Kembali Ke Jogja Lagi
Aku sampai di Jogja hari sudah petang.
Di tengah-tengah keramaian bandara, aku melihat tiga
orang sahabatku sudah menunggu dengan maksud menjemput. Mazra tak terlihat di antara mereka, padahal
sebelumnya aku sudah bilang jika aku akan sampai di Jogja petang ini. Mungkin
dia sedang sibuk dengan pekerjaannya, pikirku, dan aku pun tak berpikiran tuk
menanyakan Mazra kepada ketiga sahabatku.
Mobil melaju pelan. Kami berempat asyik bercanda ria, rasa
rindu dengan sahabat memang tak dapat kami sembunyikan saat ini. Ingin sekali
rasanya aku membayar kebahagiaan ini bersama mereka dengan sesuatu hal yang
sekiranya bisa kami nikmati secara bersama-sama.
“Kira-kira ke mana kita ini?”, tanyaku di sela-sela
tawa.
Dengan cepat Fid menimpal. “Ini pertanyaan atau
tawaran?”, dia tertawa.
Aku memang belum berencana langsung menuju kost,
selain karena ingin membayar kebahagiaan, tetapi juga ingin menyantap makanan
karena lapar yang kiat menggigit.
“Gimana kalau kita makan-makan dulu, kebetulan aku
laper banget nih?”, usulku.
“Tawaran yang tepat”, sahut Ucil.
Tanpa pikir-pikir panjang, Fid lalu mengencangkan gas
mobil, dan tak lama kami sudah sampai di sebuah warung makan tak jauh dari
jalan.
Tiba-tiba Jis nyeletuk, “Mazra nggak kamu hubungi
bro?”.
“Sudah. Dari tadi aku udah coba menghubungi dia,
bahkan sebelum aku naik ke pesawat. Aku juga udah bilang kalau aku akan tiba di
Jogja petang ini”, sahutku dengan wajah bingung.
“Lah, kok dia nggak ikut jemput kamu?”, Jis bertanya
heran.
“Entahlah bro, mungkin dia sedang sibuk. Lagi pula
sejak tadi aku turun dari pesawat, HP-nya nggak aktif”.
Aku lihat Jis juga ikut berpikir, atau bahkan
bertanya-tanya tentang Mazra yang tak bisa dihubungi. Agak ragu kami berdua
melangkah menuju warung makan, sementara Fid dan Ucil sudah terlebih dahulu
masuk.
Rasa lapar sudah tak dapat dikompromi. Aku ajak Jis
melupakan keraguan, atau bahkan keheranan kami tentang Mazra yang tak ada kabar
beritanya itu.
“Sudah, biarkan saja Jis, semoga dia baik-baik saja,
yang penting kita makan dulu. Bukankah logika kita lumpuh jika perut dalam
keadaan kosong dari makanan?”, tanyaku sambil tertawa. Jis pun ikut tertawa.
Di sela-sela menyantap makan, handphone-ku berdering.
Aku sangat berharap itu datangnya panggilan dari Mazra. Buru-buru aku
menghampiri bunyi deringan itu dengan harapan yang membuncah.
Aku tidak terlalu kecewa meskipun ku dapati deringan
bunyi HP-ku itu bukan merupakan panggilan dari Mazra, tapi seorang sahabat yang
dahulu kami pernah satu sekolah ketika SMA. Hatima. Tanpa keraguan aku pun
menjawab panggilan itu. Dalam telepon, Hatima bilang kalau dia sedang berada di
Jogja, dan sangat ingin bertemu denganku. Kami memang sudah sekian lama tidak
berjumpa pasca kelulusan SMA. Tentu aku tak ingin menolak niat baiknya tuk
bertemu, karena bagiku teman lama merupakan bagian dari sejarah kehidupan
rantauanku selama bertahun-tahun. Lagi pula, pikirku, Hatima merupakan salah
satu sahabat terbaikku. Seketika rasa kekecewaanku lenyap tanpa kata. Dan aku
pun menyuruh Hatima menyambangi warung tempat kami berempat makan, tak lama dia
pun sudah berada di hadapan kami sambil tersenyum manis. Aku tersipu. Banyak
perubahan yang aku lihat nyata pada diri Hatima. Dia semakin cantik.
Kami bersalaman, kemudian aku mengajaknya makan
bersama-sama kami sembari aku mengenalkan Hatima kepada ketiga sahabatku yang
sedang asyik menyantap makanan. Tentu, Hatima pun aku suruh ikut serta makan.
Sambil menunggu, aku ngobrol banyak hal dengan Hatima.
Sejujurnya aku pun merindukan sosoknya sebagai seorang sahabat karib. Satu hal
yang membuat aku kagum dengan sosok Hatima adalah tuturnya yang lembut dan
sangat berhati-hati dalam berbicara. Jika boleh menilai, aku ingin berkata
bahwa Hatima termasuk perempuan yang sangat menarik, sangat sempurna untuk
ukuran seorang wanita cerdas.
“Siapa pacarmu sekarang tim?”, tanyaku menggoda.
Dengan gerakan terkejut sembari mengerutkan keningnya
Hatima menjawab dengan spontan, “Pertanyaan nggak penting deh”.!
Aku tertawa. Sementara ketiga sahabatku terlihat
sedang menyimak perbincanganku dengan Hatima. Aku tak tahu apa yang tersimpan
di dalam pikiran mereka yang tampak seperti bengong. Atau jangan-jangan mereka
juga ikut-ikutan terkesima dengan sosok Hatima.
“Heh.!! Jangan pada bengong begitu lah ngeliatnya,
ntar jadi nggak enak ini makanan”, sentakku memecah kebisuan mereka.
“Udah pada kenyang belum sih?”, aku bertanya kepada
mereka.
Anehnya, mereka serempak menjawab, “Sudaaaaah.!!”, aku
terheran dan geleng-geleng kepala.
Seusai makan, kami pun beranjak, dan Hatima berpamitan
pulang, sedangkan kami berempat juga menuju kost.
Sesampainya kami di kost, aku membagikan beberapa stel
kaos yang sengaja aku beli di kalimantan untuk oleh-oleh. Setelah dibagi satu
persatu, masih satu stel sengaja aku menyimpannya untuk Mazra. Aku memutuskan
untuk beristirahat malam ini, sementara Ucil pamit ingin menemui seseorang
sekaligus pulang ke kost-nya di Krapyak.
Keputusanku beristirahat adalah untuk melupakan Mazra
yang sampai detik ini tidak ada kabarnya, dengan harapan besok hari dia dapat
dihubungi dan tentunya kami bertemu. Aku sungguh merindukannya.!#