Wednesday, 17 July 2013

Bagian III



Salut
Perempuan yang hebat, menurutku, adalah sosok perempuan yang mau diajak berjuang dan mendukung perjuangan pasangannya.
Sosok itu Aku temukan dengan mata kepalaku sendiri pada diri Mazra, sehingga Aku sendiri yakin bahwa takdirku jatuh dalam pelukan Mazra meski Aku belum menjadikannya sebagai muhrim yang halal bagiku.
Mazra adalah sosok perempuan yang tidak begitu paham dengan wacana kegenderan tetapi sikap dan kepribadiannya bagiku telah melebihi wacana gender itu sendiri, sehingga Aku berkesimpulan bahwa perempuan yang mau diajak berjuang bersama-sama itu dialah Mazra yang mencintaiku bukan karena harta benda dan materi-materi berharga lainnya sebab, Aku sendiri pun tak dilahirkan dari keluarga terpandang yang memiliki saham-saham perusahaan di mana-mana. Dia tahu akan kewajibannya serta tugasnya sebagai seorang perempuan, dia tahu arti dari kehidupan, dan dia paham betul mana hak serta mana kewajibannya sebagai makhluk sosial.
Tidak seperti perempuan-perempuan yang selama ini pernah singgah di diriku, Mazra ternyata adalah sosok lain yang mampu mencurahkan segenap perhatiannya kepadaku, terutama di saat-saat Aku sedang menyelesaikan suatu pekerjaan, dia datang membawa beribu-ribu kata motivasi, menemani, membantu, dan sesekali membenarkan pekerjaanku yang keliru dengan kritikannnya.
“Perempuan itu lebih mendahulukan perasaannya ketimbang akal pikirannya, dan itu merupakan watak seorang perempuan. Hal ini bukan bentuk diskriminasi mas, karena perasaan perempuan itu adalah kekuatannya yang bahkan tidak dapat ditandingi oleh akal pikiran. Akal pikiran bersumber dari realitas dan fakta-fakta empiris, sedangkan perasaan bersumber dari keyakinan-keyakinan yang bahkan akan pikiran tidak mampu melogikakannya. Perasaan tidak dapat dilogikakan, dan keyakinan juga merupakan kekuatan utama yang ada pada diri seseorang. Nah, jika ketiga hal itu mampu disatu-padukan, maka kehidupan akan berjalan secara ideal. Mengapa mesti ada wacana gender?”, dia memberikan penjelasan kritis yang diakhiri dengan pertanyaan.
Aku tahu pertanyaan itu adalah manifestasi dari keingin-tahuan Mazra tentang tema gender yang sedang Aku tulis ini untuk kukirimkan kepada sebuah media massa yang memuat rubrik perempuan.
“Bukan begitu sayang, Aku ini sedang menganalisis tentang kasus kekerasan dalam rumah tangga yang perempuan seringkali berada di pihak korban. Tulisan ini Aku maksudkan untuk membela kaum Hawa, termasuk kamu agar terlindungi dari kejahatan laki-laki yang semena-mena itu.”, Aku mencoba menjelaskan maksud dari tulisanku yang berjudul; “KDRT dan Gerakan Gender”.
Mazra hanya termangu saja dan dari raut wajahnya Aku lihat dia tak ingin berkata apa-apa lagi. Mungkin dia berpikir, Aku lebih tahu tentang apa yang sedang Aku tulis ini, toh dia juga  tak membaca tulisan ini sejak awal paragraf.
Hari sudah siang. Itu terlihat dari posisi matahari yang mulai sedikit condong ke arah barat. Segera Aku matikan laptop dan mengemasnya, serta memasukkannya ke dalam tas, menyisakan artikel yang hampir rampung. Dilanjutkan nanti saja pikirku, Aku telah berjanji akan menemani Mazra siang ini untuk beli-beli pakaian dan sandal. Pikirku lagi, barangkali di luar sana Aku bisa memperoleh ide untuk menyempurnakan artikelku yang belum Aku selesaikan karena mentok itu.
Setelah mengganti pakaian, mengenakan jaket dan helm, Aku dan Mazra segera keluar menaiki sepeda motor menuju ke sebuah mall. Bagi sebagian perempuan, belanja-belanja pakaian merupakan suatu kegiatan refreshing, termasuk Mazra yang dari kemarin masih terlihat kesal dengan ulah mbaknya yang memarahinya beberapa hari yang lalu.
Di sela-sela belanja, Aku melihat suasana mall yang begitu ramai oleh pengunjung berbelanja. Simbol pasar modern ini memang menyediakan berbagai kelengkapan yang tersusun rapi di setiap sudut, Aku memang tak pernah merasa heran melihat keramaian serta kemegahan dari kemodernan tempat perbelanjaan ini, namun yang menjadi perhatianku tertuju pada sebuah daster yang mengingatkan Aku pada pesanan Mak beberapa tahun lalu, bahwa jika Aku pulang kampung, beliau minta dibelikan pakaian itu.
