi demikian itu? Ya, karena kita memang tak terbiasa menghitung waktu, atau mungkin lebih ekstrem lagi, kita adalah salah satu dari kebanyakan manusia yang kurang menghargai waktu, sehingga waktu berlalu begitu saja tanpa kita memberikan sebuah arti pnting.  Mungkin karena alasan  inilah mengapa tuhan bersumpah atas nama waktu.!!
Rembulan malam ini telah menunjukan pertanda kita sedang berada di pertengahan bulan Desember tahun 2012.  Bulan purnama itu tampak sangat rendah, seakan ingin bersatu dengan bumi, seperti halnya jika kita sedang berada di tengah-tengah lautan, maka pada sore hari dengan mata telanjang kita akan melihat matahari yang seakan ingin tenggelam ke dasar lautan, padahal sejatinya ia sedang berlari ke ufuk barat untuk meninggalkan siang.
Aku tetap memuji rembulan, terutama bulan purnama malam ini, meski tak sedikit orang mengatakan bahwa kita memang sering ditipu oleh bulan. Dari kejauhan ini tampak sekali bulan itu amat sangat indah, menyegarkan pandangan mata, serta menyejukan jiwa bagi yang memandang dengan pujian. Namun, bagi yang sinis, maka mereka akan mengataan bahwa penampakan rembulan sesempurna itu hanyalah tipuan belaka, sebab jika dilihat dari dekat, katanya, bulan itu cekung, bolong, serta kotor, sama halnya dengan bumi. Tetapi, karena kita hanya mampu melihatnya dari jauh, maka bulan itu tampak sangat indah, dan jauh dari cela sedikitpun.
“Aaaahh, kayak pernah mendarat di bulan saja orang-orang sewot itu”, dengan nada jengkel aku berkata dalam hati, karena aku sendiri tak termasuk dalam golongan mereka yang sinis terhadap penamakan rembulan. Apapun kata-kata mereka tentang keindahan ini, bagiku tidak penting, kita sama-sama mempunyai pandangan sendiri-sendiri. Bagiku, sampai kapanpun, rembulan akan tetap terlihat indah sampai kelak jika ia pecah karena telah ditakdirkan akan bertabrakan dengan planet, matahari, bintang, serta benda-benda langit lainnya. Kiamat.!
Mendengar kata kiamat , pikiranku lantas berpaling dari pemujianku terhadap keindahan rembulan malam ini. Yang tadinya pikiran dan mata dihiasi dengan keindahan karena takjub kepada rembulan kita semerta-merta berubah drastis menjadi gelap. Aku lantas teringat kembali dengan ramalan bangsa Maya, bahwa pada tanggal 21-12-12 akan terjadi kiamat, dunia akan hancur.!! Secara keyakinan memang aku tak meyakininya, tapi berita beredar di seluruh penjuru dunia, bahkan telah membuat gaduh sebagian manusia. Namun, gencarnya pemberitaan ramalan bangsa Maya tentang hari kiamat membuat aku beranjak dari tempat ini dan menuju ke kost, dari pada aku sendiri ikut-ikutan mengamini bangsa Maya, pikirku, lebih baik aku tidur saja.
Kesokan harinya berita sesat lagi menyesatkan itu, gumamku dalam hati, masih saja bergema di mana-mana. Rasa-rasanya ingin sekali aku meluruskan kepada segenap umat manusia di muka bumi ini, bahwa ramalan itu tidak benar, karena kiamat adalah urusan tuhan saja. Tapi kenyataannya, hari ini aku lihat banyak orang yang akan pulang kampung, sebab, berita ini juga bersamaan dengan waktu libur natal.
Aku sudah tak mau peduli dengan berita ini lagi, karena hari ini aku harus pergi menemui temanku yang kemarin hari memohon bantuanku untuk menyelesaikan tugas kuliahnya, sebab tak lama lagi ujian akhir semester akan digelar. Bagiku, membantu teman ini adalah penting dari pada memikirkan serta mendengarkan berita sesat lagi menyesatkan itu.
Dengan berjalan kaki, aku telah sampai di kost temanku yang ku maksud. Yoga. Tak perlu waktu lama aku berada di kost Yoga, dia lantas menyuguhkan sebuah laptop sekaligus menunjukan tugas-tugas kuliahnya kepadaku untuk aku selesaikan selama dua hari. Aku pun kaget, karena kemarin hari kita telah mufakat untuk mengerjakannnya bersama-sama.
