Beberapa
hari belakangan ramai dibicarakan tentang penggunaan jilbab bagi seorang
Polwan. Di Indonesia, Polwan mengenakan
jilbab mungkin tak pernah ada karena berbenturan dengan Surat Keputusan Kapolri
No.Pol: Skep/702/IX/2005 tentang penggunaan pakaian dinas seragam Polri dan PNS
Polri yang menyebutkan larangan Polwan mengenakan jilbab.
Aturan
Kapolri mengenai penggunaan jilbab bagi Polwan ini kini ramai dibicarakan.
Bahkan beberapa kalangan, seperti Lembaga Persahabatan Ormas Islam (LPOI),
mendesak Polri untuk segera menerbitkan aturan baru berbuhubungan dengan
pengenaan jilbab oleh Polisi Wanita (Polwan) selama menjalankan tugas. Bahkan,
Mantan Menteri HAM, Yusril Ihza Mahendra memberikan sebuah tanggapan keras
mengenai aturan Polri yang melarang Polwan mengenakan jilbab. (Suara Merdeka/13/6/2013)
Menurut
mereka, penggunaan jilbab oleh Polwan selama menjalankan tugas dianggap sama
sekali tak mengganggu aktifitas pekerjaannya karena mengenakan jilbab adalah
hak setiap perempuan, terutama perempuan muslimah. Polri kini didesak untuk
dapat mengakomodir Polwan yang ingin mengenakan jilbab dengan cara merubah
aturan itu agar adanya landasan hukum yang dapat dijadikan pijakan atau payung
hukum.
Polwan
mengenakan jilbab dalam aturan Polri selama ini memang dilarang. Hal itu karena
kepolisian mewarisi aturan ABRI yang juga melarang Polwan mengenakan jilbab
dalam menjalankan tugasnya, entah apa alasan logisnya.
Oleh
karena itu jangan heran jika kita tidak pernah melihat Polwan yang berjilbab di
Indonesia. Aturan tentang larangan Polwan mengenakan jilbab tersebut memang
telah berlangsung lama, sehingga tak perlu kiranya nanti kita heran apabila
melihat Polwan berjilbab jika aturan Polri itu benar-benar akan dirubah atau
pelarangan dalam aturan tersebut dihapus.
Menurut
hemat penulis, penghapusan larangan mengenakan jilbab bagi Polwan yang ingin
mengenakannya perlu diakomodir secara obyektif oleh Polri. Mengenakan jilbab
merupakan hak bagi setiap perempuan, terutama perempuan muslimah yang
menyandang pekerjaan sebagai seorang Polisi Wanita.
Selain
itu, oleh sebagian perempuan, mengenakan jilbab merupakan salah satu upaya
mereka untuk menghindari pelecehan. Beberapa hari belakangan, menyeruak sebuah
kasus pelecehan seksual di institusi kepolisian terhadap Polwan. Kasus tersebut
menimpa Briptu Rani yang mengaku telah mengalamai pelecehan seksual dari
atasannya saat mengukur pakaian dinas.
Terlepas
dari itu, wacana tentang Polwan yang diperbolehkan mengenakan jilbab akan
berhadapn dengan anggapan sebagian kalangan bahwa jilbab dapat menganggu
aktifitas pekerjaan, terutama di kepolisian yang tugasnya memberikan keamanan
kepada masyarakat. Padahal, sejatinya jilbab memang tidak ada hubungannya
dengan aktifitas pekerjaan seseorang, apalagi jika dianggap sebagai penganggu
karena jilbab tak ubahnya seperti pakaian yang lain. Hanya saja, jilbab memang
telah menjadi sebuah simbol yang teramat akrab sebagai identitas seorang wanita
muslimah. Lantas, mengapa jilbab malah justru dilarang untuk dikenakan oleh
wanita saat bergelut di dunia kerja, utamanya di institusi kepolisian?
Jika
dipikir-pikir, rasanya tidak logis jika seorang wanita yang melakoni sebuah
pekerjaan justru dilarang mengenakan jilbab, padahal itu hak azasi mereka. Dunia
kerja, disadari atau tidak, terkadang juga telah melakukan praktek pelanggaran
terhadap hak azasi kaum wanita dengan aturan larangan penggunaan jilbab. Dalam
konteks ini, perempuan dapat dikatakan sebagai pihak yang diperlakukan tidak
adil karena ruang mereka untuk memberikan sebuah kontribusi dalam pembangunan
justru dikebiri oleh aturan-aturan yang dirumuskan secara sepihak.
Sekali
lagi, menurut hemat penulis, jilbab bukanlah penghambat seorang wanita untuk
bekerja, sekalipun mereka harus mengatur lalu lintas. Seperti lazimnya di luar
profesi Polwan, mengenakan jilbab tidak akan menganggu aktifitas mereka sebagai
seorang yang profesional. Dan hal yang terpenting yang patut dijadikan perhatian
serius adalah mengenai hak azasi perempuan karena mengenakan jilbab merupakan
hak. Jangan sampai negara ini justru menjadi salah satu negara yang melarang
wanita berjilbab dalam melakoni sebuah pekerjaan profesional, karena sejatinya pelarangan
semacam ini juga dapat diartikan sebagai praktek diskriminatif terhadap
perempuan. Wallahu A’lam.