Sebagai
sebuah lembaga keagamaan, KUA harus mampu memposisikan diri pada sisi yang
netral dalam mensikapi berbagai perbedaan serta pertentangan dalam pemahaman
serta pengalaman ajaran sebuah agama. Terutama di kalangan umat Islam.
Ajaran-ajaran dalam agama Islam baik berupa pemahaman maupun pengamalan
sepertinya sedang mengalami masa transisi. Hal ini disebabkan berbagai
pemahaman dan pengamalan ajaran agama yang terus berkembang di tengah-tengah
masyarakat. Seperti yang kita ketahui bersama, organisasi keagamaan yang paling
populer di kalangan umat Islam di Indonesia adalah Muhammadiyah dan Nahdlatul
Ulama (NU). Kedua organisasi keagamaan ini sejak dahulu kala, bahkan hingga
kini masih berbeda, baik dalam pemahaman keagamaan dan paling menonjol ialah
persoalan pengamalan ajaran Islam.
Kedua
organisasi kegamaan Islam ini dalam pengamalan ajaran agama Islam memang kerap
kali saling “bertikai” serta kurang akur, terlebih ketika sedang berhadapan
dengan masyarakat (umat). Tak pelak, umat Islam di Indonesia, tak terkecuali di
daerah Melawi, malah justru jadi rebutan
antar kedua organisasi Islam terbesar di Indonesia ini yang secara tidak
langsung membuat masyarakat menjadi semakin bingung. Hebatnya, kebingungan
masyarakat malah melahirkan sikap apatis serta acuh tak acuh untuk menjalankan
serta mengamalkan ajaran-ajaran agama Islam. Kedua organisasi ini seakan
terus-menerus membujuk masyarakat agar bergabung dengan organisasinya
masing-masing dan bahkan memaksa masyarakat (umat) untuk mempraktekkan ajaran
Islam sesuai dengan pemahaman mereka yang berbeda.
Baru-baru
ini, pengamalan Islam di Melawi dan sekitarnya yang umumnya mirip dengan
pengamalan Islam ala NU, sedikit demi sedikit mulai mengalami pergeseran yang
mendekat kepada pemahaman Muhammadiyah. Persoalan-persoalan yang dianggap
ibadah yang bid’ah mulai digugat dan dianggap tidak diajarkan oleh Islam,
seperti yasinan, tahlilan, sholawatan, maulud nabi, isra’ dan mi’raj, dan lain
sebagainya. Pemahaman seperti ini memang lebih dekat dengan Muhammadiyah karena
menurut organisasi Islam yang didirikan oleh KH Ahmad Dahlan ini ibadah-ibadah seperti itu merupakan
praktek bid’ah sesat yang tak pernah diajarkan oleh nabi Muhammad saw. Sehingga jadilah pengalaman dari ajaran Islam
yang akrab di kalangan NU itu dianggap sebagai sebuah kesesatan, padahal
amalan-amalan semacam itu telah menjadi tradisi di tengah-tengah masyarakat.
Klaim
sesat atau bid’ah terhadap amalan seperti yasinan dan tahlilan membuat
masyarakat menjadi acuh tak acuh lagi dengan Islam. Masyarakat (umat) menjadi
malas melaksanakan ibadah karena mereka merasa serba salah, dan dituding telah
sesat dengan aktivitas ibadah yang mereka lakukan tersebut, padahal selama ini
ibadah-ibadah yang diklaim bid’ah itulah yang ternyata telah mampu membuat
masyarakat dekat dengan Islam.
Menurut
penulis, Departemen Agama yang diwakili oleh KUA di daerah-daerah harus mampu
menangkap gejala-gejala demikian itu dengan pandangan obyektif. KUA perlu
melakukan berbagai kegiatan keagamaan yang bersifat universal, bukan malah ikut-ikut
menuding bahwa masyarakat telah melakukan berbagai ibadah yang sesat dan
bida’ah. Jika sikap seperti itu ditunjukkan, baik Departemen Agama maupun KUA, maka
besar kemungkinan kedua lembaga keaagamaan tersebut tak akan lagi dihiraukan
oleh umat.
