Pesan Orang Rumah
Kriiiing….kriiing…kriiiiing..!
Handphone-ku pagi-pagi
buta ini sudah berbunyi pertanda sebuah panggilan menyapa telepon genggamku.
Terperanjat Aku meraih telepon genggamku dan segera Aku mengangkatnya.
Setalah setengah jam lamanya berbicara di telepon genggam, kabar mengejutkan
datang menghampiriku yang baru saja terbangun dari tidur. Makku telah sejak dua
hari yang lalu menanti kepulanganku. Dalam telepon, Makku langsung yang
berbicara dan meminta Aku untuk segera pulang karena sudah terlalu rindu
katanya. Sebagai anak terakhir, Mak memang sering mengatakan rindu padaku
melalui telepon, karena Aku berada jauh di negeri orang, dan sangat jarang
pulang dalam waktu 12 tahun ini. Seingatku, dalam waktu sepanjang itu Aku hanya
dua kali pulang, karena terlalu jauh dan menghabiskan ongkos yang tak sedikit,
Aku terpaksa menahan keinginanku untuk sering-sering pulang kampung, tidak
seperti orang lain pada umumnya yang bahkan bisa pulang satu minggu
sekali.
Siangnya salah satu saudaraku menelpon juga meminta nomor rekening untuk
mengirimkan ongkos agar Aku segera pulang. Kiriman ini memang sudah
kedua-kalinya, kiriman pertama yang juga ongkos untuk pulang ludes karena Aku
masih ingin bertahan di Jogja dalam waktu yang lama, dan Aku sendiri
menjelaskan itu kepada Mak dan saudara-saudaraku. Syukurnya mereka mengerti
Aku, dan tidak memaksa untuks segera pulang saat itu. Tetapi kali ini lain, Mak
sendiri yang menyuruh Aku untuk segera pulang, kalimat yang beliau ucapkan
teramat lirih, bagaimana jika nanti kau tidak ketemu Aku kalau kau tak
pulang-pulang nak, kata beliau. Sontak saja Aku terkejut mendengar
kalimat itu sekaligus menyihir otakku untuk segera memesan tiket untuk pulang
meski kali ini pun keinginanku untuk segera pulang memang belum ada sama
sekali. Aku masih betah di sini, di Jogja tempat terakhir Aku menuntut ilmu
secara formal. Sebuah kota yang telah menyatu kulturnya dengan diriku. Sebuah
kota bersejarah tempat di mana kali pertamanya bangsa ini memiliki sebuah ibu
kota negara. Kota yang teramat kental dengan budaya dan iklim pendidikan serta
pelajarnya. Ya, sebuah kota yang menjadi impian hampir seluruh pelajar yang
datang dari luar pulau Jawa untuk menimba ilmu, termasuk Aku sendiri yang sejak
kecil memang telah mendambakan Jogja sebagai labuhanku dalam mencari ilmu, dan
kini tak terasa sudah 12 tahun lamanya Aku hidup dan berjuang di kota ini,
segenap pengalaman hidupku telah tertulis utuh di bumi tanah Jogja, yang lambat
laun Aku pasti akan angkat kaki jua pada akhirnya.
Setelah menerima telepon kedua dari saudaraku tadi, ia mengatakan bahwa ongkos
telah dikirim ke nomor rekening yang Aku berikan, segera Aku beranjak dari kost
menuju Anjungan Tunai Mandiri alias ATM, mengambil uang dilanjutkan berangkat
ke bandara membeli tiket pesawat. Sengaja Aku memilih transportasi pesawat agar
cepat sampai di rumah, meskipun sebenarnya Aku ingin sekali berlayar dan pulang
menggunakan jasa kapal laut. Tetapi Aku pikir-pikir, satu-satunya transportasi
yang bisa cepat menghantarkan ragaku ke rumah adalah dengan pesawat, jadi Aku
pun membelinya dengan harga yang cukup murah jika diukur lamanya perjalanan
yang hanya ditempuh satu setengah jam saja. Berbeda dengan kapal laut yang
harus menghabiskan waktu pejalanan selama dua hari satu malam, tapi Aku sendiri
tak terlalu pusing mempertimbangkan hal itu karena yang pasti Aku harus segera
sampai di rumah.
