Perempuan
mana yang rela bila dimadu. Andai pun ada paling hanya sedikit dari kebanyakan
perempuan, lebih-lebih jika diketahui ternyata suami menikah lagi tanpa
sepengetahuan dan persetujuan dari sang istri. Apalagi jika ternyata suami
diketahui melakukan praktek haram perselingkuhan.
Poligami
memang tidak dilarang selama maksud dan tujuannya mulia, tidak menyakiti
perempuan serta sang suami mampu berlaku adil dalam segala aspek. Meski begitu, tidak sedikit pula kalangan
perempuan menyatakan tidak setuju dengan praktek halal poligami karena dianggap
melecehkan martabat perempuan, terutama menyangkut perasaannya. Poligami
kemudian menjadi hangat diperbincangkan di mana-mana dan berujung pada
subyektifitas masing-masing dalam menilai, menimbang serta memahaminya tanpa
adanya suatu aturan tertentu sebagai back
up dari perdebatan tentang boleh atau tidaknya seorang suami berpoligami.
Sejak
poligami diperdebatkan, orang kemudian berpikir ulang jika hendak melakukannya
demi menjaga citra diri. Sebab, poligami seakan telah berubah menjadi perkara
yang tidak cukup baik untuk dilakukan, dan beberapa tokoh yang mencoba
mempraktekkan poligami justru berakhir pada cemoohan dari masyarakat.
Seakan
tidak mau peduli dengan citra buruk yang akan dicap oleh masyarakat, beberapa public figure di negeri ini justru terang-terangan
mengumbar praktek poligaminya. Anehnya, praktek poligami yang diperbolehkan
agama hanya empat orang wanita, kini malah melebihi itu. Lihat saja dua tokoh
fenomenal yang beberapa bulan belakangan heboh di media massa dan media
elektronik, yaitu Eyang Subur dan Ahmad Fathonah, keduanya memiliki istri yang
sangat banyak. Subur memiliki delapan
orang istri, sedangkan Fathonah memiliki sekurang-kurangnya 20 wanita yang
tidak dijelaskan statusnya apakah sebagai istri ataupun tidak.
Kasus
yang terjadi pada Subur dan Fathonah memberikan banyak pelajaran yang sangat
berharga kepada kita, terutama mengenai tiga hal yaitu poligami, nikah sirri
dan perselingkuhan. Pertanyaan reflektifnya, apakah praktek yang diperlihatkan
kedua public figure itu, setidaknya, termasuk
dalam kategori perselingkuhan? Fakta yang kemudian membuat kita terpaksa
mengelus dada ialah soal kesan begitu mudahnya perempuan-perempuan terlibat
dalam permainan Ahmad Fathonah. Entah benar atau tidaknya, tentang apa
motifnya, kaum perempuan harusnya tersentak mendengar serta menyaksikan
kasus ini yang justru santer di tengah-tengah maraknya perjuangan kesetaraan
gender di negeri ini.
Perselingkuhan
seakan sangat erat di lingkungan orang-orang kenamaan. Nikah sirri dan poligami
pun nyaris dipelintir menjadi dua istilah yang acap kali dijadikan sebagai
bahasa perselingkuhan. Sepertinya memang harus dikeluarkan regulasi yang pasti
untuk mengatur tentang poligami, nikah sirri dan perselingkuhan demi menjaga
martabat perempuan yang kerap kali berada pada posisi sebagai korban. Soal
nikah sirri, meskipun telah ada RUU Hukum Materiil Peradilan Agama Bidang
Perkawinan yang memuat 24 bab dan 165 pasal nyatanya juga hanya sebatas
formalitas belaka. Begitu pun mengenai poligami dan perselingkuhan belum ada regulasi
yang jelas nan tegas dalam menyikapinya, meskipun terus menjadi pro-kontra di
tengah-tengah masyarakat selama ini.
Ketidakpastian
regulasi mengenai poligami, nikah sirri dan perselingkuhan membuat masyarakat,
utamanya orang-orang kenamaan di negeri ini bebas mempraktekkannya. Dan
ironisnya, Fathonah dengan mudahnya menggaet puluhan perempuan hanya
bermodalkan rupiah. Kesan yang muncul selanjutnya ialah bahwa perempuan sangat
mudah didapatkan hanya dengan memberikan mereka uang ratusan juta rupiah. Lantas
kita kemudian bertanya-tanya, serendah itukah penghormatan kaum Adam terhadap
martabat seorang perempuan?
Terlepas
dari hal itu, perjuangan kesetaraan gender sudah seharusnya mencakup berbagai
hal yang terdapat di dalam sosok seorang perempuan. Penekanannya tentu saja masih
dalam hal status sosial, tetapi di sisi lain martabat perempuan sebagaimana
kodratnya harus diperhatikan dengan seksama agar kesan perempuan yang kerap
kali dianggap sebagai pemuas nafsu birahi perlahan terhapuskan dari benak para pria
berhidung belang. Kasus Eyang Subur dan Ahmad Fathonah rasa-rasanya sudah cukup
memberikan pelajaran paling berharga sebagai upaya kita memandang harkat dan
martabat seorang perempuan. Dan begitu pula perempuan, harusnya dapat
memposisikan dirinya sebagaimana mestinya ia berperan agar tidak melulu dicap
sebagai pemuas belaka.