Bagian 1
Cinta Berawal Lalu Berpisah
Seperti halnya Mazra,
gadis desa yang kukenal baik kemarin hari, Aku pun beranjak meninggalkan Jogja
dengan seribu derita dan gumpalan-gumpalan
asa yang bercampur baur jadi satu hilang ditelan oleh waktu dan mensejarah.
Kota tua itu menjadi saksi bisu kegagalan kedua insan yang berbeda kultur itu
dalam menggapai asa dan citanya untuk menjadi satu dalam bingkaian cinta dalam waktu dekat.
Tak berapa lama setelah
mengakhiri masa studi, Aku dan Mazra menghabiskan waktu dengan saling berbagi
kasih sembari menanti hari tuk berpisah dalam waktu yang lama. Maklum saja, Aku
dan Mazra dilahirkan di tempat yang berbeda, bahkan jauh terpisah di antara dua
pulau yang dibelah oleh lautan biru nan luas membentang antara timur dan barat
negeri ini. Aku di barat, sementara Mazra di timur.
Pertalian kasih antara
Aku dan Mazra tidak pernah terikat oleh janji, tetapi hanya menyatu dalam rasa,
sehingga kami tak pernah mengucapkan sumpah setia untuk berjumpa
lagi di lain waktu jika nanti kami telah kembali ke kampung halaman masing-masing.
Kami hanya percaya teguh dengan catatan takdir Tuhan di mana keyakinan
dijadikan sebagai sumber kekuatan. Andai jodoh pasti bertemu kembali, dan
kalaupun tidak berarti jodoh kami berada di tangan orang lain. Kami tak pernah
terbesit rasa keterpaksaan, karena hakikat hidup adalah kebebasan.
“Mengapa kau tak
bertahan saja di kota ini Mazra kekasihku?”, tanyaku penuh harap sembari
menatap raut wajahnya yang terlihat resah dan gelisah. “Barangkali setelah Aku
pulang nanti kau dapat dengan bebas menantiku kembali ke kota ini untuk
memelukmu?”, Aku memberikan sebuah harapan, berusaha tuk meyakinkan.
Wajah Mazra tiba-tiba
bersinar ceria mendengar kalimat pertanyaanku yang agak gombal itu sembari
berkata; “Iya mas, aku masih berusaha tuk bertahan di sudut kota ini menantimu
kembali ke sini sebagaimana rencana awalmu tempo hari, bahwa kau pulang
hanya untuk sebentar waktu saja”, paparnya datar.
“Tapi, aku pesimis tuk
bisa bertahan di sini karena mbakku sejak beberapa hari yang lalu seakan ingin
mengusirku dari sini. Sudah beberapa hari belakangan, dia selalu marah-marah nggak jelas karena salahku apa
padanya, aku sendiri merasa nggak
nyaman dengan omelannya yang mulai kasar padaku”, raut wajah Mazra tiba-tiba
berganti duka derita, seakan ada gejolak pemberontakan dari dalam dirinya
melihat tingkah dan ocehan mbaknya yang sudah tak ramah lagi padanya.
Beberapa hari
belakangan Aku sendiri turut menyaksikan kemarahan mbak kandung Mazra itu,
bahkan hanya karena persoalan kecil saja. Pikirku, mungkin mbak Mazra itu
sedang ada masalah di dalam keluarganya sehingga rasa frustasinya ia tumpahkan
kepada adik kandungnya sendiri, Mazra, karena marah dengan suamipun ia sendiri
tak berani.
Melihat kenyataan pahit
itu, Aku tentu saja tak berani menyusup ke kehidupan rumah tangga mereka,
karena Aku sadar bahwa Aku bukanlah siapa-siapa melainkan hanyalah sosok
kekasih hati Mazra, adik kadungnya ini, yang berarti juga merupakan orang lain.
Hari demi hari berlalu,
kondisi tak banyak berubah, malah justru terlihat semakin parah. Mazra pun
mulai tak betah hidup di antara mbaknya, suami mbaknya dan satu anak mereka,
Eria yang masih kecil, yang baru saja berusia tiga tahun.
Aku sendiri hanya bisa
melihat dan melihat saja, sesekali menguatkan Mazra.
Membuat dia bahagia adalah cara terbaikku sebagai bentuk rasa kasih sayang yang
Aku miliki untuknya, sesekali dia menangis, di situ pula Aku menunjukan rasa
empatiku kepadanya. Dalam deraian tangisnya pula, Mazra berusaha untuk sadar
akan posisinya yang terlalu bergantung dengan mbaknya dan juga masnya selama
ini. Sekali lagi, Aku berusaha untuk menguatkan Mazra kekasihku itu setelah
rasa keputusasaannya seakan sudah berada di ubun-ubunya mencapai titik nadir.
