Saturday, 27 April 2013

Menyoal Netralitas KUA



            Sebagai sebuah lembaga keagamaan, KUA harus mampu memposisikan diri pada sisi yang netral dalam mensikapi berbagai perbedaan serta pertentangan dalam pemahaman serta pengalaman ajaran sebuah agama. Terutama di kalangan umat Islam. Ajaran-ajaran dalam agama Islam baik berupa pemahaman maupun pengamalan sepertinya sedang mengalami masa transisi. Hal ini disebabkan berbagai pemahaman dan pengamalan ajaran agama yang terus berkembang di tengah-tengah masyarakat. Seperti yang kita ketahui bersama, organisasi keagamaan yang paling populer di kalangan umat Islam di Indonesia adalah Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama (NU). Kedua organisasi keagamaan ini sejak dahulu kala, bahkan hingga kini masih berbeda, baik dalam pemahaman keagamaan dan paling menonjol ialah persoalan pengamalan ajaran Islam.
            Kedua organisasi kegamaan Islam ini dalam pengamalan ajaran agama Islam memang kerap kali saling “bertikai” serta kurang akur, terlebih ketika sedang berhadapan dengan masyarakat (umat). Tak pelak, umat Islam di Indonesia, tak terkecuali di daerah Melawi,  malah justru jadi rebutan antar kedua organisasi Islam terbesar di Indonesia ini yang secara tidak langsung membuat masyarakat menjadi semakin bingung. Hebatnya, kebingungan masyarakat malah melahirkan sikap apatis serta acuh tak acuh untuk menjalankan serta mengamalkan ajaran-ajaran agama Islam. Kedua organisasi ini seakan terus-menerus membujuk masyarakat agar bergabung dengan organisasinya masing-masing dan bahkan memaksa masyarakat (umat) untuk mempraktekkan ajaran Islam sesuai dengan pemahaman mereka yang berbeda.
            Baru-baru ini, pengamalan Islam di Melawi dan sekitarnya yang umumnya mirip dengan pengamalan Islam ala NU, sedikit demi sedikit mulai mengalami pergeseran yang mendekat kepada pemahaman Muhammadiyah. Persoalan-persoalan yang dianggap ibadah yang bid’ah mulai digugat dan dianggap tidak diajarkan oleh Islam, seperti yasinan, tahlilan, sholawatan, maulud nabi, isra’ dan mi’raj, dan lain sebagainya. Pemahaman seperti ini memang lebih dekat dengan Muhammadiyah karena menurut organisasi Islam yang didirikan oleh KH Ahmad Dahlan  ini ibadah-ibadah seperti itu merupakan praktek bid’ah sesat yang tak pernah diajarkan oleh nabi Muhammad saw.  Sehingga jadilah pengalaman dari ajaran Islam yang akrab di kalangan NU itu dianggap sebagai sebuah kesesatan, padahal amalan-amalan semacam itu telah menjadi tradisi di tengah-tengah masyarakat.
            Klaim sesat atau bid’ah terhadap amalan seperti yasinan dan tahlilan membuat masyarakat menjadi acuh tak acuh lagi dengan Islam. Masyarakat (umat) menjadi malas melaksanakan ibadah karena mereka merasa serba salah, dan dituding telah sesat dengan aktivitas ibadah yang mereka lakukan tersebut, padahal selama ini ibadah-ibadah yang diklaim bid’ah itulah yang ternyata telah mampu membuat masyarakat dekat dengan Islam.
            Menurut penulis, Departemen Agama yang diwakili oleh KUA di daerah-daerah harus mampu menangkap gejala-gejala demikian itu dengan pandangan obyektif. KUA perlu melakukan berbagai kegiatan keagamaan yang bersifat universal, bukan malah ikut-ikut menuding bahwa masyarakat telah melakukan berbagai ibadah yang sesat dan bida’ah. Jika sikap seperti itu ditunjukkan, baik Departemen Agama maupun KUA, maka besar kemungkinan kedua lembaga keaagamaan tersebut tak akan lagi dihiraukan oleh umat.
