Wednesday, 5 June 2013

Kurikulum Baru dan Nasib BK



Harapan peranan layanan bimbingan dan konseling di kurikulum baru yang akan diimplementasikan pada tahun ajaran baru 2013/2014 sepertinya berakhir kandas. Menurut penuturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Muhammad Nuh, dalam kurikulum yang akan dimulai Juli mendatang tersebut tidak ditemukan satu kalimat pun yang menyebutkan tentang bimbingan dan konseling.  Kurikulum teranyar itu lebih menekankan pada empat aspek yang dianggap teramat penting dan mendesak, yakni standar kompetensi lulusan, standar proses, standar isi, serta standar penilaian. Padahal, semangat dirumuskannya kurikulum baru adalah sebagai jawaban untuk meningkatkan sumber daya manusia demi menghadapi perubahan dunia, dan BK pada prinsipnya merupakan wadah nyata sebagai sebuah upaya untuk mengembangkan peserta didik agar sukses dalam belajar justru tidak termuat secara kongkret.
Sejujurnya, kita harus mengakui bahwa tidak semua siswa mulus dalam mengikuti kegiatan belajar, dan tidak dapat diingkari pula bahwa masih banyak siswa yang mengalami permasalahan dalam belajar tersebut. Di sini, bimbingan dan konseling sejatinya memiliki peran yang strategis dalam upaya mengatasi siswa yang mengalami permasalahan dalam kegiatan belajar. Di sisi lain, peranan bimbingan dan konseling jauh hari sebenarnya telah diakui sebagai sebuah layanan yang dapat membantu siswa dalam mengatasi hambatan serta kesulitan yang dihadapi mereka selama proses studi. Pertanyaan reflektifnya, lantas mengapa bimbingan dan konseling malah justru luput dari proses perumusan kurikulum baru?
Mungkin saja jawabannya karena kurikulum baru yang telah dirumuskan lebih menekankan pada aspek kompetensi guru. Sebab, dalam kurikulum terbaru itu, telah dirancang secara matang mengenai pelatihan guru sebagai persiapan dalam pelaksanannya nanti.
Proses belajar mengajar yang selama ini berkembang lebih dipusatkan kepada para guru. Artinya, guru dianggap sebagai ujung tombak dalam proses pendidikan sehingga kompetensi para guru teramat mendesak untuk diperhatikan secara serius.
Terlepas dari hal itu, kurikulum yang baru dikembangkan karena empat alasan reflektif, yaitu tantangan masa depan, kompetensi masa depan, fenomena negatif yang mengemuka di kalangan pelajar (tawuran, narkoba, plagiarisme, kecurangan dalam ujian, gejolak di masyarakat), dan persepsi masyarakat (terlalu menitikberatkan pada aspek kognitif, beban siswa terlalu berat, kurang bermuatan karakter). Jika mengacu pada empat aspek yang disebutkan beserta rincian permasalahannya, bimbingan dan konseling seharunya tidak luput dari perumusan. Atau mungkin tim perumus memiliki suatu pemahaman sempit bahwa seorang guru dapat sekaligus berperan sebagai seorang pembimbing atau konselor bagi murid-muridnya.
Pemahaman seperti itu tampaknya agak sedikit keliru jika kita melihat sebuah kenyataan bahwa tidak sedikit dari kebanyakan para guru justru menganggap tugas mereka hanyalah menyampaikan mata pelajaran semata. Dari kenyataan inilah setidaknya mengapa layanan bimbingan dan konseling teramat sangat diperlukan dalam proses belajar dan mengajar.
Ada sejumlah kasus yang sejatinya menunjukan bahwa pemahaman tentang guru yang sekaligus berperan sebagai pembimbing atau konselor itu tidak optimal untuk tidak dikatakan keliru. Ambil contoh sederhana misalnya kasus perkelahian antar pelajar, secara moral pemandangan anomali ini merupakan akibat kurang optimalnya peran seorang guru yang hanya menganggap bahwa dirinya hanyalah bertugas menyampaikan mata pelajaran semata. Sehingga, tingkah polah atau perilaku siswa setelah diberikan mata pelajaran justru tidak dapat terkontrol dengan baik. Dan ketika peristiwa perkelahian antar siswa kian marak, lalu disadari bahwa pendidikan diakui kurang memiliki karakter, kemudian muncullah wacana pendidikan karakter yang selain juga lahir dari kesadaran buruknya perilaku siswa tetapi juga karena pendidikan dianggap lebih menekankan pada aspek kognitif semata.
Dalam pada itu, maka layanan bimbingan dan konseling di sekolah merupakan salah satu komponen dari sistem pendidikan yang sekiranya patut disinergiskan dengan komponen administrasi dan pembelajaran. Sedangkan tujuannya ialah untuk membantu perkembangan siswa atau peserta didik secara optimal. Maksudnya adalah bahwa perkembangan optimal peserta didik berarti siswa dapat berkembang serta mencapai hasil yang sesuai dengan kemampuan, minat, baka, cita-cita dan potensi positif lainnya yang dimiliki mereka. Diknas, 2007, menyebutkan bahwa layanan bimbingan dan konseling bertujuan untuk membantu siswa agar dapat merencanakan kegiatan penyelesaian studi, perkembangan karir serta kehidupannya di masa yang akan datang, mengoptimalkan seluruh potensi dan kekuatan yang dimiliki oleh siswa, menyesuaikan diri siswa dengan lingkungan pendidikan, lingkungan masyarakat dan lingkungan kerjanya, dan juga dapat mengatasi hambatan dan kesulitan siswa dalam studi, penyesuaian siswa dengan lingkungan pendidikan, masyarakat maupun lingkungan kerjanya. Sehingga dengan kesadaran ini tentu sangat disayangkan jika layanan bimbingan dan konseling justru luput dalam rumusan kurikulum yang baru tersebut. Begitulah..
Disqus Comments