Tak kuasa melihat air mata Mazra, kuraih tangannya erat-erat lalu kuajak dia
menaiki sepeda motor, berkeliling, berjalan-jalan mengitari kota Jogja yang
sedang didera hujan teramat lebat. Tak peduli basah
kuyup, kami berdua tak memutuskan untuk berteduh sejenak sampai hujan reda.
Biarlah air hujan ini membasahi pakaian dan tubuh kami, setidaknya untuk
menghilangkan jejak air mata Mazra yang sejak tadi banjir membasahi pipinya.
Sore hari hujan pun
reda.
Aku dan Mazra seakan
telah puas hujan-hujan-an di sepanjang jalan
Malioboro dengan basah kuyup dan dijangkiti rasa dingin yang
sangat menggigit. Kami pun segera pulang menuju kost, lagi pula Mazra telah
ijin kepada mbaknya untuk keluar bersamaku tadi.
Sesampainya Aku dan
Mazra di kost, segera kami mengeringkan tubuh dengan handuk dan mengganti
pakaian, sementara Mazra mengganti pakaiannya di dalam kamar dengan pakaian
yang tadi kami beli di mall, Aku sendiri ke kamar mandi juga untuk berganti
pakaian. Tak lama kemudian, hujan turun lagi, sehingga mengurungkan niat Mazra
untuk pulang ke rumah mbaknya, tempat di mana ia berteduh di Jogja selama ini,
yang kini seakan telah dianggap neraka bagi Mazra sejak mbaknya sering
marah-marah belakangan ini.
Sembari menanti hujan
reda, kami bercerita banyak hal mengenai masa-masa kecil dulu, dan berlanjut
dengan gelak tawa serta canda yang membuat langit-langit kamar kost
seakan ikut tertawa pula. Duka dan derita Mazra lenyap begitu saja, berganti
dengan tawa yang tak ada habisnya, hingga rasa dingin yang menggigit tubuh kami
berganti dengan kehangatan, penuh dengan kegirangan. Serasa dunia ini pun hanya
milik kami berdua saja, karena tawa dan canda kami tanpa aturan dan menafikan
para penghuni kost lainnya.
“Udah-udah akh
ketawanya, sakit perut Aku dari tadi ketawa terus, ceritamu lucu-lucu sayang,
tapi dilanjutkan di lain hari lagi ajalah ceritanya”, ujarku sambil bangkit
dari dudukku.
“Kok bisa-bisanya lho
waktu kecil kamu mandi hujan sambil telanjang, kayak anak laki aja”, tukasku
yang ingin menghentikan gelak tawa yang membahana di ruang kamarku sejak tadi,
dan kami pun tertawa-tawa kembali.
Sejak itu, hujan pun
perlahan mulai reda. Jam pun telah menunjukan pukul sembilan malam, yang
artinya Mazra harus segera pulang ke rumah mbak kandungnya itu. Aku hanya
berharap, gelak tawa, canda dan suasana kegirangan yang baru saja kami lewati
bersama tadi menjadi bekal Mazra untuk pulang menuju rumah mbaknya tanpa
kekhawatiran, atau bahkan rasa takut dengan suasana penuh kemarahan di rumah
kecil mbaknya itu. Aku memberikan keyakinan kepadanya, bahwa kemarahan mbaknya
hanyalah sementara saja, dan dengan bekal itu Mazra mantapkan hati tuk segera
beranjak pulang.
Hingga pagi hari tiba,
sebuah pesan masuk di handphone-ku, yang tidak lain datangnya dari Mazra, dia
mengabarkan bahwa mbaknya sudah tak lagi marah-marah padanya, justru mbak
kandunngnya itu meminta maaf atas perilaku buruknya beberapa hari belakangan
kepada Mazra. Aku lega.
Persoalan satu selesai
pikirku, dengan hati yang lega. Hari ini Aku ada janjian bertemu dengan
seorang teman yang mengajak berbincang-bincang mengenai rencana membuat sebuah
lembaga penelitian di Blandongan. Blandongan adalah sebuah kedai kopi terkenal
di kota Jogja yang selalu dipenuhi oleh para pecinta kopi saban harinya.
Sebagai seorang pecinta kopi, Aku pun seakan tak pernah absen mengunjunginya,
sesekali ngopi sambil
nongkrong, sesekali ngopi sambil
diskusi dengan rekan-rekan aktivis mahasiswa, dan sesekali ngopi sambil janjian bertemu dengan
orang untuk suatu keperluan.
Di sudut Aku berbincang
agak serius dengan seorang teman sembari menikmati hidangan kopi khas
Blandongan yang amat Aku gemari. Kopi manis.
“Bagaimana Gus, ada
perkembangan apa dengan lembaga yang kita gagas sejak dulu itu, kok sepertinya
ada kabar baik yang ingin kau sampaikan kepadaku hari ini?’, tanyaku kepada Gus
yang terlihat bersemangat ingin menyampaikan suatu berita kepadaku.