Aku segera menuju ke tempat di mana daster diletakkan. Mazra yang sejak tadi terlihat bingung memilah-memilih pakaian segera mengahmpiriku lalu bertanya, “Kok liat daster mas, itu kan pakaian perempuan”, tanyanya heran sambil melihat ke tanganku yang sedang memilih daster.
Aku justru tak menghiraukan pertanyaannya itu, dan malah bertanya balik, “Sudah dapet belum nduk pakaian yang kau inginkan?”, tanyaku singkat pada Mazra yang terlihat terheran-heran dengan tingkahku. Dan dengan segera ia pun menjawab, “Ini mas, udah Aku beli, dan udah Aku bayar sekalian, bagus kan?”, tanyanya sambil menunjukkan pakaian hasil pilihannya dan juga dua pasangan sandal di kantong yang lain.
Aku pun memuji pilihannya, seraya berkata, “Mas pengen beli daster ini dua potong dek buat nanti Aku kasihkan ke Mak di rumah. Beliau sangat menyukai pakaian seperti ini”, sambil menenteng dua potong daster yang telah Aku pilih dan membayarnya.
Daster ini ternyata telah berhasil mengingatkanku pada sosok Mak di kampung sana yang selama empat tahun ini menunggu pakaian ini, yang beliau meminta Aku tuk membelinya sebagai oleh-oleh jika nanti Aku pulang. Aku memang merasa berdosa kepada beliau, empat tahun bukan waktu yang singkat untuk menunggu, mengapa tak ku kirimkan sedari dulu-dulu saja pikirku. Tetapi, Aku memang sengaja tak ingin mengirimkan barang ke kampung karena pernah punya pengalaman buruk tentang kiriman, di mana suatu saat Aku pernah mengirimkan barang ke sana dan ternyata tak satu pun yang sampai ke tangan keluarga, padahal isinya tak sedikit. Aku khawatir jika kejadian serupa terulang kembali, sehingga Aku memutuskan untuk membawanya langsung saat Aku pulang nanti.
Aku sendiri pernah komplain dengan pihak kantor post mengenai kirimanku yang tak sampai itu. Tetapi mereka tidak memprosesnya karena dalam laporan pengiriman, dilaporkan bahwa barang yang Aku kirimkan telah sampai tujuan. Pikirku, jangan-jangan barang itu nyangkut di kantor post di sana? Sejak saat itu, Aku tak lagi percaya, serta dalam hati Aku berjanji tidak akan pernah mengirim barang lagi melalui kantor post.
Setelah selesai berbelanja dan dilanjutkan dengan makan, Aku dan Mazra pun pulang. Mazra ku antarkan ke rumah mbaknya dan Aku pulang ke kost, dan melanjutkan tulisan artikelku yang masih belum rampung tadi. Aku telah memperoleh sebuah ide untuk kelanjutan artikel ini, ya ide yang Aku dapatkan dari sebuah daster yang mengingatkan Aku pada sosok Makku yang tegar menghaarungi samudera kehidupan tanpa seorang suami, dan bertanggung jawab penuh terhadap semua anak-anaknya yang berjumlah enam orang, termasuk Aku sendiri. Sebagai anak buntut, Aku memang sedikit mendapatkan perhatian khusus dari Mak karena Mak mengemban pesan mulia dari ayah, di mana sebelum menghembuskan nafas terakhir beliau berpesan kepada Mak, bahkan ke seluruh saudara-saudaraku agar mendidik Aku menjadi anak yang pandai.
Sosok Makku adalah inspirator dalam artikel ini. Di mana beliau merupakan contoh nyata dari kehebatan seorang perempuan yang memiliki peran tunggal dalam mendidik serta bertanggung jawab terhadap anak-anaknya. Dari sini Aku memperoleh sebuah kesimpulan bahwa perempuan memang harus diposisikan pada posisi yang mulia, bahkan tak berhak menerima kelakuan jahat dari seorang lelaki, karena sejatinya, perempuan pun mampu melakukan pekerjaan-pekerjaan yang sama seperti dilakukan oleh kaum Adam pada umumnya. Kekerasan lelaki pada seorang perempuan, terutama di dalam biduk rumah tangga lebih merupakan sebuah kejahatan yang tak dapat ditolerir, apapun sebabnya, perempuan sebenarnya lebih sedikit kesalahannya ketimbang lelaki, terutama di dalam sebuah keluarga.
Sejalan dengan pandangan itu pula mengapa Aku amat sangat geram ketika mendengar penderitaan Mazra beberapa hari lalu yang menjadi obyek kemarahan mbaknya hanya karena tak ada orang lain yang dijadikan sebagai tempat pelampiasan sebuah kegusaran yang berkecamuk di dalam dirinya.
Dan akhirnya, dua sosok perempuan inilah yang kemudian menginspirasi artikelku sehingga menjadi kalimat-kalimat yang cukup sempurna untuk dibaca orang kebanyakan. Semoga nanti dapat diterbitkan, harapku pada sebuah media massa yang menjadi tujuan pengiriman sebuah artikel inspiratif ini. Amin.#
Disqus Comments