Monday, 24 June 2013

Novel Reflektif: PESAWATKU TERBANG DI KALA SENJA

Bagian 1
Cinta Berawal Lalu Berpisah
Seperti halnya Mazra, gadis desa yang kukenal baik kemarin hari, Aku pun beranjak meninggalkan Jogja dengan seribu derita dan gumpalan-gumpalan asa yang bercampur baur jadi satu hilang ditelan oleh waktu dan mensejarah. Kota tua itu menjadi saksi bisu kegagalan kedua insan yang berbeda kultur itu dalam menggapai asa dan citanya untuk menjadi satu dalam bingkaian cinta dalam waktu dekat.
Tak berapa lama setelah mengakhiri masa studi, Aku dan Mazra menghabiskan waktu dengan saling berbagi kasih sembari menanti hari tuk berpisah dalam waktu yang lama. Maklum saja, Aku dan Mazra dilahirkan di tempat yang berbeda, bahkan jauh terpisah di antara dua pulau yang dibelah oleh lautan biru nan luas membentang antara timur dan barat negeri ini. Aku di barat, sementara Mazra di timur.
Pertalian kasih antara Aku dan Mazra tidak pernah terikat oleh janji, tetapi hanya menyatu dalam rasa, sehingga kami tak pernah mengucapkan sumpah setia untuk berjumpa lagi di lain waktu jika nanti kami telah kembali ke kampung halaman masing-masing. Kami hanya percaya teguh dengan catatan takdir Tuhan di mana keyakinan dijadikan sebagai sumber kekuatan. Andai jodoh pasti bertemu kembali, dan kalaupun tidak berarti jodoh kami berada di tangan orang lain. Kami tak pernah terbesit rasa keterpaksaan, karena hakikat hidup adalah kebebasan.
“Mengapa kau tak bertahan saja di kota ini Mazra kekasihku?”, tanyaku penuh harap sembari menatap raut wajahnya yang terlihat resah dan gelisah. “Barangkali setelah Aku pulang nanti kau dapat dengan bebas menantiku kembali ke kota ini untuk memelukmu?”,  Aku memberikan sebuah harapan, berusaha tuk meyakinkan.
Wajah Mazra tiba-tiba bersinar ceria mendengar kalimat pertanyaanku yang agak gombal itu sembari berkata; “Iya mas, aku masih berusaha tuk bertahan di sudut kota ini menantimu kembali ke sini sebagaimana rencana awalmu tempo hari, bahwa kau pulang hanya untuk sebentar waktu saja”, paparnya datar.
“Tapi, aku pesimis tuk bisa bertahan di sini karena mbakku sejak beberapa hari yang lalu seakan ingin mengusirku dari sini. Sudah beberapa hari belakangan, dia selalu marah-marah nggak jelas karena salahku apa padanya, aku sendiri merasa nggak nyaman dengan omelannya yang mulai kasar padaku”, raut wajah Mazra tiba-tiba berganti duka derita, seakan ada gejolak pemberontakan dari dalam dirinya melihat tingkah dan ocehan mbaknya yang sudah tak ramah lagi padanya.
Beberapa hari belakangan Aku sendiri turut menyaksikan kemarahan mbak kandung Mazra itu, bahkan hanya karena persoalan kecil saja. Pikirku, mungkin mbak Mazra itu sedang ada masalah di dalam keluarganya sehingga rasa frustasinya ia tumpahkan kepada adik kandungnya sendiri, Mazra, karena marah dengan suamipun ia sendiri tak berani.
Melihat kenyataan pahit itu, Aku tentu saja tak berani menyusup ke kehidupan rumah tangga mereka, karena Aku sadar bahwa Aku bukanlah siapa-siapa melainkan hanyalah sosok kekasih hati Mazra, adik kadungnya ini, yang berarti juga merupakan orang lain.
Hari demi hari berlalu, kondisi tak banyak berubah, malah justru terlihat semakin parah. Mazra pun mulai tak betah hidup di antara mbaknya, suami mbaknya dan satu anak mereka, Eria yang masih kecil, yang baru saja berusia tiga tahun.
Aku sendiri hanya bisa melihat dan melihat saja, sesekali menguatkan Mazra. Membuat dia bahagia adalah cara terbaikku sebagai bentuk rasa kasih sayang yang Aku miliki untuknya, sesekali dia menangis, di situ pula Aku menunjukan rasa empatiku kepadanya. Dalam deraian tangisnya pula, Mazra berusaha untuk sadar akan posisinya yang terlalu bergantung dengan mbaknya dan juga masnya selama ini. Sekali lagi, Aku berusaha untuk menguatkan Mazra kekasihku itu setelah rasa keputusasaannya seakan sudah berada di ubun-ubunya mencapai titik nadir. Tak kuasa melihat air mata Mazra, kuraih tangannya erat-erat lalu kuajak dia menaiki sepeda motor, berkeliling, berjalan-jalan mengitari kota Jogja yang sedang didera hujan teramat lebat. Tak peduli basah kuyup, kami berdua tak memutuskan untuk berteduh sejenak sampai hujan reda. Biarlah air hujan ini membasahi pakaian dan tubuh kami, setidaknya untuk menghilangkan jejak air mata Mazra yang sejak tadi banjir membasahi pipinya.
