Saturday, 27 July 2013

Cerpen: MIMPI SEJOLI DARI JOGJA

 Aswan tak menyangka jika Jogja justru menjadi pelabuhan terakhir dari rantauannya selama 11 tahun. Bahkan ia sendiri tidak menyangka bahwa dirinya malah merantau ke pulau Jawa, karena semasa kecilnya ia telah tumbuh subur di tanah kampung halamannya di Kalimantan Barat, dan tak pernah terpikirkan menginjak tanah Jawa meski ia sendiri bercita-cita ingin ke Jogjakarta.
Sejak menginjak sekolah menengah pertama, SMP sebutan waktu itu, Aswan sering mendengar dan melihat di televisi betapa banyak orang-orang hebat di negeri adalah mereka yang pernah bersekolah di Jogja.
Namun, Aswan hanya bisa mendengar dan melihat di televisi saja karena ia bukanlah lahir dari keluarga yang punya banyak harta benda. Pulau Jawa itu jauh, dan harus punya banyak uang untuk pergi ke sana, pikirnya.
Putra terakhir dari enam bersaudara ini telah menginjak tahun ketiga di SMP di Sintang. Dan tak lama lagi akan dilaksanakan ujian nasional.
Di kampung halamannya, Aswan termasuk sosok yang alim meski usianya masih muda. Ia rajin ke masjid dan jadi tukang adzan, dan suaranya terbilang bagus saat melantunkan adzan.
Suatu hari, saat sembahyang maghrib telah berakhir, di masjid Aswan didatangi oleh seorang ustadz.
“Aswan, kamu setelah tamat SMP mau lanjut ke mana?”, tanya ustadz Darwis kepada Aswan.
“Ndak tau lah ustadz, mungkin saya melanjutkan di SMA di sini saja”, jawab Aswan dengan nada rendah.
“Kau mau ndak saya kirimkan ke Jawa tuk sekolah di pesantren?”, tanya ustadz Darwis tiba-tiba.
Aswan terlihat kaget. Jantungnya seakan berdetak kencang. Ia pun terlihat kebingungan, seakan-akan tak percaya mendengar tawaran dari ustadz Darwis. Perlahan Aswan menarik nafas panjang-panjang, mencoba untuk tenang sambil melihat ke wajah ustadz Darwis.
“Aakh, ustadz nie bercanda jak bah”, sahut Aswan tertunduk.
Ustadz Darwis tampak diam seraya berpikir kalimat apa yang pas untuk meyakinkan Aswan bahwa tawarannya bukalah main-main.
Kemudian ustadz Darwis mencoba meyakinkan Aswan. Lama mereka ngobrol hingga menjelang waktu sembahyang isya yang tinggal lima menit. Akhirnya Aswan pun menerima dengan hati gembira atas tawaran yang diajukan oleh ustadz Darwis tersebut.
Setelah sembahyang isya, Aswan bergegas pulang seraya mengabarkan kepada abangnya mengenai berita tawaran yang baru saja ia dapatkan tadi.
Keesokan harinya Aswan beserta abangnya mendatangi kediaman ustadz Darwis bermaksud ingin mengkonfirmasi tawaran yang diberikan kepada Aswan selepas maghrib kemarin petang.  Tanpa ragu, ustadz Darwis membenarkan bahkan serius dengan tawaran tersebut karena sebulan sebelumnya beliau memang telah mengajukan proposal kepada salah satu perusahaan yang sedang mencari siswa yang berprestasi untuk disekolahkan di salah satu pondok pesantren di Jawa.
Tanpa berpikir panjang, Aswan dan abangnya menerima tawaran tersebut. Ustadz Darwis pun memberitahukan untuk bersiap-siap langsung berangkat setelah penerimaan ijazah.
Berselang tiga bulan, ujian nasional telah digelar dan ijazah telah diterima, Aswan pun berangkat ke Jawa diantar oleh ustadz Darwis menuju sebuah pesantren di Jawa Tengah, dan dinyatakan diterima menjadi santri.
Empat tahun Aswan menyelesaikan studi di salah satu pesantren ternama di Solo. Ditambah satu tahun lagi mengabdi, karena tugas wajib dari pesantren. Aswan mengabarkan kepada abang dan keluarganya, tak lupa kepada ustdz Darwis bahwa dirinya telah lulus dari pesantren.
