Sejak menginjak sekolah
menengah pertama, SMP sebutan waktu itu, Aswan sering mendengar dan melihat di
televisi betapa banyak orang-orang hebat di negeri adalah mereka yang pernah
bersekolah di Jogja.
Namun, Aswan hanya bisa
mendengar dan melihat di televisi saja karena ia bukanlah lahir dari keluarga
yang punya banyak harta benda. Pulau Jawa itu jauh, dan harus punya banyak uang
untuk pergi ke sana, pikirnya.
Putra terakhir dari
enam bersaudara ini telah menginjak tahun ketiga di SMP di Sintang. Dan tak
lama lagi akan dilaksanakan ujian nasional.
Di kampung halamannya,
Aswan termasuk sosok yang alim meski usianya masih muda. Ia rajin ke masjid dan
jadi tukang adzan, dan suaranya terbilang bagus saat melantunkan adzan.
Suatu hari, saat
sembahyang maghrib telah berakhir, di masjid Aswan didatangi oleh seorang
ustadz.
“Aswan, kamu setelah
tamat SMP mau lanjut ke mana?”, tanya ustadz Darwis kepada Aswan.
“Ndak tau lah ustadz,
mungkin saya melanjutkan di SMA di sini saja”, jawab Aswan dengan nada rendah.
“Kau mau ndak saya
kirimkan ke Jawa tuk sekolah di pesantren?”, tanya ustadz Darwis tiba-tiba.
Aswan terlihat kaget.
Jantungnya seakan berdetak kencang. Ia pun terlihat kebingungan, seakan-akan
tak percaya mendengar tawaran dari ustadz Darwis. Perlahan Aswan menarik nafas
panjang-panjang, mencoba untuk tenang sambil melihat ke wajah ustadz Darwis.
“Aakh, ustadz nie bercanda jak bah”, sahut Aswan tertunduk.
Ustadz Darwis tampak
diam seraya berpikir kalimat apa yang pas untuk meyakinkan Aswan bahwa
tawarannya bukalah main-main.
Kemudian ustadz Darwis
mencoba meyakinkan Aswan. Lama mereka ngobrol
hingga menjelang waktu sembahyang isya yang tinggal lima menit. Akhirnya Aswan
pun menerima dengan hati gembira atas tawaran yang diajukan oleh ustadz Darwis
tersebut.
Setelah sembahyang
isya, Aswan bergegas pulang seraya mengabarkan kepada abangnya mengenai berita
tawaran yang baru saja ia dapatkan tadi.
Keesokan harinya Aswan
beserta abangnya mendatangi kediaman ustadz Darwis bermaksud ingin
mengkonfirmasi tawaran yang diberikan kepada Aswan selepas maghrib kemarin
petang. Tanpa ragu, ustadz Darwis
membenarkan bahkan serius dengan tawaran tersebut karena sebulan sebelumnya
beliau memang telah mengajukan proposal kepada salah satu perusahaan yang
sedang mencari siswa yang berprestasi untuk disekolahkan di salah satu pondok
pesantren di Jawa.
Tanpa berpikir panjang,
Aswan dan abangnya menerima tawaran tersebut. Ustadz Darwis pun memberitahukan
untuk bersiap-siap langsung berangkat setelah penerimaan ijazah.
Berselang tiga bulan,
ujian nasional telah digelar dan ijazah telah diterima, Aswan pun berangkat ke
Jawa diantar oleh ustadz Darwis menuju sebuah pesantren di Jawa Tengah, dan
dinyatakan diterima menjadi santri.
Empat tahun Aswan
menyelesaikan studi di salah satu pesantren ternama di Solo. Ditambah satu
tahun lagi mengabdi, karena tugas wajib dari pesantren. Aswan mengabarkan
kepada abang dan keluarganya, tak lupa kepada ustdz Darwis bahwa dirinya telah
lulus dari pesantren.
Namun, kabar buruk
datang menghampiri Aswan. Tersiar kabar bahwa pihak perusahaan yang selama ini
membiayai studinya di pesantren sudah tidak sanggup lagi melanjutkan studinya
ke jenjang selanjutnya karena perusahaan bangkrut.