Sore hari hujan pun reda.
Aku dan Mazra seakan telah puas hujan-hujan-an di sepanjang jalan Malioboro dengan basah kuyup dan dijangkiti rasa dingin yang sangat menggigit. Kami pun segera pulang menuju kost, lagi pula Mazra telah ijin kepada mbaknya untuk keluar bersamaku tadi.
Sesampainya Aku dan Mazra di kost, segera kami mengeringkan tubuh dengan handuk dan mengganti pakaian, sementara Mazra mengganti pakaiannya di dalam kamar dengan pakaian yang tadi kami beli di mall, Aku sendiri ke kamar mandi juga untuk berganti pakaian. Tak lama kemudian, hujan turun lagi, sehingga mengurungkan niat Mazra untuk pulang ke rumah mbaknya, tempat di mana ia berteduh di Jogja selama ini, yang kini seakan telah dianggap neraka bagi Mazra sejak mbaknya sering marah-marah belakangan ini.
Sembari menanti hujan reda, kami bercerita banyak hal mengenai masa-masa kecil dulu, dan berlanjut dengan gelak tawa serta canda  yang membuat langit-langit kamar kost seakan ikut tertawa pula. Duka dan derita Mazra lenyap begitu saja, berganti dengan tawa yang tak ada habisnya, hingga rasa dingin yang menggigit tubuh kami berganti dengan kehangatan, penuh dengan kegirangan. Serasa dunia ini pun hanya milik kami berdua saja, karena tawa dan canda kami tanpa aturan dan menafikan para penghuni kost lainnya.
“Udah-udah akh ketawanya, sakit perut Aku dari tadi ketawa terus, ceritamu lucu-lucu sayang, tapi dilanjutkan di lain hari lagi ajalah ceritanya”, ujarku sambil bangkit dari dudukku.
“Kok bisa-bisanya lho waktu kecil kamu mandi hujan sambil telanjang, kayak anak laki aja”, tukasku yang ingin menghentikan gelak tawa yang membahana di ruang kamarku sejak tadi, dan kami pun tertawa-tawa kembali.
Sejak itu, hujan pun perlahan mulai reda. Jam pun telah menunjukan pukul sembilan malam, yang artinya Mazra harus segera pulang ke rumah mbak kandungnya itu. Aku hanya berharap, gelak tawa, canda dan suasana kegirangan yang baru saja kami lewati bersama tadi menjadi bekal Mazra untuk pulang menuju rumah mbaknya tanpa kekhawatiran, atau bahkan rasa takut dengan suasana penuh kemarahan di rumah kecil mbaknya itu. Aku memberikan keyakinan kepadanya, bahwa kemarahan mbaknya hanyalah sementara saja, dan dengan bekal itu Mazra mantapkan hati tuk segera beranjak pulang.
Hingga pagi hari tiba, sebuah pesan masuk di handphone-ku, yang tidak lain datangnya dari Mazra, dia mengabarkan bahwa mbaknya sudah tak lagi marah-marah padanya, justru mbak kandunngnya itu meminta maaf atas perilaku buruknya beberapa hari belakangan kepada Mazra. Aku lega.
Persoalan satu selesai pikirku,  dengan hati yang lega. Hari ini Aku ada janjian bertemu dengan seorang teman yang mengajak berbincang-bincang mengenai rencana membuat sebuah lembaga penelitian di Blandongan. Blandongan adalah sebuah kedai kopi terkenal di kota Jogja yang selalu dipenuhi oleh para pecinta kopi saban harinya. Sebagai seorang pecinta kopi, Aku pun seakan tak pernah absen mengunjunginya, sesekali ngopi sambil nongkrong, sesekali ngopi sambil diskusi dengan rekan-rekan aktivis mahasiswa, dan sesekali ngopi sambil janjian bertemu dengan orang untuk suatu keperluan.
Di sudut Aku berbincang agak serius dengan seorang teman sembari menikmati hidangan kopi khas Blandongan yang amat Aku gemari. Kopi manis.
“Bagaimana Gus, ada perkembangan apa dengan lembaga yang kita gagas sejak dulu itu, kok sepertinya ada kabar baik yang ingin kau sampaikan kepadaku hari ini?’, tanyaku kepada Gus yang terlihat bersemangat ingin menyampaikan suatu berita kepadaku.