KUA mengayomi
Peran dan fungsi KUA dalam mensikapi berbagai gejala-gejala keagamaan yang terjadi di tengah-tengah masyarakat memang sangat dibutuhkan. Selain karena sebuah kewajiban, KUA juga merupakan lembaga keagamaan yang paling dekat dengan masyarakat (umat). Dengan kata lain, KUA adalah sebuah lembaga agama yang lebih mengerti secara sosiologis dengan kondisi pemahaman serta pengamalan ajaran agama oleh masyarakat.
Dalam menghadapi berbagai gejala pemahaman dan pengamalan ajaran agama yang berkembang di tengah-tengah umat, maka KUA harus mampu mengayominya. Bukan malah justru ikut-ikutan menuding bahwa pemahaman dan pengamalan ajaran agama tertentu telah sesat atau bid’ah sehingga KUA justru gencar berkampanye ke mana-mana. Fakta ini diakui atau tidak sudah mulai merebak, lembaga-lembaga keagamaan, khususnya Islam, saling jadi rebutan dari organisasi-organisasi Islam tertentu. Maksudnya, ada organisasi tertentu yang sengaja ingin menguasai KUA agar mendapatkan kekuasaan dan legitimasi dalam mengkritisi pemahaman dan pengamalan agama yang dilakukan oleh masyarakat.
Selain itu, ada semacam keinginan kelompok Islam tertentu yang sengaja ingin menguasai lembaga-lembaga keagamaan agar leluasa menyebarkan pemahaman dan pengamalan dari ajaran Islam yang sesuai dengan kebenaran perspektif kelompok mereka kepada masyarakat. Di Desa Melana, Kecamatan Nanga Sokan, semisal, tradisi yasinan dan tahlilan yang tujuan sosialnya adalah untuk mempererat tali persaudaraan justru dituding bid’ah dan sesat oleh kelompok tertentu. Bahkan, dengan tidak berperasaan, tradisi yasinan dan tahlilan dibubarkan dengan alasan perkara semacam ini tidak pernah diajarkan oleh Nabi.
Bagi masyarakat pada umumnya, yasinan dan tahlilan selain juga sebagai bentuk doa, tetapi juga merupakan media untuk mempererat tali persaudaraan dan menjalin silaturrahmi. Bukankah bercerai berai merupakan larangan dari Allah?, serta menjalin tali silaturrahmi merupakan anjuran dari Nabi? Pertanyaan selanjutnya, bagaimana jika masyarakat nantinya akan acuh tak acuh dengan ajaran Islam karena dituding sesat dan bid’ah, dan oleh karena lembaga-lembaga keagamaan serta masjid telah dikuasai oleh kelompok Islam tertentu? Dari sini, maka tugas KUA bukan hanya sebagai lembaga yang semata mengurusi soal pernikahan dan perceraian, tapi lebih dari pada itu, yang menjadi kewajibannya juga ialah menjaga tali ukhuwah islamiyah dengan menunjukkan sikap yang obyektif dan tidak memihak agar umat tetap konsisten dalam menjalankan ajaran-ajaran Islam meskipun dengan praktek amalan yang berbeda-beda. Perbedaan itu bukanlah sebuah aib. Perbedaan tersebut justru menunjukan bahwa pemamahan umat terhadap ajaran Islam sangat mendalam.
Terlepas dari itu, menurut penulis, yasinan dan tahlilan sah-sah saja dilakukan karena kedua aktivitas itu bukanlah suatu bentuk kemungkaran. Selain itu juga, secara sosial, yasinan dan tahlilan dapat dijadikan sebagai media untuk mempererat persaudaraan (ukhuwah islamiyah) serta menjalin silaturrahmi. Mempererat tali persaudaraan dan silaturrahmi merupakan ajaran Islam yang harus digalakkan di era globalisasi dan modernisasi ini. Sebab, misi globalisasi dan modernisasi adalah untuk menciptakan manusia yang individualistik, memikirkan diri sendiri, dan mengabaikan hubungan sosial. Begitu..!!        
Disqus Comments