Namun, kabar buruk datang menghampiri Aswan. Tersiar kabar bahwa pihak perusahaan yang selama ini membiayai studinya di pesantren sudah tidak sanggup lagi melanjutkan studinya ke jenjang selanjutnya karena perusahaan bangkrut.
Dengan tekad dan berasaskan nekad, kemudian Aswan memutuskan untuk melanjutkan kuliah di Jogjakarta, kota yang menjadi impiannya dalam menimba ilmu. Mimpi Aswan benar-benar berwujud nyata, kini dirinya berstatus sebagai mahasiswa di sebuah perguruan tinggi di Jogjakarta.
Sebanarnya keputusan Aswan untuk kuliah tak direstui keluarganya mengingat biaya yang mahal. Namun, Aswan mencoba meyakinkan kepada keluarganya bahwa ia mampu membiayai diri sendiri kuliahnya. Semua keputusan berada di tangan Aswan, keluarga pun hanya bisa mendukung saja.
Tak ayal, Aswan tertatih-tatih menyelesaikan kuliahnya yang tanpa dukungan biaya dari kelurga. Namun, akhirnya Aswan berhasil menyelesaikan kuliahnya dalam waktu enam tahun.
Kunci keberhasilan Aswan menyelesaikan kuliahnya berkat dukungan dari seorang kekasih yang telah dinikahinya setahun tahun lalu. Ya, Hatima adalah sosok kekasih Aswan yang banyak membantu dirinya menyelesaikan kuliahnya.
Hatima merupakan seorang perempuan yang sangat mencintai Aswan. Hatima merupakan seorang perantau yang juga menimba ilmu di Jogjakarta. Mereka dipertemukan di kampus di yang sama, tetapi Hatima satu angkatan di atas Aswan.
Keberanian Aswan melamar Hatima berkat dukungan dari seorang sahabatnya bernama Aziz meski awalnya Aswan sangat ragu. Ya, ragu karena Aswan merasa tak memiliki apa-apa kecuali keberanian dan rasa nekad. Namun, di sisi lain, Aswan merasa cocok dengan Hatima yang merupakan sosok perempuan sederhana, dan yang terpenting adalah rasa cinta yang telah bersemi cukup lama di hati Aswan.
Khawatir terjebak dosa, Aswan  lalu melamar Hatima tuk dijadikannya sebagai pendamping hidup, pendukung dirinya, setelah memperoleh dukungan penuh dari Aziz. Aswan memang tidak berencana tuk membujang terlalu lama, karena dianggapnya berbahaya.
“Bagaimana wan, kamu merasa lebih tenangkan setelah punya istri?”, tanya Aziz meledek.
“Kamu bisa aja ziz. Ya, Alhamdulillah, motivasiku semakin besar dalam menjalani hidup ini”, jawab Aswan datar.
“Kalian terlihat cocok wan, meski kultur dan budaya kalian berbeda. Tapi menurutku, ini justru menjadi bukti kongkret rasa persatuan dan kesatuan di negara kita ini. Ya, bersatunya dua insan yang beda budaya dalam ikatan pernikahan”, tutur Aziz yang diketahui dirinya merupakan seorang mantan aktivis mahasiswa.
“Iya Aziz. Saya sendiri bersyukur bisa menimba ilmu di kota ini, dan saya semakin mengerti bahwa perbedaan budaya, suku, etnis, dan kultur justru merupakan kekayaan yang tiada nilainya di negara kita ini”, Aswan menimpali.
Sosok Hatima menjadi pendamping yang sempurna bagi Aswan karena keduanya saling mendukung. Kini jelaslah, bahwa kesempurnaan  itu justru terdapat pada dua aspek berbeda yang saling melengkapi kekurangan masing-masing. Setidaknya hal itu tampak nyata pada pasangan Aswan dan Hatima yang disatukan oleh perbedaan kultur dan budaya, Aswan dari Kalimantan sedangkan Hatima berasal dari Sulawesi.
Demikianlah keindahan negara ini, walau berbeda-beda tetapi tetap satu jua. Persatuan antara Aswan dan Hatima yang berbeda secara kultur dan budaya dipertemukan di Jogjakarta yang digadang-gadang sebagai kota multikultural.
Aswan akhirnya berhasil diwisuda pada pertengahan tahun 2012 dengan gelar Sarjana Sosial.#

Disqus Comments