Salut
Perempuan yang hebat,
menurutku, adalah sosok perempuan yang mau diajak berjuang dan mendukung
perjuangan pasangannya.
Sosok itu Aku temukan
dengan mata kepalaku sendiri pada diri Mazra, sehingga Aku sendiri yakin bahwa
takdirku jatuh dalam pelukan Mazra meski Aku belum menjadikannya sebagai muhrim
yang halal bagiku.
Mazra adalah sosok
perempuan yang tidak begitu paham dengan wacana kegenderan tetapi sikap dan
kepribadiannya bagiku telah melebihi wacana gender itu sendiri, sehingga Aku
berkesimpulan bahwa perempuan yang mau diajak berjuang bersama-sama itu dialah
Mazra yang mencintaiku bukan karena harta benda dan materi-materi berharga
lainnya sebab, Aku sendiri pun tak dilahirkan dari keluarga terpandang yang
memiliki saham-saham perusahaan di mana-mana. Dia tahu akan kewajibannya serta
tugasnya sebagai seorang perempuan, dia tahu arti dari kehidupan, dan dia paham
betul mana hak serta mana kewajibannya sebagai makhluk sosial.
Tidak seperti
perempuan-perempuan yang selama ini pernah singgah di diriku, Mazra ternyata
adalah sosok lain yang mampu mencurahkan segenap perhatiannya kepadaku,
terutama di saat-saat Aku sedang menyelesaikan suatu pekerjaan, dia datang
membawa beribu-ribu kata motivasi, menemani, membantu, dan sesekali membenarkan
pekerjaanku yang keliru dengan kritikannnya.
“Perempuan itu lebih
mendahulukan perasaannya ketimbang akal pikirannya, dan itu merupakan watak
seorang perempuan. Hal ini bukan bentuk diskriminasi mas, karena perasaan
perempuan itu adalah kekuatannya yang bahkan tidak dapat ditandingi oleh akal
pikiran. Akal pikiran bersumber dari realitas dan fakta-fakta empiris,
sedangkan perasaan bersumber dari keyakinan-keyakinan yang bahkan akan pikiran
tidak mampu melogikakannya. Perasaan tidak dapat dilogikakan, dan keyakinan
juga merupakan kekuatan utama yang ada pada diri seseorang. Nah, jika ketiga
hal itu mampu disatu-padukan, maka kehidupan akan berjalan secara ideal.
Mengapa mesti ada wacana gender?”, dia memberikan penjelasan kritis yang
diakhiri dengan pertanyaan.
Aku tahu pertanyaan itu
adalah manifestasi dari keingin-tahuan Mazra tentang tema gender yang sedang
Aku tulis ini untuk kukirimkan kepada sebuah media massa yang memuat rubrik
perempuan.
“Bukan begitu sayang,
Aku ini sedang menganalisis tentang kasus kekerasan dalam rumah tangga yang
perempuan seringkali berada di pihak korban. Tulisan ini Aku maksudkan untuk
membela kaum Hawa, termasuk kamu agar terlindungi dari kejahatan laki-laki yang
semena-mena itu.”, Aku mencoba menjelaskan maksud dari tulisanku yang berjudul;
“KDRT dan Gerakan Gender”.
Mazra hanya termangu
saja dan dari raut wajahnya Aku lihat dia tak ingin berkata apa-apa lagi.
Mungkin dia berpikir, Aku lebih tahu tentang apa yang sedang Aku tulis ini, toh
dia juga tak membaca tulisan ini sejak awal paragraf.
Hari sudah siang. Itu
terlihat dari posisi matahari yang mulai sedikit condong ke arah barat. Segera
Aku matikan laptop dan mengemasnya, serta memasukkannya ke dalam tas,
menyisakan artikel yang hampir rampung. Dilanjutkan nanti saja pikirku, Aku
telah berjanji akan menemani Mazra siang ini untuk beli-beli pakaian dan
sandal. Pikirku lagi, barangkali di luar sana Aku bisa memperoleh ide untuk
menyempurnakan artikelku yang belum Aku selesaikan karena mentok itu.
Setelah mengganti
pakaian, mengenakan jaket dan helm, Aku dan Mazra segera keluar menaiki sepeda
motor menuju ke sebuah mall. Bagi sebagian perempuan, belanja-belanja pakaian
merupakan suatu kegiatan refreshing, termasuk Mazra yang dari kemarin masih
terlihat kesal dengan ulah mbaknya yang memarahinya beberapa hari yang lalu.
Di sela-sela belanja,
Aku melihat suasana mall yang begitu ramai oleh pengunjung berbelanja. Simbol
pasar modern ini memang menyediakan berbagai kelengkapan yang tersusun rapi di
setiap sudut, Aku memang tak pernah merasa heran melihat keramaian serta
kemegahan dari kemodernan tempat perbelanjaan ini, namun yang menjadi
perhatianku tertuju pada sebuah daster yang mengingatkan Aku pada pesanan Mak
beberapa tahun lalu, bahwa jika Aku pulang kampung, beliau minta dibelikan
pakaian itu.
