Harapan
peranan layanan bimbingan dan konseling di kurikulum baru yang akan
diimplementasikan pada tahun ajaran baru 2013/2014 sepertinya berakhir kandas.
Menurut penuturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Muhammad Nuh, dalam
kurikulum yang akan dimulai Juli mendatang tersebut tidak ditemukan satu
kalimat pun yang menyebutkan tentang bimbingan dan konseling. Kurikulum teranyar itu lebih menekankan pada
empat aspek yang dianggap teramat penting dan mendesak, yakni standar
kompetensi lulusan, standar proses, standar isi, serta standar penilaian.
Padahal, semangat dirumuskannya kurikulum baru adalah sebagai jawaban untuk
meningkatkan sumber daya manusia demi menghadapi perubahan dunia, dan BK pada
prinsipnya merupakan wadah nyata sebagai sebuah upaya untuk mengembangkan
peserta didik agar sukses dalam belajar justru tidak termuat secara kongkret.
Sejujurnya,
kita harus mengakui bahwa tidak semua siswa mulus dalam mengikuti kegiatan
belajar, dan tidak dapat diingkari pula bahwa masih banyak siswa yang mengalami
permasalahan dalam belajar tersebut. Di sini, bimbingan dan konseling sejatinya
memiliki peran yang strategis dalam upaya mengatasi siswa yang mengalami
permasalahan dalam kegiatan belajar. Di sisi lain, peranan bimbingan dan
konseling jauh hari sebenarnya telah diakui sebagai sebuah layanan yang dapat
membantu siswa dalam mengatasi hambatan serta kesulitan yang dihadapi mereka selama
proses studi. Pertanyaan reflektifnya, lantas mengapa bimbingan dan konseling
malah justru luput dari proses perumusan kurikulum baru?
Mungkin
saja jawabannya karena kurikulum baru yang telah dirumuskan lebih menekankan
pada aspek kompetensi guru. Sebab, dalam kurikulum terbaru itu, telah dirancang
secara matang mengenai pelatihan guru sebagai persiapan dalam pelaksanannya
nanti.
Proses
belajar mengajar yang selama ini berkembang lebih dipusatkan kepada para guru.
Artinya, guru dianggap sebagai ujung tombak dalam proses pendidikan sehingga
kompetensi para guru teramat mendesak untuk diperhatikan secara serius.
Terlepas
dari hal itu, kurikulum yang baru dikembangkan karena empat alasan reflektif,
yaitu tantangan masa depan, kompetensi masa depan, fenomena negatif yang
mengemuka di kalangan pelajar (tawuran, narkoba, plagiarisme, kecurangan dalam
ujian, gejolak di masyarakat), dan persepsi masyarakat (terlalu menitikberatkan
pada aspek kognitif, beban siswa terlalu berat, kurang bermuatan karakter). Jika
mengacu pada empat aspek yang disebutkan beserta rincian permasalahannya, bimbingan
dan konseling seharunya tidak luput dari perumusan. Atau mungkin tim perumus
memiliki suatu pemahaman sempit bahwa seorang guru dapat sekaligus berperan
sebagai seorang pembimbing atau konselor bagi murid-muridnya.
Pemahaman
seperti itu tampaknya agak sedikit keliru jika kita melihat sebuah kenyataan
bahwa tidak sedikit dari kebanyakan para guru justru menganggap tugas mereka
hanyalah menyampaikan mata pelajaran semata. Dari kenyataan inilah setidaknya
mengapa layanan bimbingan dan konseling teramat sangat diperlukan dalam proses
belajar dan mengajar.
Ada
sejumlah kasus yang sejatinya menunjukan bahwa pemahaman tentang guru yang
sekaligus berperan sebagai pembimbing atau konselor itu tidak optimal untuk
tidak dikatakan keliru. Ambil contoh sederhana misalnya kasus perkelahian antar
pelajar, secara moral pemandangan anomali ini merupakan akibat kurang
optimalnya peran seorang guru yang hanya menganggap bahwa dirinya hanyalah
bertugas menyampaikan mata pelajaran semata. Sehingga, tingkah polah atau
perilaku siswa setelah diberikan mata pelajaran justru tidak dapat terkontrol
dengan baik. Dan ketika peristiwa perkelahian antar siswa kian marak, lalu
disadari bahwa pendidikan diakui kurang memiliki karakter, kemudian muncullah
wacana pendidikan karakter yang selain juga lahir dari kesadaran buruknya
perilaku siswa tetapi juga karena pendidikan dianggap lebih menekankan pada
aspek kognitif semata.
Dalam
pada itu, maka layanan bimbingan dan konseling di sekolah merupakan salah satu
komponen dari sistem pendidikan yang sekiranya patut disinergiskan dengan
komponen administrasi dan pembelajaran. Sedangkan tujuannya ialah untuk
membantu perkembangan siswa atau peserta didik secara optimal. Maksudnya adalah
bahwa perkembangan optimal peserta didik berarti siswa dapat berkembang serta
mencapai hasil yang sesuai dengan kemampuan, minat, baka, cita-cita dan potensi
positif lainnya yang dimiliki mereka. Diknas, 2007, menyebutkan bahwa layanan
bimbingan dan konseling bertujuan untuk membantu siswa agar dapat merencanakan
kegiatan penyelesaian studi, perkembangan karir serta kehidupannya di masa yang
akan datang, mengoptimalkan seluruh potensi dan kekuatan yang dimiliki oleh
siswa, menyesuaikan diri siswa dengan lingkungan pendidikan, lingkungan
masyarakat dan lingkungan kerjanya, dan juga dapat mengatasi hambatan dan
kesulitan siswa dalam studi, penyesuaian siswa dengan lingkungan pendidikan,
masyarakat maupun lingkungan kerjanya. Sehingga dengan kesadaran ini tentu
sangat disayangkan jika layanan bimbingan dan konseling justru luput dalam
rumusan kurikulum yang baru tersebut. Begitulah..