“Begini kawan”, dengan
kesungguhan. “Kemarin saya bertemu dengan seorang donatur yang siap mem-back up
penuh soal keberadaan lembaga kita. Katanya beliau menginginkan lembaga ini
kita hidupkan secara bersama-sama untuk menjadi sebuah lembaga yang
professional, dan aktif di dalam berbagai aktivitas penelitian sosial”, tukas
Gus dengan penuh semangat berseling gembira.
Lembaga ini memang
telah digagas, bahkan sudah dibentuk dua tahun yang lalu, dan penah launching serta mengadakan beberapa
kegiatan seminar nasional di Jogja. Karena kesungguh-sungguhannya lembaga ini
untuk menjadi sebuah lembaga yang aktif dan partisipatif, maka Gus berkenalan
dengan seorang donatur yang datang dari Jakarta ingin mengembangkan lembaga
dengan biaya awal darinya. Di sana terjadi tawar menawar antara Gus dan
donatur. Begitu ceritanya di awal-awal kami membuka obrolan.
“Oke, itu ide serta
kesempatan yang bagus Gus”, Aku memotong omongan Gus yang telah kami tunjuk
sebagai direktur utama lembaga ini. “Lagi pula, sampai saat kini kan belum ada
kejelasan apakah lembaga ini akan tetap dilanjutkan atau tidak setelah hampir
satu tahun vakum karena kesibukan di antara kita bertiga”, imbuhku lanjut.
Sambil menghisap
rokoknya dan sesekali meminum kopi di hadapannya, Gus kembali bicara dengan
nada kesungguhan namun terlihat santai, “Lah, makanya saya kemarin berusaha tuk
meyakini donatur ini, supaya mau mendengarkan presentasi saya tentang profil
lembaga kita ini, dan hasilnya ternyata mampu memberikan suatu kepercayaan
khusus kepada kita atas gagasan berdirinya lembaga ini”, Gus menjelaskan
seperti sedang orasi, berapi-api. Tampaknya semangat membara sedang membakar
dirinya sehingga ia begitu terlihat sangat termotivasi dan emosional.
“Nah, sebelum saya
meng-iya-kan kerjasama dengan donatur ini, saya berfikir ada baiknya jika
rencana ini saya komunikasikan kepada ente, sambil menujukan tangannya ke
arahku, dan Andi, tapi sementara saya jelaskan ke ente saja dulu, nanti malam
saya baru bisa menemui Andi”, semangat Gus kian menjadi-jadi.
Diskusi kali ini memang
sengaja tak terlalu serius, santai sambil menikmati hidangan kopi manis
yang khas di Blandongan ini. Sesekali kami menyapa beberapa orang yang kami
kenal di kedai kopi ini, sambil mengajak mereka bercanda, karena kedai kopi ini
penuh dengan nuansa keakraban antar satu sama lainnya.
“Ritt, nggak usah kau terlalu
serius itu ngobrolnya”, sentil
seorang teman di ujung sana sambil tertawa, sedang di tangannya ada kartu.
“Haha,,, iya bro, ini
santai-santai aja kok, nggak ada
yang terlihat serius”, sahutku datar sembari menghisap rokok.
Dari samping kanan,
seorang teman nongkrong tiba-tiba bersuara, “Ritt, katanya mau pulang ke
Kalimantan, nggak jadi kah?”,
dia bertanya kepadaku. Dengan santai pula Aku menjawab, “Nantilah bro, Aku
masih ada urusan ini di Jogja, dan sampai urusanku ini selesai barulah Aku
pulang, dan itupun rencananya hanya dalam waktu tak lama”.
“Iyalah”, katanya.
“Yang penting kamu pulang dulu, soal mau balik apa tidak ke Jogja lagi, itu
urusan nanti, gampanglah. Kamu butuh refreshing dulu untuk menyusun planning ke depannya, dan itu hanya
bisa kamu lakukan jika kau keluar dulu dari situasi ini”, tampaknya Jay tahu
betul raut wajahku yang akhir-akhir ini kurang sumringah karena selalu menunda
kepulanganku.
Omongan Jay memang ada
benarnya. Aku memang sedang dilanda penyakit kebingungan dan agak stress karena
beberapa bulan belakangan Aku memang disibukkan dengan pekerjaan menyelesaikan
sekitar 200 artikel yang membuat tubuhku kurus karena hampir tiap malam
begadang, dikejar deadline.
“Jadi, Gus, pada
prinsipnya Aku setuju-setuju saja dengan kerjasama ini, demi perkembangan
lembaga yang telah kita rintis bertiga ini, dan kita akan tunggu keputusan
Andi, sebab dalam waktu dekat Aku berencana tuk pulang dulu ke Kalimantan”, Aku
memberikan sebuah kesimpulan tentang apa yang telah dipaparkan Gus sejak tadi.
Obrolan Aku dan Gus
berakhir, dan dia segera meninggalkan kursi Blandongan ini karena sedang
dinanti seseorang di kost-nya.#