Aku segera menuju ke
tempat di mana daster diletakkan. Mazra yang sejak tadi terlihat bingung memilah-memilih pakaian segera mengahmpiriku lalu bertanya, “Kok liat daster mas,
itu kan pakaian perempuan”, tanyanya heran sambil melihat ke tanganku yang sedang
memilih daster.
Aku justru tak
menghiraukan pertanyaannya itu, dan malah bertanya balik, “Sudah dapet belum nduk pakaian yang kau inginkan?”,
tanyaku singkat pada Mazra yang terlihat terheran-heran dengan tingkahku. Dan
dengan segera ia pun menjawab, “Ini mas, udah Aku beli, dan udah Aku bayar
sekalian, bagus kan?”, tanyanya sambil menunjukkan pakaian hasil pilihannya dan
juga dua pasangan sandal di kantong yang lain.
Aku pun memuji
pilihannya, seraya berkata, “Mas pengen
beli daster ini dua potong dek
buat nanti Aku kasihkan ke Mak di rumah. Beliau sangat menyukai pakaian seperti
ini”, sambil menenteng dua potong daster yang telah Aku pilih dan membayarnya.
Daster ini ternyata
telah berhasil mengingatkanku pada sosok Mak di kampung sana yang selama empat
tahun ini menunggu pakaian ini, yang beliau meminta Aku tuk membelinya sebagai
oleh-oleh jika nanti Aku pulang. Aku memang merasa berdosa kepada beliau, empat
tahun bukan waktu yang singkat untuk menunggu, mengapa tak ku kirimkan sedari
dulu-dulu saja pikirku. Tetapi, Aku memang sengaja tak ingin mengirimkan barang
ke kampung karena pernah punya pengalaman buruk tentang kiriman, di mana suatu
saat Aku pernah mengirimkan barang ke sana dan ternyata tak satu pun yang
sampai ke tangan keluarga, padahal isinya tak sedikit. Aku khawatir jika
kejadian serupa terulang kembali, sehingga Aku memutuskan untuk membawanya
langsung saat Aku pulang nanti.
Aku sendiri pernah
komplain dengan pihak kantor post mengenai kirimanku yang tak sampai itu.
Tetapi mereka tidak memprosesnya karena dalam laporan pengiriman, dilaporkan
bahwa barang yang Aku kirimkan telah sampai tujuan. Pikirku, jangan-jangan
barang itu nyangkut di kantor
post di sana? Sejak saat itu, Aku tak lagi percaya, serta dalam hati Aku
berjanji tidak akan pernah mengirim barang lagi melalui kantor post.
Setelah selesai
berbelanja dan dilanjutkan dengan makan, Aku dan Mazra pun pulang. Mazra ku
antarkan ke rumah mbaknya dan Aku pulang ke kost, dan melanjutkan tulisan
artikelku yang masih belum rampung tadi. Aku telah memperoleh sebuah ide untuk
kelanjutan artikel ini, ya ide yang Aku dapatkan dari sebuah daster yang
mengingatkan Aku pada sosok Makku yang tegar menghaarungi samudera kehidupan
tanpa seorang suami, dan bertanggung jawab penuh terhadap semua anak-anaknya
yang berjumlah enam orang, termasuk Aku sendiri. Sebagai anak buntut, Aku
memang sedikit mendapatkan perhatian khusus dari Mak karena Mak mengemban pesan
mulia dari ayah, di mana sebelum menghembuskan nafas terakhir beliau berpesan
kepada Mak, bahkan ke seluruh saudara-saudaraku agar mendidik Aku menjadi anak
yang pandai.
Sosok Makku adalah
inspirator dalam artikel ini. Di mana beliau merupakan contoh nyata dari
kehebatan seorang perempuan yang memiliki peran tunggal dalam mendidik serta
bertanggung jawab terhadap anak-anaknya. Dari sini Aku memperoleh sebuah
kesimpulan bahwa perempuan memang harus diposisikan pada posisi yang mulia,
bahkan tak berhak menerima kelakuan jahat dari seorang lelaki, karena
sejatinya, perempuan pun mampu melakukan pekerjaan-pekerjaan yang sama seperti
dilakukan oleh kaum Adam pada umumnya. Kekerasan lelaki pada seorang perempuan,
terutama di dalam biduk rumah tangga lebih merupakan sebuah kejahatan yang tak
dapat ditolerir, apapun sebabnya, perempuan sebenarnya lebih sedikit
kesalahannya ketimbang lelaki, terutama di dalam sebuah keluarga.
Sejalan dengan
pandangan itu pula mengapa Aku amat sangat geram ketika mendengar penderitaan
Mazra beberapa hari lalu yang menjadi obyek kemarahan mbaknya hanya karena tak
ada orang lain yang dijadikan sebagai tempat pelampiasan sebuah kegusaran yang
berkecamuk di dalam dirinya.
Dan akhirnya, dua sosok
perempuan inilah yang kemudian menginspirasi artikelku sehingga menjadi
kalimat-kalimat yang cukup sempurna untuk dibaca orang kebanyakan. Semoga nanti
dapat diterbitkan, harapku pada sebuah media massa yang menjadi tujuan
pengiriman sebuah artikel inspiratif ini. Amin.#