Berat hati meninggalkan Jogja dan Mazra, Aku lantas memesan tiket untuk
berangkat empat hari ke depan, dan itu Aku kabarkan ke rumah, awalnya
mendapatkan protes tetapi Aku berhasil meyakinkan Mak dan saudara-saudaraku
di sana.
Setelah memesan tiket Aku segera menemui Gus di kantor lembaga untuk meminta
ijin pulang sementara waktu ke Kalimantan karena atas desakan Mak dan
saudara-saudaraku. Gus menyetujuinya dan berpesan agar jangan lama-lama karena
lembaga sebentar lagi akan menjalankan program-program kerjanya.
“Iya Rit, monggo[1]
kalau ente mau pulang dulu, tapi jangan lama-lama lho karena kita akan bergerak
cepat membangun lembaga ini, dan tak lama lagi program akan segera dijalankan.
Kalaupun ente belum bisa balik cepat, kasihkan kabar ke saya, biar nanti
tandatanganmu saya pasrahkan ke Udin dulu sebagai sekretaris pelaksana
lembaga”, himbau Gus kepadaku.
Aku meng-iya-kan himbauan itu seraya berpamitan dengan beberapa anggota lain.
Selanjutnya, kabar rencana kepulanganku tak lupa Aku beritahukan kepada Mazra,
dan dia tak terdengar kaget karena sebelumnya memang Aku telah terlebih dahulu
memberitahukan kepadanya bahwa dalam waktu dekat Aku akan pulang ke kampung, di
Kalimantan.
Hari ini Aku habiskan waktu untuk berpamitan dengan kawan-kawan seperjuangan
selama bersama-sama di Jogja dalam 12 tahun terakhir. Begitu pun Aku berpamitan
dengan Jay, seorang kawan setia yang selama di Jogja sangat sering membantuku
ketika Aku sedang kesulitan. Dalam suara telepon Jay terdengar senang setelah
mendengar kabar rencana kepulanganku, baginya Aku sangat perlu untuk pulang
terlebih dahulu, karena Jay selalu memandang Aku sedang stres beberapa hari
belakangan karena tumpukan pekerjaan yang tak kungjung Aku selesaikan.
Selama empat hari sisa keberadaanku di Jogja Aku lebih banyak menghabiskan
waktu untuk menyelesaikan beberapa pekerjaan-pekerjaanku yang Aku tanggung.
Salah satu pekerjaan terpenting yang harus segera Aku selesaikan adalah
pekerjaan menulis artikel tentang sejarah radikalisme, di mana dalam pekerjaan
ini Aku memang akan dibayar secara profesional jika terselesaikan. Secara umum,
pekerjaan ini sebenarnya sudah Aku selesaikan dua hari yang lalu, dan sekarang
tinggal tahap checking akhir saja barangkali masih terdapat
kesalahan-kesalahan dan kurang sempurna.
Setelah semalaman Aku check semua telah beres, dan segera
Aku serahkan kepada pihak yang punya proyek ini, pak Muk. Sore harinya baru Aku
dapat menemui beliau, karena Aku harus istirahat setelah semalaman begadang
sama sekali tak memajamkan mata barang sedetikpun.
Sore harinya Aku
antarkan hasil pekerjaanku kepada pak Muk, beliau menerimanya dan katanya sudah
sempurna. Beliau pun memberikan kompensasi dari hasil pekerjaanku tersebut
sesuai dengan perjanjian di awal saat deal-deal-an.
Setelah itu Aku segera pamit dan pulang ke kost, Mazra sudah menungguku di
sana.
Sesampainya Aku di
kost, Mazra menyambutku dengan senyuman dan dia berdandan sangat cantik sekali.
Dalam hati Aku berkata, pasti orang ini sudah mandi tidak seperti dua hari yang
lalu, yang terlihat kusut dan lelah. Tapi kali ini ia hadir di hadapanku dengan
kecantikannya yang tak dapat ia sendiri sembunyikan.
“Cantik sekali
kekasihku kali ini, nggak kayak
kemarin hari. Pasti udah mandi ya?”, pujiku kepadanya yang tersipu malu.
Dengan sikap salah
tingkah dia tak dapat berkata apa-apa kecuali tersipu malu dan melebarkan
senyumnya. Setelah tenang, dia lalu bilang, “Ahhh mas ini, jangan kayak gitu
to, tumben banget puji aku, pasti ada maunya?”, tanyanya dengan muka cemberut
tapi tampak manja.
