Wednesday, 17 July 2013

Bagian IV



Pesan Orang Rumah
            Kriiiing….kriiing…kriiiiing..!
Handphone-ku pagi-pagi buta ini sudah berbunyi pertanda sebuah panggilan menyapa telepon genggamku. Terperanjat Aku meraih telepon genggamku dan segera Aku mengangkatnya.
            Setalah setengah jam lamanya berbicara di telepon genggam, kabar mengejutkan datang menghampiriku yang baru saja terbangun dari tidur. Makku telah sejak dua hari yang lalu menanti kepulanganku. Dalam telepon, Makku langsung yang berbicara dan meminta Aku untuk segera pulang karena sudah terlalu rindu katanya. Sebagai anak terakhir, Mak memang sering mengatakan rindu padaku melalui telepon, karena Aku berada jauh di negeri orang, dan sangat jarang pulang dalam waktu 12 tahun ini. Seingatku, dalam waktu sepanjang itu Aku hanya dua kali pulang, karena terlalu jauh dan menghabiskan ongkos yang tak sedikit, Aku terpaksa menahan keinginanku untuk sering-sering pulang kampung, tidak seperti orang lain pada umumnya yang bahkan  bisa pulang satu minggu sekali.
            Siangnya salah satu saudaraku menelpon juga meminta nomor rekening untuk mengirimkan ongkos agar Aku segera pulang. Kiriman ini memang sudah kedua-kalinya, kiriman pertama yang juga ongkos untuk pulang ludes karena Aku masih ingin bertahan di Jogja dalam waktu yang lama, dan Aku sendiri menjelaskan itu kepada Mak dan saudara-saudaraku. Syukurnya mereka mengerti Aku, dan tidak memaksa untuks segera pulang saat itu. Tetapi kali ini lain, Mak sendiri yang menyuruh Aku untuk segera pulang, kalimat yang beliau ucapkan teramat lirih, bagaimana jika nanti kau tidak ketemu Aku kalau kau tak pulang-pulang nak, kata beliau. Sontak saja Aku terkejut mendengar kalimat itu sekaligus menyihir otakku untuk segera memesan tiket untuk pulang meski kali ini pun keinginanku untuk segera pulang memang belum ada sama sekali. Aku masih betah di sini, di Jogja tempat terakhir Aku menuntut ilmu secara formal. Sebuah kota yang telah menyatu kulturnya dengan diriku. Sebuah kota bersejarah tempat di mana kali pertamanya bangsa ini memiliki sebuah ibu kota negara. Kota yang teramat kental dengan budaya dan iklim pendidikan serta pelajarnya. Ya, sebuah kota yang menjadi impian hampir seluruh pelajar yang datang dari luar pulau Jawa untuk menimba ilmu, termasuk Aku sendiri yang sejak kecil memang telah mendambakan Jogja sebagai labuhanku dalam mencari ilmu, dan kini tak terasa sudah 12 tahun lamanya Aku hidup dan berjuang di kota ini, segenap pengalaman hidupku telah tertulis utuh di bumi tanah Jogja, yang lambat laun Aku pasti akan angkat kaki jua pada akhirnya.
            Setelah menerima telepon kedua dari saudaraku tadi, ia mengatakan bahwa ongkos telah dikirim ke nomor rekening yang Aku berikan, segera Aku beranjak dari kost menuju Anjungan Tunai Mandiri alias ATM, mengambil uang dilanjutkan berangkat ke bandara membeli tiket pesawat. Sengaja Aku memilih transportasi pesawat agar cepat sampai di rumah, meskipun sebenarnya Aku ingin sekali berlayar dan pulang menggunakan jasa kapal laut. Tetapi Aku pikir-pikir, satu-satunya transportasi yang bisa cepat menghantarkan ragaku ke rumah adalah dengan pesawat, jadi Aku pun membelinya dengan harga yang cukup murah jika diukur lamanya perjalanan yang hanya ditempuh satu setengah jam saja. Berbeda dengan kapal laut yang harus menghabiskan waktu pejalanan selama dua hari satu malam, tapi Aku sendiri tak terlalu pusing mempertimbangkan hal itu karena yang pasti Aku harus segera sampai di rumah.
            Berat hati meninggalkan Jogja dan Mazra, Aku lantas memesan tiket untuk berangkat empat hari ke depan, dan itu Aku kabarkan ke rumah, awalnya mendapatkan protes tetapi Aku berhasil meyakinkan Mak dan saudara-saudaraku  di sana.