KUA
mengayomi
Peran dan fungsi KUA
dalam mensikapi berbagai gejala-gejala keagamaan yang terjadi di tengah-tengah
masyarakat memang sangat dibutuhkan. Selain karena sebuah kewajiban, KUA juga
merupakan lembaga keagamaan yang paling dekat dengan masyarakat (umat). Dengan
kata lain, KUA adalah sebuah lembaga agama yang lebih mengerti secara
sosiologis dengan kondisi pemahaman serta pengamalan ajaran agama oleh
masyarakat.
Dalam menghadapi
berbagai gejala pemahaman dan pengamalan ajaran agama yang berkembang di
tengah-tengah umat, maka KUA harus mampu mengayominya. Bukan malah justru ikut-ikutan
menuding bahwa pemahaman dan pengamalan ajaran agama tertentu telah sesat atau
bid’ah sehingga KUA justru gencar berkampanye ke mana-mana. Fakta ini diakui
atau tidak sudah mulai merebak, lembaga-lembaga keagamaan, khususnya Islam, saling
jadi rebutan dari organisasi-organisasi Islam tertentu. Maksudnya, ada
organisasi tertentu yang sengaja ingin menguasai KUA agar mendapatkan kekuasaan
dan legitimasi dalam mengkritisi pemahaman dan pengamalan agama yang dilakukan
oleh masyarakat.
Selain itu, ada
semacam keinginan kelompok Islam tertentu yang sengaja ingin menguasai
lembaga-lembaga keagamaan agar leluasa menyebarkan pemahaman dan pengamalan
dari ajaran Islam yang sesuai dengan kebenaran perspektif kelompok mereka
kepada masyarakat. Di Desa Melana, Kecamatan Nanga Sokan, semisal, tradisi
yasinan dan tahlilan yang tujuan sosialnya adalah untuk mempererat tali
persaudaraan justru dituding bid’ah dan sesat oleh kelompok tertentu. Bahkan, dengan
tidak berperasaan, tradisi yasinan dan tahlilan dibubarkan dengan alasan perkara
semacam ini tidak pernah diajarkan oleh Nabi.
Bagi masyarakat pada
umumnya, yasinan dan tahlilan selain juga sebagai bentuk doa, tetapi juga
merupakan media untuk mempererat tali persaudaraan dan menjalin silaturrahmi. Bukankah
bercerai berai merupakan larangan dari Allah?, serta menjalin tali silaturrahmi
merupakan anjuran dari Nabi? Pertanyaan selanjutnya, bagaimana jika masyarakat
nantinya akan acuh tak acuh dengan ajaran Islam karena dituding sesat dan
bid’ah, dan oleh karena lembaga-lembaga keagamaan serta masjid telah dikuasai
oleh kelompok Islam tertentu? Dari sini, maka tugas KUA bukan hanya sebagai
lembaga yang semata mengurusi soal pernikahan dan perceraian, tapi lebih dari
pada itu, yang menjadi kewajibannya juga ialah menjaga tali ukhuwah islamiyah dengan menunjukkan
sikap yang obyektif dan tidak memihak agar umat tetap konsisten dalam menjalankan
ajaran-ajaran Islam meskipun dengan praktek amalan yang berbeda-beda. Perbedaan
itu bukanlah sebuah aib. Perbedaan tersebut justru menunjukan bahwa pemamahan
umat terhadap ajaran Islam sangat mendalam.
Terlepas dari itu,
menurut penulis, yasinan dan tahlilan sah-sah saja dilakukan karena kedua
aktivitas itu bukanlah suatu bentuk kemungkaran. Selain itu juga, secara sosial,
yasinan dan tahlilan dapat dijadikan sebagai media untuk mempererat
persaudaraan (ukhuwah islamiyah)
serta menjalin silaturrahmi. Mempererat tali persaudaraan dan silaturrahmi
merupakan ajaran Islam yang harus digalakkan di era globalisasi dan modernisasi
ini. Sebab, misi globalisasi dan modernisasi adalah untuk menciptakan manusia yang
individualistik, memikirkan diri sendiri, dan mengabaikan hubungan sosial.
Begitu..!!