“Iya, kan cewekku dari
dulu emang udah cantik kok, sekarang tambah cantik tak ada yang membandingi”,
pujiku setinggi langit, dia lantas berlari memelukku, dan Aku membalasnya
dengan kecupan di keningnya, lalu Aku mengajaknya keluar untuk makan malam.
Setelah makan malam
bersama, Mazra pun pulang. Sementara Aku beralih ke Blandongan untuk nongkrong
dan ngopi bersama dengan
kawan-kawan aktivis mahasiswa, mereka sudah berada di sana sejak tadi. Di sana,
salah seorang kawan bertanya kepadaku tentang kesibukanku sekarang setelah
wisuda. Aku memang sudah lama tak berjumpa dengan Salim pasca terakhir kami
bertemu di acara wisuda. Acara malam ini hanyalah nongkrong pikirku, sehingga
tak ada obrolan serius yang mesti jadi bahan pembicaraan, dan dengan datar Aku menjawab
pertanyaannya bahwa Aku tak ada kesibukkan apapun setelah
diwisuda. Kataku dengan nada canda, “Sibuk apa aja boleh”. Gelak tawa bersatu
dengan keramaian orang-orang yang sedang nongkrong, sehingga tawa kami bisa
dibilang hanyalah suara kecil dibanding dengan keramaian orang di kedai kopi
favoritku ini.
Setiap hari kedai kopi ini sesak dengan keramaian
orang-orangnya. Tak pernah sepi sejak dibuka pada jam 8 pagi
hingga tutup. Hal ini jelas sekali menjadi bukti bahwa Blandongan merupakan
sebuah kedai kopi yang sangat digemari oleh setiap kalangan, terutama kalangan
mahasiswa.
Semua kalangan berinteraksi, dari berbagai suku,
etnis, budaya, dari kalangan bawah dan menengah, bersatu dalam nuansa
keakraban, dengan kopi yang sama hanya berbeda selera. Di sini, kopi ternyata
mampu menyatukan berbagai perbedaan yang ada, yang dibalut Blandongan dengan
semboyan, Selamatkan Indonesia dari Kekurangan Kopi.! Malam pun berlalu,
hawa dingin pun datang menerpa. Dan Aku pun beranjak
pulang.
Hari yang dinantikan itu pun tiba. Pulang.!
Segala persiapan pulang sudah Aku persiapakan sejak
Aku membeli tiket kemarin hari. Satu koper gede berisi penuh, dan
satunya lagi tas yang kira-kira cukup untuk menampung sepuluh lembar pakaian.
Itu saja bekalku pulang nanti sore, tak seperti umumnya orang-orang yang
bepergian pulang, membawa barang yang sangat banyak, ditambah lagi dengan
kardus-kardus, dan itu tak terjadi padaku. Aku memang tipe orang yang tidak terlalu suka dengan hal-hal yang ribet,
membawa barang yang sangat banyak ketika dalam perjalanan jauh adalah sebuah
perkara yang ribet.
Kebiasaan burukku memang tak suka membawa barang
terlalu banyak saat bepergian jauh, terutama jika pulang ke kampung seperti
ini. Membawa barang yang berjumlah banyak saat perjalanan jauh Aku masih agak
trauma. Pernah dulu ketika masih duduk di sekolah menengah pertama, SLTP, ketika Aku pulang ke kampung, naik bus umum, dan setelah turun dan
sampai di rumah Aku baru sadar kalau salah satu barang milikku tertinggal di
dalam bus.
Kejadian inilah yang
rasa-rasanya telah menamparku, sehingga sampai saat ini Aku tak akan mau lagi
membawa barang banyak-banyak ketika bepergian jauh, dan hanya membawa
sekucupknya saja, termasuk dalam kepulanganku kali ini.
Waktu masih menunjukan
pukul sebelas siang, masih lama, pikirku. Dalam jangka waktu yang masih
berselang kurang lebih selama tujuh jam itu Aku manfaatkan tuk berjumpa Mazra
di rumahnya, sekalian berpamitan dengan mbak dan masnya di sana. Tak lupa, Aku
juga mengembalikan barang-barang pinjaman dari teman-teman, Aku berpikir bahwa
Aku tak mau meninggalkan tanggungan dalam bentuk apapun di Jogja ini, apalagi
hal-hal terkait dengan utang piutang. Aku ingin kepulanganku benar-benar fresh, bebas, tanpa sesuatu beban
yang akan mengganggu kenyamananku di perjalanan serta di rumah nanti.