            Setelah memesan tiket Aku segera menemui Gus di kantor lembaga untuk meminta ijin pulang sementara waktu ke Kalimantan karena atas desakan Mak dan saudara-saudaraku. Gus menyetujuinya dan berpesan agar jangan lama-lama karena lembaga sebentar lagi akan menjalankan program-program kerjanya.
            “Iya Rit, monggo[1] kalau ente mau pulang dulu, tapi jangan lama-lama lho karena kita akan bergerak cepat membangun lembaga ini, dan tak lama lagi program akan segera dijalankan. Kalaupun ente belum bisa balik cepat, kasihkan kabar ke saya, biar nanti tandatanganmu saya pasrahkan ke Udin dulu sebagai sekretaris pelaksana lembaga”, himbau Gus kepadaku.
            Aku meng-iya-kan himbauan itu seraya berpamitan dengan beberapa anggota lain. Selanjutnya, kabar rencana kepulanganku tak lupa Aku beritahukan kepada Mazra, dan dia tak terdengar kaget karena sebelumnya memang Aku telah terlebih dahulu memberitahukan kepadanya bahwa dalam waktu dekat Aku akan pulang ke kampung, di Kalimantan.
            Hari ini Aku habiskan waktu untuk berpamitan dengan kawan-kawan seperjuangan selama bersama-sama di Jogja dalam 12 tahun terakhir. Begitu pun Aku berpamitan dengan Jay, seorang kawan setia yang selama di Jogja sangat sering membantuku ketika Aku sedang kesulitan. Dalam suara telepon Jay terdengar senang setelah mendengar kabar rencana kepulanganku, baginya Aku sangat perlu untuk pulang terlebih dahulu, karena Jay selalu memandang Aku sedang stres beberapa hari belakangan karena tumpukan pekerjaan yang tak kungjung Aku selesaikan.
            Selama empat hari sisa keberadaanku di Jogja Aku lebih banyak menghabiskan waktu untuk menyelesaikan beberapa pekerjaan-pekerjaanku yang Aku tanggung. Salah satu pekerjaan terpenting yang harus segera Aku selesaikan adalah pekerjaan menulis artikel tentang sejarah radikalisme, di mana dalam pekerjaan ini Aku memang akan dibayar secara profesional jika terselesaikan. Secara umum, pekerjaan ini sebenarnya sudah Aku selesaikan dua hari yang lalu, dan sekarang tinggal tahap checking akhir saja barangkali masih terdapat kesalahan-kesalahan dan kurang sempurna.
Setelah semalaman Aku check semua telah beres, dan segera Aku serahkan kepada pihak yang punya proyek ini, pak Muk. Sore harinya baru Aku dapat menemui beliau, karena Aku harus istirahat setelah semalaman begadang sama sekali tak memajamkan mata barang sedetikpun.
Sore harinya Aku antarkan hasil pekerjaanku kepada pak Muk, beliau menerimanya dan katanya sudah sempurna. Beliau pun memberikan kompensasi dari hasil pekerjaanku tersebut sesuai dengan perjanjian di awal saat deal-deal-an. Setelah itu Aku segera pamit dan pulang ke kost, Mazra sudah menungguku di sana.
Sesampainya Aku di kost, Mazra menyambutku dengan senyuman dan dia berdandan sangat cantik sekali. Dalam hati Aku berkata, pasti orang ini sudah mandi tidak seperti dua hari yang lalu, yang terlihat kusut dan lelah. Tapi kali ini ia hadir di hadapanku dengan kecantikannya yang tak dapat ia sendiri sembunyikan.
“Cantik sekali kekasihku kali ini, nggak kayak kemarin hari. Pasti udah mandi ya?”, pujiku kepadanya yang tersipu malu.
Dengan sikap salah tingkah dia tak dapat berkata apa-apa kecuali tersipu malu dan melebarkan senyumnya. Setelah tenang, dia lalu bilang, “Ahhh mas ini, jangan kayak gitu to, tumben banget puji aku, pasti ada maunya?”, tanyanya dengan muka cemberut tapi tampak manja.
“Iya, kan cewekku dari dulu emang udah cantik kok, sekarang tambah cantik tak ada yang membandingi”, pujiku setinggi langit, dia lantas berlari memelukku, dan Aku membalasnya dengan kecupan di keningnya, lalu Aku mengajaknya keluar untuk makan malam.