“Loh, Yoga, ini kok dikasihkan ke aku, bukannya kita mau ngerjain tugasmu bersama-sama?”, tanyaku dengan wajah terheran-heran sambil memegang laptop yang disodorkan Yoga ke tanganku.
Dengan nada terburu-buru Yoga menjawab, “Rik, aku minta tolong banget sama kamu, aku nggak bisa ngerjain ini bareng kamu, jadi aku minta tolong kamu saja yang ngerjain sendiri, karena aku yakin kamu bisa. Aku buru-buru mau pulang ini, tadi aku ditelpon ibu disuruh pulang, bapakmu masuk rumah sakit dan sekarang dalam keadaan koma..!!”, papar Yoga dengan wajah gelisah sekaligus khawatir dengan kondisi bapaknya yang sedang terbaring sakit di rumah pesakitan.
“Oke bro”, dengan penuh empatik aku berkata, “Siap, ini aku kerjain sendiri aja nggak apa-apa bro, kau pulang saja, temani bapakmu dan aku doakan semoga bapak segera sembuh”, amin. Sembari aku memberikan semangat kepada Yoga agar dia jangan terlalu panik dengan kondisi ini.
“Kau segeralah pulang, sampaikan salamku untuk keluarga, dan jangan lupa, pastikan kau balik ke Jogja jika bapakmu sudah dalam kondisi sehat, oke?”, aku tak tega melihat wajah Yoga yang tampak dirundung kesedihan karena bapaknya biasanya tak pernah sakit sampai separah ini.
Tak lama kemudian, Yoga keluar dari kost-nya dengan menyangking tas kecil sembari mengenakan helm, dan dia putuskan untuk pulang ke rumah dengan mengendarai sepeda motor. Sementara aku meminta kepadanya untuk mengantarkanku ke kost Ajis.
Sesampainya aku di kost Ajis, aku lihat dia sedang tertidur pulas, paling tadi malam habis begadang pikirku. Karena sudah merasa siang, aku lantas membangunkannya dan kebetulan aku juga sedang membawa makan, dan aku yakin Ajis pasti belum makan siang.
Menjelang sore hari tiba, aku bersama Ajis memutuskan untuk keluar ke warung kopi. Setelah jam menunjukan pukul 20.00 WIB, handphoneku berdering, dan segera aku menjawab sebuah telepon dari nomor yang tak aku kenal.            
“Halo, siapa ini?”, tanyaku ingin tahu.
“Halo, ini Hijra mas, sampean di mana sekarang, ini Fida abis kecelakaan, parah banget, sampean tak tunggu di kost ya”, suaranya terdengar gemetar. Dan aku tidak kaget, ekspresiku biasa-bisa saja, karena aku belum yakin jika berita ini benar demikian.
“Iya, bentar lagi aku sama Ajis tak ke kostmu bro”, jawabku datar dan dengan nada santai seakan-akan tak percaya dengan berita ini.
Setelah setengah jam aku dan Ajis tak beranjak dari tempat duduk, ada sms, yang mengharapkan aku dan Ajis untuk segera datang ke kost Hirja. Kali ini aku mulai percaya bahwa berita ini benar adanya, dan segera aku beserta Ajis berkemas-kemas lalu pergi menuju kost yang dimaksud. Kaget tak alang kepalang, aku lihat wajah Fida penuh dengan darah, nyaris tak tampak wajah aslinya karena dilumuri oleh darah merah. Tanpa diperintah, kamipun segera membawa Fida ke rumah sakit. Dan saat sedang berada di rumah sakit sembari menanti hasil pemeriksaan Fida, handphone kembali berdering, dan kali ini bokde yang menelpon, dan segera aku bilang saat ini sedang berada di rumah sakit menunggu temanku yang baru saja habis kecelakaan. Telepon pun segera ditutup olehnya.