“Mazra, ikut mas yuk,
keluar barang sebentar sebelum pesawat itu benar-benar akan membawa ragaku ke
tempat lain selain tempat ini”, ajakanku kepada Mazra untuk bepergian ke suatu
tempat, walau hanya sekadar ngobrol
ringan, sebelum Aku meninggalkannya di sini.
Wajah Mazra tampak
sumringah, walau sebenarnya Aku tahu dia sedang menyembunyikan kesedihannya
yang ia simpan di balik senyumnya yang tampak dibuat-buat.
“Yuk mas”,
jawabnya segera. Sepertinya dia senang karena akan Aku ajak jalan-jalan walau
hanya sebentar.
Tak lama kemudian Mazra
keluar dari rumahnya setelah mengganti pakaian dan berdandan berias,
seakan-akan mau pergi ke sebuah acara pernikahan. Tapi Aku berpikir, mungkin
kali ini dia ingin memperlihatkan kepadaku akan kecantikannya.
Aku benar-benar kagum
dengan Mazra, ternyata dia memang teramat cantik. Sebuah kecantikan yang tak
ternilai, terlebih jika disandingkan dengan kecerdasannya, keteguhannya,
kesetiannya, keuletannya, serta kesabarannya yang sangat sulit dicari pada diri
perempuan di jaman sekarang. Kesabarannya itulah yang telah meluluh-lantakkan
egoku selama ini, dan oleh karena itulah mengapa Aku sangat menganguminya,
bukan hanya karena kecantikannya itu.
Definisiku mengenai
kecantikan Mazra memang terasa lengkap dan sempurna. Aku sendiri tidak
memandang kecantikan perempuan hanya karena faktor fisik seperti definisi yang
ditampilkan oleh produk-produk kecantikan itu. Di mana perempuan yang dikatakan
cantik punya ciri-ciri; tinggi semampai, kulitnya putih nan mulus, berambut
lurus, hidung mancung, bermata biru, beralis agak tipis, berpayudara montok,
serta berpakaian mewah. Berbagai produk kecantikan memang terlalu subyektif
dalam mendefinisikan perempuan yang dikatakan cantik dengan kriteria-kriteria
yang sesuai dengan mereka kehendaki agar produk-produk yang dijual tersebut
laku di pasaran, dan pada akhirnya berhasil mempengaruhi pola pikir, stigma dan
asumsi publik. Padahal, sejatinya hal itu merupakan bentuk nyata dari tindakan
diskriminatif terhadap kaum perempuan.
Cobalah untuk
mendefisikan kecantikan perempuan dengan pandangan yang berbeda dengan
produk-produk kecantikan itu, supaya mampu menempatkan mereka pada sisi lain
yang lebih bermartabat dan terhormat.
Aku dan Mazra, dengan
waktu yang tersisa sebelum Aku beranjak pulang menghabiskannya di salah satu
tempat wisata, pantai Parangtritis. Aku sengaja memilih tempat ini karena sejak
kecil Aku memang sangat suka dengan pantai, sebab, setidaknya bagiku, gelombang
dan pantai sama-sama setianya, saling memberi dan menerima serta tak pernah
sekalipun di antara keduanya berpaling. Pantai memang ditakdirkan untuk
gelombang, dan begitupun sebaliknya, gelombang memang telah ditakdirkan untuk
pantai.
Harapan itu jugalah
yang Aku harap dengan pertalian kasih antara Aku dan Mazra.
“Apa yang kau maknai
dari pantai dan gelombang nduk?”, tanyaku kepada Mazra sembari menggenggam
tangannya erat.
Sambil tersenyum dengan wajah menghadap ke arah laut,
Mazra berkata, “Aku ingin seperti gelombang laut dan pantai ini sebagai modal
dasarku tuk mengharungi masa mendatang bersamamu, menggenggam tanganmu erat,
berada di sampingmu dalam kondisi apapun itu; suka dan duka. Tapi, yang aku
pikirkan bukan tentang kesetiaanku pada, karena itu tak perlu kau pertanyakan,
apalagi sampai ragu, yang aku pikirkan hanyalah kapan semua itu akan dapat
terwujud nyata, karena hari esok pun tetap akan sama seperti saat kita saling
mengenal, dan hingga detik ini”.
