Menjadi
public figure atau orang terkenal di
mata publik seharusnya berhati-hati agar tidak latah. Public figure mencakup berbagai peran, seperti pejabat, politikus,
pengamat, pakar, seniman, sastrawan, akademikus, artis dan lain sebagainya. Di Indonesia,
public figure yang paling sering
muncul ke hadapan public kebanyakan dari kalangan pejabat dan artis yang saban
harinya menghiasi media massa dan elektoronik.
Pejabat
dan artis adalah dua contoh public figure
yang termasuk sebagai kalangan elit. Kedua public
figure itu seakan memiliki ruang khusus di setiap lembaran media massa dan
acara di televise tanah air, yang sekaligus mempertegas keelitan sosok mereka. Pejabat,
yang notabene juga merupakan politikus hadir di tiap-tiap acara yang bertajuk
berita, sementara artis hadir pada rubrik infotainment yang saban hari
menghiasi Koran-koran dan stasiun-stasiun televise, bahkan dari pagi hingga
sore hari silih berganti. Masing-masing televise pun seakan berlomba-lomba
membuat program untuk mensiarkan kedua public
figure tersebut demi memperoleh ratting
yang tinggi.
Disadari
atau tidak, kedua sosok public figure ini diberlakukan secara istimewa oleh dunia
pertelevisian dan di media massa. Apapun bentuk aktivitas mereka, entah itu
penting tidak, akan disiarkan ke tengah-tengah masyarakat, yang pada akhirnya
masyarakat sulit untuk melewatkannya karena berbagai pemberitaan mengenai
mereka disajikan secara eksentrik, sehingga membuat masyarakat jadi penasaran. Terlebih
jika berita yang diangkat berkenaan dengan hal-hal yang sensitif, misalnya
praktek korupsi, penyuapan di kalangan pejabat, atau berita-berita yang berbau
gosip di kalangan artis tanah air. Berita-berita semacam itu telah berhasil
membius perhatian masyarakat, meskipun statusnya masih sekadar gosip, praduga,
prasangka, dan prediksi belaka yang belum jelas kebenarannya. Jadilah masyarakat
Indonesia dengan potret masyarakat yang gemar terhadap hal-hal yang bersifat
gosip. Salahkah? Jika salah, maka siapa yang patut dipersalahkan?
Porsi
pemberitaan tentang kebaradaan para pubic
figure memang terkadang terlihat lebih besar jika dibandingkan pemberitaan
mengenai fakta-fakta sosial kehidupan masyarakat. Pernyataan yang kemudian
muncul adalah tergantung siapa yang punya media, maka berita yang akan
disajikan sesuai dengan keinginan sang pemilik media tersebut. Di sini, sikap
netral media pun patut dipertanyakan, dan jangan heran jika kemudian sebagian
kalangan banyak yang mengatakan bahwa saat ini sudah tak ada yang netral lagi,
semua telah memihak.
Wacana
yang penulis suguhkan dalam coretan singkat ini mungkin terkesan telah basi
karena telah berulang kali banyak kalangan yang melemparkan wacana kritis
semacam ini. Tetapi, salah satu fungsi aspirasi, ide, dan gagasan yang
disampaikan, baik melalui lisan maupun tulisan adalah untuk mengingatkan
(kembali). Dalam kajian Islam, saling mengingatkan, atau saling menasehati
adalah inti dalam interaksi antar sesama manusia, sehingga nasehat menasehati
sangat dianjurkan demi kebaikan bersama. Begitu pula dengan hadirnya tulisan
ini, agar masing-masing dari kita bersama-sama menyampaikan berita kepada orang
lain secara obyektif yang terlepas dari kepentingan kelompok tertentu serta
tidak memihak, sebab, berita yang disampaikan lewat media massa dan elektoronik
amat sangat cepat dicerna oleh masyarakat.
Terlepas
dari hal itu, public figure dapat
dikatakan sebagai sosok yang masyhur di kalangan masyarakat. Ini berkaitan
dengan keberhasilan seseorang mengaktualisasikan dirinya di hadapan orang lain,
sebagaimana dikatakan Abraham Maslow, bahwa salah satu kebutuhan dasar pada
diri manusia adalah ingin diakui eksistensi dan keberadaannya oleh orang lain. Namun
apa jadinya jika seorang public figure
justru mempertontonkan perilaku buruk ke hadapan masyarakat lewat media massa
dan elektronik? atau mempertontokan sikap serta perilaku manja, lebay, dekil, serta
sifat lainnya yang membuat kita serasa muak melihat tingkah lakunya?
Belakangan
ini tingkah laku seperti itu berhamburan muncul di berbagai media, terutama
media elektronik. Tontonan yang dipersuguhkan sejatinya untuk memberikan
hiburan yang mendidik tetapi justru anomalitik.
Keresahan
seperti ini bukan bersumber dari bentuk ke-irian dan kedengkian hati. Tetapi muncul
karena kemuakan kita terhadap realitas yang seharusnya tak pantas dipertontonkan
ke khalayak masyarakat, termasuk kepada penulis sendiri. Namun aneh tapi nyata,
mereka justru dibanggakan serta diagungkan oleh sebagian masyarakat lainnya,
terutama di kalangan remaja. Jadi, kesimpulan penulis bahwa telah terjadi
perubahan pola pikir para generasi bangsa ini akibat derasnya arus westernisasi
dan modernisasi yang tak terbendung serta tak mampu difilter. Budaya dan
tradisi barat telah dijadikan kiblat para generasi bangsa ini, dengan kata
lain, misi westernisasi, globalisasi, dan modernisasi telah berhasil mengubah pola
pikir generasi penerus bangsa kita. Demikian…