Tak lama kemudian, Fida keluar dari ruang pemeriksaan dan dinyatakan dokter ntuk rawat jalan saja setelah beberapa luka di wajah temanku satu ini dijejali dengan beberapa jahitan. Fida, diinapkan di kost Hijra, dan beberapa saat setelah ia istirahat, tertidur, aku putuskan untuk kembali ke kost bersama Ajis. Seperti biasanya, di kost aku telpon-telponan dengan bokde, karena hari ini rindu kian membujuk di relung hati. Aku tenggelam dalam obrolan lewat handphone dengan bokde, sampai kami selesai bersenda gurau melalui suara di balik HP. Baru setelah itu aku menghadap laptop untuk menyelesaikan tugas Yoga yang ia titipkan kepadaku tadi siang. Dan aku larut hingga tengah malam menjelang waktu subuh.
Selang beberapa hari kemudian, Fida sudah terlihat sehat dengan perban di sekitar wajahnya, dan terlihat lebam seperti habis dipukul orang. Hanya itu yang tersisa dari kecelakaannya tadi malam, dan kondisi ini tidak mengkhawatirkan, bahkan aku anggap telah sembuh.  Dan bersamaan dengan ini, Ajay, temanku diwisuda, aku turut merasa senang atas keerhasilannya dalam menyelesaikan kuliah.

....................###.........................

Entah mengapa hari ini aku tak tenang, gelisah tak karuan. Mau berbuat apa serba salah, mungkin rasa kantuk ini, gumamku dalam hati. Segera saja aku mandi kemudian dilanjutkan makan.
Aku lihat laptop belum sempat aku rapihkan semalam karena aku ketiduran. Aku nyalakan kembali laptop sementara tangan kiriku meraih modem di dalam tas untuk aku pasang di laptop. Hari ini aku sedang butuh online, ingin mengirimkan proposal penerbitan untuk sebuah perusahaan penerbit buku.
Pada saat sedang asyik dengan online, tiba-tiba handphone berbunyi pertanda ada pesan masuk. Pesan itu berbunyi, “Pakcu, Aan mau pulang ini, sekarang lagi di bandara, mama masuk rumah sakit tadi pagi kata bapak”. Pesan ini dikirimkan oleh keponakanku di Jakarta, dia perawat di sebuah rumah sakit swasta di sana. Tak panjang aku menjawab pesan itu kecuali mengingatkan Aan untu berhati-hati di jalan, karena dia pulang tanpa berteman alias seorang diri.
Aku sendiri tak heran dengan masuknya mama Aan ke rumah sakit karena sejak dua tahun belakangan rumah sakit telah menjadi tempat keluar-masuk mamanya. Jadi, aku berpikir paling-paling hanya memenuhi panggilan rumah sakit untuk sekedar transfusi darah yang memang dilakukan selama empat bulan sekali, dan kali ini adalah keempat bulannya. Mama Aan, sejak dua tahun lalu divonis menghidap penyakit Anemia Plastic, sebuah nama penyakit untuk orang yang terindikasi kekurangan darah merah akut. Dan selama dua tahun belakangan, transfusi darah berjalan lancar, tak ada hambatan, dan rumah sakit tak pernah kekurangan darah sehingga mama Aan dapat dikatakan baik-baik saja jika sudah ditransfusi darah sebanyak tujuh kantong darah.
Sambil berbaring aku masih sibuk dengan aktivitas online, mengirim tulisan, mengirim proposal, chatting, dan lain-lain di jejaring sosial. Tak lama kemudian, datang suara telepon dari abang, bapaknya Aan. Iya bang, wa’alaykum salam, koti[2]?. Tanyaku kepada abang yang terdengar mengisak tangis. “Udaham kau ay, kakak kau te udah nadak esik lagik im, udah meninggal dunia todik te[3]”, nada suara abang melemah. Innalillahi wa inna ilaihi roji’un. Aku pun tak kuasa untuk menahan kucuran air mata, bahkan saat aku menulis ini.
Segera aku menelpon Aan tapi nomornya sudah tidak aktif. Mungkin sedang berada di dalam pesawat. Seharian penuh aku mondar mandir mencari pinjaman uang untuk keperluan pulang malam ini juga, aku ingin sekali melihat wajah kakak sebelum diuburkan. Dan untu keperluan pulang, aku dapat pinjaman dan segera aku langsung menuju bandara Adisucipto Yogyakarta tepat pukul 20.00 WIB. Rasa sedih kian membuncah setelah tiba di bandara ku ketahui penerbangan sudah tidak ada lagi karena telah berakhir pada pukul 18.00 petang tadi. Dan aku tak bisa pulang, tak bisa menghadari acara pemakaman, tak melihat wajah kakak untu terakhir kalinya. Doaku semoga tercurahkan kepada beliau, Allahummaghfirlaha warhamha waj’alil jannah matwaaha.[4] Amin.
