Judul: Ijtihad Kebangsaan Soekarno dan NU
Penulis: Imam Muhlis
Editor: Jakfar Shodik
Edisi: November 2013
Halaman: xvi + 264
Soekarno
dan Nahdlatul Ulama ibarat dua sisi mata uang logam yang tidak dapat
dipisahkan. Keduanya adalah jembatan emas sebagai salah satu penggagas penting
dalam sejarah perjuangan kemerdekaan Indonesia. Titik temu keduanya tidak dapat
dipandang sebelah mata sebagai penggagas, perintis sekaligus pejuang lahirnya
NKRI yang kini telah dinikmati oleh seluruh rakyat Indonesia.
Jika
dilihat sekilas dan kasat mata, memang tidak ada hubungannya antara Soekarno
dan NU. Sebab, latar belakang keduanya dapat dikatakan memang berbeda, Soekarno
adalah sosok nasionalis sekuler, sedangkan NU adalah sebuah organisasi yang
memiliki background kegamaan, yakni Islam. Tetapi, jika dikaji
secara lebih mendalam, keduanya memiliki kesamaan dan titik temu dalam beberapa
hal yang tidak dapat diabaikan begitu saja.
Imam
Muhlis, penulis buku ini memaparkan setidaknya terdapat lima entitas yang
menandai kedekatan atau pertemuan antara Bung Karno dan NU. Pertama, kedekatan etnis atau kultur, di
mana keduanya sama-sama berasal dari Jawa Timur. Kedua, Soekarno dan NU sama-sama memiliki basis massa wong cilik atau rakyat kecil, hanya saja
bedanya, basis massa Soekarno berasal dari kaum abangan, sedangkan NU memiliki
basis massa berasal dari kalangan santri dan kaum sarungan, atau kalangan
pesantren.
Ketiga,
masih menurut Muhlis, kedekatan dalam wilayah pemikiran, di mana baik Soekarno
maupun NU, sama-sama memiliki pemikiran serta sikap toleransi yang sangat
tinggi terhadap pluralisme agama dan budaya. Singkatnya, antara Bung Karno dan
NU lebih memperioritaskan nasionalisme, meskipun konsep nasionalisme mereka
berangkat dari perspektif yang berbeda, tetapi tetap satu tujuan, yaitu
nasionalisme dalam konteks perlawanan terhadap imperialisme-kolonialisme kaum
penjajah dan bertujuan untuk mewujudkan negara kebangsaan yang berdaulat. Keempat, kedekatan dalam hal
memperlakukan soal kebangsaan dalam suatu kesatuan dengan Islam yang
substansial. Dengan kata lain, Soekarno dan NU sama-sama bersikap akomodatif
kepada negara.
Terakhir,
kelima, Soekarno memberikan apresiasi
terhadap eksistensi NU dengan memberikan amanah secara penuh untuk ambil bagian
dalam kepemerintahannya.
Selain
itu, NU juga setuju dengan Soekarno untuk menjadikan Pancasila sebagai dasar
negara yang final. Tidak perlu lagi diperdebatkan. Buktinya, KH. Wahid Hasyim, wakil dari Islam dan tokoh
NU, mengusulkan agar Piagam Jakarta diganti dengan rumusan Ketuhanan Yang Maha
Esa, di mana penambahan kata Esa menggarisbawahi keesaan Tuhan (tauhid) yang tidak terdapat pada agama
lain. Dengan demikian, Indonesia tidak menjadi negara Islam, namun menjadi
monoteis.
Terlepas
dari itu, menurut Muhlis, buku ini tidak bermaksud meng-NU-kan Soekarno, tetapi
hanyalah sebuah kajian serta refleksi panjang bahwa Soekarno dan NU memiliki
sejarah kedekatan dan titik temu dalam merintis, mendirikan dan memperjuangkan
NKRI.
Buku
ini menjadi sangat layak dibaca sebagai sebuah refleksi sekaligus referensi
bagi semua kalangan, dan seluruh rakyat Indonesia. Berbeda dengan buku yang
ditulis Zainal Abidin Amir yang berjudul Seokarno
dan NU: Titik Temu Nasionalisme, di mana pemaparan dalam buku tersebut
tidak serinci yang dipaparkan dalam buku Ijtihad
Kebangsaan Soekarno dan NU ini. Buku yang ditulis oleh seorang akademisi,
Imam Muhlis ini, memaparkan fakta-fakta yang kongkrit lagi rinci mengenai
hubungan, kedekatan dan pertemuan Soekarno dengan NU dalam konteks nasionalisme
sehingga dirasa lebih lengkap, pembahasan yang sistematis serta terukur.
Buku
yang ditulis Muhlis ini, patut dijadikan sebagai wacana refleksi bagi kita
semua untuk membuka mata mengenai fakta sejarah yang luput dari pembahasan
kebanyakan orang selama
ini.
Namun begitu, buku terbitan Tangan Emas ini masih perlu dikaji serta
dikembangkan secara lebih mendalam, sehingga fakta-fakta sejarah tentang
hubungan Soekarno dengan NU dapat memberikan sebuah keyakinan kuat kepada
seluruh rakyat Indonesia bahwa perjuangan berdirinya NKRI tidak dapat dipungkiri, salah satunya adalah
hasil jerih-payah keduanya.