Aku terdiam. Kata-kata Mazra sangat dalam, dan
berhasil menembus hati sanubariku yang hanya terisi oleh rasa optimis tanpa
tahu kapan akan terwujud nyata dari segenap keinginan-keinginan. Setiap orang
memang harus selalu optimis memandang ke depan karena masih terbalut misteri
yang tak kita ketahui, termasuk aku sendiri, tapi yang menjadi pertanyaan,
apakah kita harus hidup dengan rasa optimis itu sepanjang hayat tanpa berani
mengambil suatu sebuah langkah nyata untuk mulai sedikit demi sedikit
mewujudkannya? Tuhan memang Maha Tahu, tetapi diri kita sendiri sejatinya juga
jauh lebih tahu tentang apa yang dikehendaki, dan tinggal keberanian saja yang
perlu dipertegas.
“Kamu lagi sedih ya nduk?”, tanyaku basa basi memeluknya sambil menghadap ke laut
jauh.
“Aku nggak lagi bersedih kok mas, tapi yang aku
pikirkan sekarang adalah bagaimana jadinya jika aku di sini sendiri tanpa
melihatmu dari dekat seperti biasanya”, ujar Mazra dengan mata yang mulai
berkaca-kaca.
“Sayang, Aku pulang cuma sebentar aja kok, kan Aku
sudah bilang kemarin kalau Aku pulang hanya mau bertemu Mak saja, dan setelah
itu Aku kembali lagi ke sini menemui kamu”. Aku mencoba menghibur hati Mazra dan
menenangkannya agar dia tak larut dalam tangisannya, karena Aku tak kuasa
melihat sebuah tangisan yang ditujukan kepadaku sementara Aku masih bernafas.
“Di sini, di kota ini kita bertemu, dan di sini pula
semua akan kita wujudkan bersama, kau tak perlu terlalu tenggelam dalam
kekhawatiran-kekhawatiranmu, apalagi kesedihanmu”, lanjutku.
Aku memang tak biasa melihat Mazra menangis, dan
seingatku, Aku tak pernah membuat dia menangis disebabkan perilakuku, karena memang Aku tak inginkan hal itu sampai terjadi. Tapi
kali ini Aku tak tahan membendung tangisannya karena air mata itu terjatuh tumpah ruah tanpa sepengetahuanku, dan Mazra bukanlah tipe seorang
perempuan yang mudah meneteskan air mata jika hanya karena masalah kecil.
Dalam pada itu, waktu terus berlalu, dan Aku tak
henti-hentinya meyakinkan Mazra bahwa Aku akan kembali lagi untuknya dalam
beberapa bulan setelah kepulanganku nanti. Sampai benar-benar Mazra telah
yakin, Aku pun mengajak dia tuk pulang, karena dua jam lagi Aku harus berangkat
pulang. Dan kami pun segera pulang, Mazra Aku antarkan ke rumah, sedangkan Aku
sendiri kembali ke kost tuk packing,
di sana sudah menanti dua orang sahabat dekatku, Fid dan Jis, yang berencana
ingin mengantarkanku ke bandara Adi Sucipto, Jogjakarta.
“Gimana kek,
udah siap meninggalkan Jogja belum?”, tanya Fid yang mencoba meledek.
Kepulanganku memang sesuatu yang agak aneh di mata
mereka, sebab, Aku sendiri tak pernah terbesit untuk pulang kampung selama ini,
dan sejak dulu mereka memang sudah tahu, tiap kali musim libur datang, begitu pula liburan hari raya, Aku tak
pernah pulang.
“Hahaha, ya jadilah, kali ini kayaknya Aku memang
harus pulang, udah nggak ada
jurus lagi buat Aku menangkis tuk pulang kalau udah Mak yang perintah”, jawabku sambil tertawa.
“Iya lah Ritt, kamu harus pulang dulu lah, ke sini
lagi kan gampang, tinggal terbang aja sebentar udah sampai, lagian kita-kita ‘kan masih di Jogja juga”, canda Jis
sambil memberikan uang sangu[2]
kepadaku. Akus sendiri sempat menolak pemberiannya tersebut, tapi dia
meyakinkan kepadaku bahwa uang ini memang sudah lama ingin ia berikan kepadaku
sebagai ucapan terima kasih. Demi menghargai Jis, Aku terima uang sangu
itu dengan senang hati, dan kami langsung beranjak dari kost yang baru saja Aku
perpanjang kontraknya kemarin sampai satu bulan ke depan.