Setelah makan malam bersama, Mazra pun pulang. Sementara Aku beralih ke Blandongan untuk nongkrong dan ngopi bersama dengan kawan-kawan aktivis mahasiswa, mereka sudah berada di sana sejak tadi. Di sana, salah seorang kawan bertanya kepadaku tentang kesibukanku sekarang setelah wisuda. Aku memang sudah lama tak berjumpa dengan Salim pasca terakhir kami bertemu di acara wisuda. Acara malam ini hanyalah nongkrong pikirku, sehingga tak ada obrolan serius yang mesti jadi bahan pembicaraan, dan dengan datar Aku menjawab pertanyaannya bahwa Aku tak ada kesibukkan apapun setelah diwisuda. Kataku dengan nada canda, “Sibuk apa aja boleh”. Gelak tawa bersatu dengan keramaian orang-orang yang sedang nongkrong, sehingga tawa kami bisa dibilang hanyalah suara kecil dibanding dengan keramaian orang di kedai kopi favoritku ini.
Setiap hari kedai kopi ini sesak dengan keramaian orang-orangnya. Tak pernah sepi sejak dibuka pada jam 8 pagi hingga tutup. Hal ini jelas sekali menjadi bukti bahwa Blandongan merupakan sebuah kedai kopi yang sangat digemari oleh setiap kalangan, terutama kalangan mahasiswa.
Semua kalangan berinteraksi, dari berbagai suku, etnis, budaya, dari kalangan bawah dan menengah, bersatu dalam nuansa keakraban, dengan kopi yang sama hanya berbeda selera. Di sini, kopi ternyata mampu menyatukan berbagai perbedaan yang ada, yang dibalut Blandongan dengan semboyan, Selamatkan Indonesia dari Kekurangan Kopi.! Malam pun berlalu, hawa dingin pun datang menerpa. Dan Aku pun beranjak pulang.
Hari yang dinantikan itu pun tiba. Pulang.!
Segala persiapan pulang sudah Aku persiapakan sejak Aku membeli tiket kemarin hari. Satu koper gede berisi penuh, dan satunya lagi tas yang kira-kira cukup untuk menampung sepuluh lembar pakaian. Itu saja bekalku pulang nanti sore, tak seperti umumnya orang-orang yang bepergian pulang, membawa barang yang sangat banyak, ditambah lagi dengan kardus-kardus, dan itu tak terjadi padaku. Aku memang tipe orang yang tidak terlalu suka dengan hal-hal yang ribet, membawa barang yang sangat banyak ketika dalam perjalanan jauh adalah sebuah perkara yang ribet.
Kebiasaan burukku memang tak suka membawa barang terlalu banyak saat bepergian jauh, terutama jika pulang ke kampung seperti ini. Membawa barang yang berjumlah banyak saat perjalanan jauh Aku masih agak trauma. Pernah dulu ketika masih duduk di sekolah menengah pertama, SLTP,  ketika Aku pulang ke kampung, naik bus umum, dan setelah turun dan sampai di rumah Aku baru sadar kalau salah satu barang milikku tertinggal di dalam bus.
Kejadian inilah yang rasa-rasanya telah menamparku, sehingga sampai saat ini Aku tak akan mau lagi membawa barang banyak-banyak ketika bepergian jauh, dan hanya membawa sekucupknya saja, termasuk dalam kepulanganku kali ini.
Waktu masih menunjukan pukul sebelas siang, masih lama, pikirku. Dalam jangka waktu yang masih berselang kurang lebih selama tujuh jam itu Aku manfaatkan tuk berjumpa Mazra di rumahnya, sekalian berpamitan dengan mbak dan masnya di sana. Tak lupa, Aku juga mengembalikan barang-barang pinjaman dari teman-teman, Aku berpikir bahwa Aku tak mau meninggalkan tanggungan dalam bentuk apapun di Jogja ini, apalagi hal-hal terkait dengan utang piutang. Aku ingin kepulanganku benar-benar fresh, bebas, tanpa sesuatu beban yang akan mengganggu kenyamananku di perjalanan serta di rumah nanti.
“Mazra, ikut mas yuk, keluar barang sebentar sebelum pesawat itu benar-benar akan membawa ragaku ke tempat lain selain tempat ini”, ajakanku kepada Mazra untuk bepergian ke suatu tempat, walau hanya sekadar ngobrol ringan, sebelum Aku meninggalkannya di sini.
