Sunday 15 December 2013

Titik Temu Soekarno dan NU



Judul: Ijtihad Kebangsaan Soekarno dan NU
Penulis: Imam Muhlis
Editor: Jakfar Shodik
Edisi: November 2013
Halaman: xvi + 264
Soekarno dan Nahdlatul Ulama ibarat dua sisi mata uang logam yang tidak dapat dipisahkan. Keduanya adalah jembatan emas sebagai salah satu penggagas penting dalam sejarah perjuangan kemerdekaan Indonesia. Titik temu keduanya tidak dapat dipandang sebelah mata sebagai penggagas, perintis sekaligus pejuang lahirnya NKRI yang kini telah dinikmati oleh seluruh rakyat Indonesia.
Jika dilihat sekilas dan kasat mata, memang tidak ada hubungannya antara Soekarno dan NU. Sebab, latar belakang keduanya dapat dikatakan memang berbeda, Soekarno adalah sosok nasionalis sekuler, sedangkan NU adalah sebuah organisasi yang memiliki background  kegamaan, yakni Islam. Tetapi, jika dikaji secara lebih mendalam, keduanya memiliki kesamaan dan titik temu dalam beberapa hal yang tidak dapat diabaikan begitu saja.
Imam Muhlis, penulis buku ini memaparkan setidaknya terdapat lima entitas yang menandai kedekatan atau pertemuan antara Bung Karno dan NU. Pertama, kedekatan etnis atau kultur, di mana keduanya sama-sama berasal dari Jawa Timur. Kedua, Soekarno dan NU sama-sama memiliki basis massa wong cilik atau rakyat kecil, hanya saja bedanya, basis massa Soekarno berasal dari kaum abangan, sedangkan NU memiliki basis massa berasal dari kalangan santri dan kaum sarungan, atau kalangan pesantren.
Ketiga, masih menurut Muhlis, kedekatan dalam wilayah pemikiran, di mana baik Soekarno maupun NU, sama-sama memiliki pemikiran serta sikap toleransi yang sangat tinggi terhadap pluralisme agama dan budaya. Singkatnya, antara Bung Karno dan NU lebih memperioritaskan nasionalisme, meskipun konsep nasionalisme mereka berangkat dari perspektif yang berbeda, tetapi tetap satu tujuan, yaitu nasionalisme dalam konteks perlawanan terhadap imperialisme-kolonialisme kaum penjajah dan bertujuan untuk mewujudkan negara kebangsaan yang berdaulat. Keempat, kedekatan dalam hal memperlakukan soal kebangsaan dalam suatu kesatuan dengan Islam yang substansial. Dengan kata lain, Soekarno dan NU sama-sama bersikap akomodatif kepada negara.
Terakhir, kelima, Soekarno memberikan apresiasi terhadap eksistensi NU dengan memberikan amanah secara penuh untuk ambil bagian dalam kepemerintahannya.
Selain itu, NU juga setuju dengan Soekarno untuk menjadikan Pancasila sebagai dasar negara yang final. Tidak perlu lagi diperdebatkan. Buktinya,  KH. Wahid Hasyim, wakil dari Islam dan tokoh NU, mengusulkan agar Piagam Jakarta diganti dengan rumusan Ketuhanan Yang Maha Esa, di mana penambahan kata Esa menggarisbawahi keesaan Tuhan (tauhid) yang tidak terdapat pada agama lain. Dengan demikian, Indonesia tidak menjadi negara Islam, namun menjadi monoteis.
Terlepas dari itu, menurut Muhlis, buku ini tidak bermaksud meng-NU-kan Soekarno, tetapi hanyalah sebuah kajian serta refleksi panjang bahwa Soekarno dan NU memiliki sejarah kedekatan dan titik temu dalam merintis, mendirikan dan memperjuangkan NKRI.
Buku ini menjadi sangat layak dibaca sebagai sebuah refleksi sekaligus referensi bagi semua kalangan, dan seluruh rakyat Indonesia. Berbeda dengan buku yang ditulis Zainal Abidin Amir yang berjudul Seokarno dan NU: Titik Temu Nasionalisme, di mana pemaparan dalam buku tersebut tidak serinci yang dipaparkan dalam buku Ijtihad Kebangsaan Soekarno dan NU ini. Buku yang ditulis oleh seorang akademisi, Imam Muhlis ini, memaparkan fakta-fakta yang kongkrit lagi rinci mengenai hubungan, kedekatan dan pertemuan Soekarno dengan NU dalam konteks nasionalisme sehingga dirasa lebih lengkap, pembahasan yang sistematis serta terukur.
Buku yang ditulis Muhlis ini, patut dijadikan sebagai wacana refleksi bagi kita semua untuk membuka mata mengenai fakta sejarah yang luput dari pembahasan kebanyakan orang selama ini. Namun begitu, buku terbitan Tangan Emas ini masih perlu dikaji serta dikembangkan secara lebih mendalam, sehingga fakta-fakta sejarah tentang hubungan Soekarno dengan NU dapat memberikan sebuah keyakinan kuat kepada seluruh rakyat Indonesia bahwa perjuangan berdirinya NKRI  tidak dapat dipungkiri, salah satunya adalah hasil jerih-payah keduanya.
Disqus Comments