Fida dan Jis membawakan koperku. Aku terkejut saat
mereka berdua memasukkan koper tersebut ke dalam sebuah mobil. “Lho, kok
dimasukan ke situ?”, tanyaku sambil menunjuk ke sebuah mobil yang parkir di
depan kost, dan di dalamnya sudah ada seorang teman yang menunggu. Kull.
“Iya Rit”, sahut Fid, “..kita memang sudah
mempersiapkan mobil buat nganterin
kamu ke bandara. Kami memang sudah berencana sejak lama ingin mengantarkan kamu
bareng-bareng ke bandara, karena kami yakin kamu bakalan lama di rumah nanti. Jadi, kami pikir akan lama tak
berjumpa dan bergumul nongkrong bareng lagi di warung kopi bersamamu, padahal
kamu adalah salah satu sahabat terbaik bagi kami”, lanjutnya.
“Oalah, ya sudah kalau begitu, terima kasih lho”,
jawabku simpatik. Sambil mengangkat tas kecilku, Aku bilang kepada mereka tuk
singgah dulu di rumah Mazra, sekalian Aku mengantarkan sepeda motor ini di
rumahnya.
Sesampainya di rumah Mazra, Aku melihat dia sudah
berada di halaman rumah menantikanku. Dan seketika itu juga hujan turun sangat
deras sekali, dan segera kami masuk ke dalam mobil dan berangkat dengan
perlahan menyusuri jalan ramai menuju bandara Adi Sucipto, meski hujan, jalan
sesak dengan kemacetan, sehingga kami agak terlambat tiba di bandara dan
menyisakan waktu setengah jam sebelum pesawat lepas landas. Dan bandara jelas
terlihat sangat ramai, orang-orang sibuk dengan aktivitas
hilir mudik, termasuk Aku sendiri ikut meramaikan pesta hilir mudik di saat liburan natal dan tahun
baru ini.
Tanpa menunggu, Aku segera berpamitan dengan Mazra dan ketiga sahabatku. Fid dan Kull memberikan
sebuah amplop putih entah berisi apa Aku tak tahu karena langsung mereka
masukannya ke dalam sakuku. Seakan tak ingin kalah, Mazra pun juga demikian,
memberikan sebuah bingkisan beserta sebuah amplop ke tanganku, untuk bekal di
perjalanan katanya.
Setelah bersalaman dengan ketiga sahabatku, Aku pun
memeluk Mazra erat dan berpamitan tuk chek
in sekaligus bergegas menuju sebuah pesawat yang sepertinya sudah siap
diterbangkan.
Hati pilu berkecamuk di relung hati dan serasa tak
ingin pulang sesaat langkah demi langkah kakiku berjalan menuju pesawat. Kaki
teramat berat tuk dilangkahkan, hatiku masih tertinggal di Jogja dengan segala
dinamika kehidupannya, sementara di sisi lain Mak sudah sejak kemarin
menanti-nanti kedatanganmu di rumah. Di saat yang bersamaa Aku seperti dilema, ragu dengan kondisi hati yang
seakan tidak mantap tuk pulang ke kampung, namun, bayangan dari sosok Mak
menghapus segala keraguan itu sehingga dengan cepat semangat serta kemantapan
hati itu Aku temukan sekaligus Aku tanamkakn dalam-dalam di relung hati tuk
pulang, toh nanti juga, entah
kapan, Aku pasti kembali lagi menginjak bumi Jogja ini untuk mengambil separuh
hatiku yang masih tertinggal. Bismillah.!!
Senja pun mulai tampak di ufuk barat. Matahari akan
segera meninggalkan siang untuk bersembunyi di balik tabir gelap malam, dan
sinarnya sebentar lagi akan digantikan oleh rembulan.
Cahaya senja jelas kelihatan, sebab, hujan baru saja
berhenti membasahi bumi Jogja. Senja ini pula,
pesawat terbang meninggalkan tanah Jogja yang telah Aku injak selama dua belas
tahun lamanya. Bye Jogja. My heart will go on.!!#