Sunday, 2 June 2013

Nikah Sirri, Poligami dan Bahasa Perselingkuhan



Perempuan mana yang rela bila dimadu. Andai pun ada paling hanya sedikit dari kebanyakan perempuan, lebih-lebih jika diketahui ternyata suami menikah lagi tanpa sepengetahuan dan persetujuan dari sang istri. Apalagi jika ternyata suami diketahui melakukan praktek haram perselingkuhan.
Poligami memang tidak dilarang selama maksud dan tujuannya mulia, tidak menyakiti perempuan serta sang suami mampu berlaku adil dalam segala aspek.  Meski begitu, tidak sedikit pula kalangan perempuan menyatakan tidak setuju dengan praktek halal poligami karena dianggap melecehkan martabat perempuan, terutama menyangkut perasaannya. Poligami kemudian menjadi hangat diperbincangkan di mana-mana dan berujung pada subyektifitas masing-masing dalam menilai, menimbang serta memahaminya tanpa adanya suatu aturan tertentu sebagai back up dari perdebatan tentang boleh atau tidaknya seorang suami berpoligami.
Sejak poligami diperdebatkan, orang kemudian berpikir ulang jika hendak melakukannya demi menjaga citra diri. Sebab, poligami seakan telah berubah menjadi perkara yang tidak cukup baik untuk dilakukan, dan beberapa tokoh yang mencoba mempraktekkan poligami justru berakhir pada cemoohan dari masyarakat.
Seakan tidak mau peduli dengan citra buruk yang akan dicap oleh masyarakat, beberapa public figure di negeri ini justru terang-terangan mengumbar praktek poligaminya. Anehnya, praktek poligami yang diperbolehkan agama hanya empat orang wanita, kini malah melebihi itu. Lihat saja dua tokoh fenomenal yang beberapa bulan belakangan heboh di media massa dan media elektronik, yaitu Eyang Subur dan Ahmad Fathonah, keduanya memiliki istri yang sangat banyak.  Subur memiliki delapan orang istri, sedangkan Fathonah memiliki sekurang-kurangnya 20 wanita yang tidak dijelaskan statusnya apakah sebagai istri ataupun tidak.
Kasus yang terjadi pada Subur dan Fathonah memberikan banyak pelajaran yang sangat berharga kepada kita, terutama mengenai tiga hal yaitu poligami, nikah sirri dan perselingkuhan. Pertanyaan reflektifnya, apakah praktek yang diperlihatkan kedua public figure itu, setidaknya, termasuk dalam kategori perselingkuhan? Fakta yang kemudian membuat kita terpaksa mengelus dada ialah soal kesan begitu mudahnya perempuan-perempuan terlibat dalam permainan Ahmad Fathonah. Entah benar atau tidaknya, tentang apa motifnya, kaum perempuan harusnya tersentak mendengar serta menyaksikan kasus ini yang justru santer di tengah-tengah maraknya perjuangan kesetaraan gender di negeri ini.
Perselingkuhan seakan sangat erat di lingkungan orang-orang kenamaan. Nikah sirri dan poligami pun nyaris dipelintir menjadi dua istilah yang acap kali dijadikan sebagai bahasa perselingkuhan. Sepertinya memang harus dikeluarkan regulasi yang pasti untuk mengatur tentang poligami, nikah sirri dan perselingkuhan demi menjaga martabat perempuan yang kerap kali berada pada posisi sebagai korban. Soal nikah sirri, meskipun telah ada RUU Hukum Materiil Peradilan Agama Bidang Perkawinan yang memuat 24 bab dan 165 pasal nyatanya juga hanya sebatas formalitas belaka. Begitu pun mengenai poligami dan perselingkuhan belum ada regulasi yang jelas nan tegas dalam menyikapinya, meskipun terus menjadi pro-kontra di tengah-tengah masyarakat selama ini.
Ketidakpastian regulasi mengenai poligami, nikah sirri dan perselingkuhan membuat masyarakat, utamanya orang-orang kenamaan di negeri ini bebas mempraktekkannya. Dan ironisnya, Fathonah dengan mudahnya menggaet puluhan perempuan hanya bermodalkan rupiah. Kesan yang muncul selanjutnya ialah bahwa perempuan sangat mudah didapatkan hanya dengan memberikan mereka uang ratusan juta rupiah. Lantas kita kemudian bertanya-tanya, serendah itukah penghormatan kaum Adam terhadap martabat seorang perempuan?
Terlepas dari hal itu, perjuangan kesetaraan gender sudah seharusnya mencakup berbagai hal yang terdapat di dalam sosok seorang perempuan. Penekanannya tentu saja masih dalam hal status sosial, tetapi di sisi lain martabat perempuan sebagaimana kodratnya harus diperhatikan dengan seksama agar kesan perempuan yang kerap kali dianggap sebagai pemuas nafsu birahi perlahan terhapuskan dari benak para pria berhidung belang. Kasus Eyang Subur dan Ahmad Fathonah rasa-rasanya sudah cukup memberikan pelajaran paling berharga sebagai upaya kita memandang harkat dan martabat seorang perempuan. Dan begitu pula perempuan, harusnya dapat memposisikan dirinya sebagaimana mestinya ia berperan agar tidak melulu dicap sebagai pemuas belaka.
Disqus Comments