Wajah Mazra tampak sumringah, walau sebenarnya Aku tahu dia sedang menyembunyikan kesedihannya yang ia simpan di balik senyumnya yang tampak dibuat-buat.
 “Yuk mas”, jawabnya segera. Sepertinya dia senang karena akan Aku ajak jalan-jalan walau hanya sebentar.
Tak lama kemudian Mazra keluar dari rumahnya setelah mengganti pakaian dan berdandan berias, seakan-akan mau pergi ke sebuah acara pernikahan. Tapi Aku berpikir, mungkin kali ini dia ingin memperlihatkan kepadaku akan kecantikannya.
Aku benar-benar kagum dengan Mazra, ternyata dia memang teramat cantik. Sebuah kecantikan yang tak ternilai, terlebih jika disandingkan dengan kecerdasannya, keteguhannya, kesetiannya, keuletannya, serta kesabarannya yang sangat sulit dicari pada diri perempuan di jaman sekarang. Kesabarannya itulah yang telah meluluh-lantakkan egoku selama ini, dan oleh karena itulah mengapa Aku sangat menganguminya, bukan hanya karena kecantikannya itu.
Definisiku mengenai kecantikan Mazra memang terasa lengkap dan sempurna. Aku sendiri tidak memandang kecantikan perempuan hanya karena faktor fisik seperti definisi yang ditampilkan oleh produk-produk kecantikan itu. Di mana perempuan yang dikatakan cantik punya ciri-ciri; tinggi semampai, kulitnya putih nan mulus, berambut lurus, hidung mancung, bermata biru, beralis agak tipis, berpayudara montok, serta berpakaian mewah. Berbagai produk kecantikan memang terlalu subyektif dalam mendefinisikan perempuan yang dikatakan cantik dengan kriteria-kriteria yang sesuai dengan mereka kehendaki agar produk-produk yang dijual tersebut laku di pasaran, dan pada akhirnya berhasil mempengaruhi pola pikir, stigma dan asumsi publik. Padahal, sejatinya hal itu merupakan bentuk nyata dari tindakan diskriminatif terhadap kaum perempuan.
Cobalah untuk mendefisikan kecantikan perempuan dengan pandangan yang berbeda dengan produk-produk kecantikan itu, supaya mampu menempatkan mereka pada sisi lain yang lebih bermartabat dan terhormat.
Aku dan Mazra, dengan waktu yang tersisa sebelum Aku beranjak pulang menghabiskannya di salah satu tempat wisata, pantai Parangtritis. Aku sengaja memilih tempat ini karena sejak kecil Aku memang sangat suka dengan pantai, sebab, setidaknya bagiku, gelombang dan pantai sama-sama setianya, saling memberi dan menerima serta tak pernah sekalipun di antara keduanya berpaling. Pantai memang ditakdirkan untuk gelombang, dan begitupun sebaliknya, gelombang memang telah ditakdirkan untuk pantai.
Harapan itu jugalah yang Aku harap dengan pertalian kasih antara Aku dan Mazra.
“Apa yang kau maknai dari pantai dan gelombang nduk?”, tanyaku kepada Mazra sembari menggenggam tangannya erat.
Sambil tersenyum dengan wajah menghadap ke arah laut, Mazra berkata, “Aku ingin seperti gelombang laut dan pantai ini sebagai modal dasarku tuk mengharungi masa mendatang bersamamu, menggenggam tanganmu erat, berada di sampingmu dalam kondisi apapun itu; suka dan duka. Tapi, yang aku pikirkan bukan tentang kesetiaanku pada, karena itu tak perlu kau pertanyakan, apalagi sampai ragu, yang aku pikirkan hanyalah kapan semua itu akan dapat terwujud nyata, karena hari esok pun tetap akan sama seperti saat kita saling mengenal, dan hingga detik ini”.
Aku terdiam. Kata-kata Mazra sangat dalam, dan berhasil menembus hati sanubariku yang hanya terisi oleh rasa optimis tanpa tahu kapan akan terwujud nyata dari segenap keinginan-keinginan. Setiap orang memang harus selalu optimis memandang ke depan karena masih terbalut misteri yang tak kita ketahui, termasuk aku sendiri, tapi yang menjadi pertanyaan, apakah kita harus hidup dengan rasa optimis itu sepanjang hayat tanpa berani mengambil suatu sebuah langkah nyata untuk mulai sedikit demi sedikit mewujudkannya? Tuhan memang Maha Tahu, tetapi diri kita sendiri sejatinya juga jauh lebih tahu tentang apa yang dikehendaki, dan tinggal keberanian saja yang perlu dipertegas.