Dengan tekad dan
berasaskan nekad, kemudian Aswan memutuskan untuk melanjutkan kuliah di
Jogjakarta, kota yang menjadi impiannya dalam menimba ilmu. Mimpi Aswan
benar-benar berwujud nyata, kini dirinya berstatus sebagai mahasiswa di sebuah
perguruan tinggi di Jogjakarta.
Sebanarnya keputusan
Aswan untuk kuliah tak direstui keluarganya mengingat biaya yang mahal. Namun,
Aswan mencoba meyakinkan kepada keluarganya bahwa ia mampu membiayai diri
sendiri kuliahnya. Semua keputusan berada di tangan Aswan, keluarga pun hanya
bisa mendukung saja.
Tak ayal, Aswan
tertatih-tatih menyelesaikan kuliahnya yang tanpa dukungan biaya dari kelurga. Namun,
akhirnya Aswan berhasil menyelesaikan kuliahnya dalam waktu enam tahun.
Kunci keberhasilan Aswan
menyelesaikan kuliahnya berkat dukungan dari seorang kekasih yang telah
dinikahinya setahun tahun lalu. Ya, Hatima adalah sosok kekasih Aswan yang
banyak membantu dirinya menyelesaikan kuliahnya.
Hatima merupakan
seorang perempuan yang sangat mencintai Aswan. Hatima merupakan seorang
perantau yang juga menimba ilmu di Jogjakarta. Mereka dipertemukan di kampus di
yang sama, tetapi Hatima satu angkatan di atas Aswan.
Keberanian Aswan
melamar Hatima berkat dukungan dari seorang sahabatnya bernama Aziz meski
awalnya Aswan sangat ragu. Ya, ragu karena Aswan merasa tak memiliki apa-apa
kecuali keberanian dan rasa nekad. Namun, di sisi lain, Aswan merasa cocok
dengan Hatima yang merupakan sosok perempuan sederhana, dan yang terpenting
adalah rasa cinta yang telah bersemi cukup lama di hati Aswan.
Khawatir terjebak dosa,
Aswan lalu melamar Hatima tuk
dijadikannya sebagai pendamping hidup, pendukung dirinya, setelah memperoleh
dukungan penuh dari Aziz. Aswan memang tidak berencana tuk membujang terlalu
lama, karena dianggapnya berbahaya.
“Bagaimana wan, kamu
merasa lebih tenangkan setelah punya istri?”, tanya Aziz meledek.
“Kamu bisa aja ziz. Ya,
Alhamdulillah, motivasiku semakin besar dalam menjalani hidup ini”, jawab Aswan
datar.
“Kalian terlihat cocok
wan, meski kultur dan budaya kalian berbeda. Tapi menurutku, ini justru menjadi
bukti kongkret rasa persatuan dan kesatuan di negara kita ini. Ya, bersatunya
dua insan yang beda budaya dalam ikatan pernikahan”, tutur Aziz yang diketahui
dirinya merupakan seorang mantan aktivis mahasiswa.
“Iya Aziz. Saya sendiri
bersyukur bisa menimba ilmu di kota ini, dan saya semakin mengerti bahwa
perbedaan budaya, suku, etnis, dan kultur justru merupakan kekayaan yang tiada
nilainya di negara kita ini”, Aswan menimpali.
Sosok Hatima menjadi
pendamping yang sempurna bagi Aswan karena keduanya saling mendukung. Kini
jelaslah, bahwa kesempurnaan itu justru
terdapat pada dua aspek berbeda yang saling melengkapi kekurangan
masing-masing. Setidaknya hal itu tampak nyata pada pasangan Aswan dan Hatima
yang disatukan oleh perbedaan kultur dan budaya, Aswan dari Kalimantan
sedangkan Hatima berasal dari Sulawesi.
Demikianlah keindahan
negara ini, walau berbeda-beda tetapi tetap satu jua. Persatuan antara Aswan
dan Hatima yang berbeda secara kultur dan budaya dipertemukan di Jogjakarta
yang digadang-gadang sebagai kota multikultural.
Aswan akhirnya berhasil
diwisuda pada pertengahan tahun 2012 dengan gelar Sarjana Sosial.#