“Begini kawan”, dengan kesungguhan. “Kemarin saya bertemu dengan seorang donatur yang siap mem-back up penuh soal keberadaan lembaga kita. Katanya beliau menginginkan lembaga ini kita hidupkan secara bersama-sama untuk menjadi sebuah lembaga yang professional, dan aktif di dalam berbagai aktivitas penelitian sosial”, tukas Gus dengan penuh semangat berseling gembira.
Lembaga ini memang telah digagas, bahkan sudah dibentuk dua tahun yang lalu, dan penah launching serta mengadakan beberapa kegiatan seminar nasional di Jogja. Karena kesungguh-sungguhannya lembaga ini untuk menjadi sebuah lembaga yang aktif dan partisipatif, maka Gus berkenalan dengan seorang donatur yang datang dari Jakarta ingin mengembangkan lembaga dengan biaya awal darinya. Di sana terjadi tawar menawar antara Gus dan donatur. Begitu ceritanya di awal-awal kami membuka obrolan.
“Oke, itu ide serta kesempatan yang bagus Gus”, Aku memotong omongan Gus yang telah kami tunjuk sebagai direktur utama lembaga ini. “Lagi pula, sampai saat kini kan belum ada kejelasan apakah lembaga ini akan tetap dilanjutkan atau tidak setelah hampir satu tahun vakum karena kesibukan di antara kita bertiga”, imbuhku lanjut.
Sambil menghisap rokoknya dan sesekali meminum kopi di hadapannya, Gus kembali bicara dengan nada kesungguhan namun terlihat santai, “Lah, makanya saya kemarin berusaha tuk meyakini donatur ini, supaya mau mendengarkan presentasi saya tentang profil lembaga kita ini, dan hasilnya ternyata mampu memberikan suatu kepercayaan khusus kepada kita atas gagasan berdirinya lembaga ini”, Gus menjelaskan seperti sedang orasi, berapi-api. Tampaknya semangat membara sedang membakar dirinya sehingga ia begitu terlihat sangat termotivasi dan emosional.
“Nah, sebelum saya meng-iya-kan kerjasama dengan donatur ini, saya berfikir ada baiknya jika rencana ini saya komunikasikan kepada ente, sambil menujukan tangannya ke arahku, dan Andi, tapi sementara saya jelaskan ke ente saja dulu, nanti malam saya baru bisa menemui Andi”, semangat Gus kian menjadi-jadi.
Diskusi kali ini memang sengaja tak terlalu serius, santai sambil menikmati hidangan kopi  manis yang khas di Blandongan ini. Sesekali kami menyapa beberapa orang yang kami kenal di kedai kopi ini, sambil mengajak mereka bercanda, karena kedai kopi ini penuh dengan nuansa keakraban antar satu sama lainnya.
“Ritt, nggak usah kau terlalu serius itu ngobrolnya”, sentil seorang teman di ujung sana sambil tertawa, sedang di tangannya ada kartu.
“Haha,,, iya bro, ini santai-santai aja kok, nggak  ada yang terlihat serius”, sahutku datar sembari menghisap rokok.
Dari samping kanan, seorang teman nongkrong tiba-tiba bersuara, “Ritt, katanya mau pulang ke Kalimantan, nggak jadi kah?”, dia bertanya kepadaku. Dengan santai pula Aku menjawab, “Nantilah bro, Aku masih ada urusan ini di Jogja, dan sampai urusanku ini selesai barulah Aku pulang, dan itupun rencananya hanya dalam waktu tak lama”.
“Iyalah”, katanya. “Yang penting kamu pulang dulu, soal mau balik apa tidak ke Jogja lagi, itu urusan nanti, gampanglah. Kamu butuh refreshing dulu untuk menyusun planning ke depannya, dan itu hanya bisa kamu lakukan jika kau keluar dulu dari situasi ini”, tampaknya Jay tahu betul raut wajahku yang akhir-akhir ini kurang sumringah karena selalu menunda kepulanganku.
Omongan Jay memang ada benarnya. Aku memang sedang dilanda penyakit kebingungan dan agak stress karena beberapa bulan belakangan Aku memang disibukkan dengan pekerjaan menyelesaikan sekitar 200 artikel yang membuat tubuhku kurus karena hampir tiap malam begadang, dikejar deadline.
“Jadi, Gus, pada prinsipnya Aku setuju-setuju saja dengan kerjasama ini, demi perkembangan lembaga yang telah kita rintis bertiga ini, dan kita akan tunggu keputusan Andi, sebab dalam waktu dekat Aku berencana tuk pulang dulu ke Kalimantan”, Aku memberikan sebuah kesimpulan tentang apa yang telah dipaparkan Gus sejak tadi.
Obrolan Aku dan Gus berakhir, dan dia segera meninggalkan kursi Blandongan ini karena sedang dinanti seseorang di kost-nya.#
Disqus Comments