Peristiwa ini memberikan suatu peringatan kepadaku bahwa apapun kesibukan yang sedang kita kerjakan, maka berikanlah waktu untuk menjenguk keluarga di rumah, sekalipun engkau sedang berada di negeri orang yang jauh. Aku sadari, aku memang terlalu larut untuk mengurusi pekerjaanku di Yogyakarta sehingga pulang ke kampung halaman belum sempat tercapai. Kematian kakak merupakan sebuah teguran kepada diriku untuk jangan sekali-kali menunda kepulangan setelah keluarga berharap aku menemui mereka di terlebih dahulu sebelum aku melanjutkan aktivitas yang menjadi pilihan hidupku. Beliau memang kakak iparku, tetapi kebaikannya selama ini dalam mendidik aku adalah bukti nyata betapa beliau sangat memperhatikan aku ibarat adik kandungnya sendiri. Hal yang paling aku ingat, beliau adalah sosok wanita yang ulet, rajin, dan tak pernah sekalipun marah, bahkan di rumah, beliau lah yang merapihkan tempat tidurku.
Kematian kakak aku ceritaan kepada bokde. Bokde pun berusaha menenangkan aku melalui telepon dan pesan singkatnya. Setelah peristiwa ini, aku bertekad bulat akan segera pulang ke kalimantan, hentakku kesal dalam hati yang masih tersisa sedih. Empat hari kemudian, datang teleon dari ibu yang dengan nada harap agar aku segera pulang, karena sudah dua tahun ini aku sendiri tak pernah berjumpa dengan keluarga di Melawi. Sejujurnya, aku memang sangat ingin pulang bercengkrama bersama keluarga seperti dulu, tapi kendalaku kini adalah ongkos yang telah aku habiskan untuk berbegai keperluan di Yogya, maklum sejak mengangkat toga, jatahku telah ditarik, sehingga aku harus pontang panting mencari sesuap nasi, bahkan terkadang minta kepada orang. Rasa-rasanya kemarin-kemarin ingin minta ongkos ke rumah untuk biaya pulang, tetapi rasa malu ternyata lebih dominan di wajahku karena selalu meminta.
Ibu, abang dan keluarga sepertinya mengerti keberadaanku di Yogya yang tak jelas. Setelah ibu menelpon, abang lantas menanyakan nomor rekening, karena besok akan dikirim ongkos untuk kedua kalinya agar aku segera pulang dan, mungkin saja ak berkiprah di sana. Nada pesimis mulai menggerogoti hati dan pikiranku untuk melanjutkan dua cita-cita besar yang belum sempat terpenuhi, yakni melanjutkan S2 dan bertemu dengan tasbih cintaku yang selalu aku sebut dalam do’a harapku. Nul.! Semoga takdir mempertemukan jiwa kita nanti, karena hanya takdirlah yang akan menyatukan jiwamu dan jiwaku, sebab, keinginan, hasrat, asa, serta cinta sudah sejak lama membara, tapi sekali lagi, takdirlah sebagai titik penentunya. Mari bersama-sama kita memanjatkan do’a.! Nul, aku memanggilmu.#


[1] Kunyah adalah istilah dalam Islam yang dipakai untuk memanggil seseorang dengan sebutan tertentu, sebutan yang baik, bahkan dijadikan sebagai sebuah identitas. Kunyah ini pada masa Nabi Muhammad saw dan di kalangan khulafaurrasyidin sangat lumrah, seperti Al Hurairah, As-Shidqi, Al Misri, Al Hudaibi, Al Iraqi, Al Dimsyqi, dan lain-lain.
[2] Koti berarti bagaimana.
[3] Kakak kau sudah meninggal dunia barusan
[4] Ya Tuhanku, ampunilah dosanya, dan jadikanlah surga sebagai tempat kembalinya.
Disqus Comments