“Kamu lagi sedih ya nduk?”, tanyaku basa basi memeluknya sambil menghadap ke laut jauh.
“Aku nggak lagi bersedih kok mas, tapi yang aku pikirkan sekarang adalah bagaimana jadinya jika aku di sini sendiri tanpa melihatmu dari dekat seperti biasanya”, ujar Mazra dengan mata yang mulai berkaca-kaca.
“Sayang, Aku pulang cuma sebentar aja kok, kan Aku sudah bilang kemarin kalau Aku pulang hanya mau bertemu Mak saja, dan setelah itu Aku kembali lagi ke sini menemui kamu”. Aku mencoba menghibur hati Mazra dan menenangkannya agar dia tak larut dalam tangisannya, karena Aku tak kuasa melihat sebuah tangisan yang ditujukan kepadaku sementara Aku masih bernafas.
“Di sini, di kota ini kita bertemu, dan di sini pula semua akan kita wujudkan bersama, kau tak perlu terlalu tenggelam dalam kekhawatiran-kekhawatiranmu, apalagi kesedihanmu”, lanjutku.
Aku memang tak biasa melihat Mazra menangis, dan seingatku, Aku tak pernah membuat dia menangis disebabkan perilakuku, karena memang Aku tak inginkan hal itu sampai terjadi. Tapi kali ini Aku tak tahan membendung tangisannya karena air mata itu terjatuh tumpah ruah tanpa sepengetahuanku, dan Mazra bukanlah tipe seorang perempuan yang mudah meneteskan air mata jika hanya karena masalah kecil.
Dalam pada itu, waktu terus berlalu, dan Aku tak henti-hentinya meyakinkan Mazra bahwa Aku akan kembali lagi untuknya dalam beberapa bulan setelah kepulanganku nanti. Sampai benar-benar Mazra telah yakin, Aku pun mengajak dia tuk pulang, karena dua jam lagi Aku harus berangkat pulang. Dan kami pun segera pulang, Mazra Aku antarkan ke rumah, sedangkan Aku sendiri kembali ke kost tuk packing, di sana sudah menanti dua orang sahabat dekatku, Fid dan Jis, yang berencana ingin mengantarkanku ke bandara Adi Sucipto, Jogjakarta.
“Gimana kek, udah siap meninggalkan Jogja belum?”, tanya Fid yang mencoba meledek.
Kepulanganku memang sesuatu yang agak aneh di mata mereka, sebab, Aku sendiri tak pernah terbesit untuk pulang kampung selama ini, dan sejak dulu mereka memang sudah tahu, tiap kali musim libur datang, begitu pula liburan hari raya, Aku tak pernah pulang.
“Hahaha, ya jadilah, kali ini kayaknya Aku memang harus pulang, udah nggak ada jurus lagi buat Aku menangkis tuk pulang kalau udah Mak yang perintah”, jawabku sambil tertawa.
“Iya lah Ritt, kamu harus pulang dulu lah, ke sini lagi kan gampang, tinggal terbang aja sebentar udah sampai, lagian kita-kita ‘kan masih di Jogja juga”, canda Jis sambil memberikan uang sangu[2] kepadaku. Akus sendiri sempat menolak pemberiannya tersebut, tapi dia meyakinkan kepadaku bahwa uang ini memang sudah lama ingin ia berikan kepadaku sebagai ucapan terima kasih. Demi menghargai Jis, Aku terima uang sangu itu dengan senang hati, dan kami langsung beranjak dari kost yang baru saja Aku perpanjang kontraknya kemarin sampai satu bulan ke depan.
Fida dan Jis membawakan koperku. Aku terkejut saat mereka berdua memasukkan koper tersebut ke dalam sebuah mobil. “Lho, kok dimasukan ke situ?”, tanyaku sambil menunjuk ke sebuah mobil yang parkir di depan kost, dan di dalamnya sudah ada seorang teman yang menunggu. Kull.
“Iya Rit”, sahut Fid, “..kita memang sudah mempersiapkan mobil buat nganterin kamu ke bandara. Kami memang sudah berencana sejak lama ingin mengantarkan kamu bareng-bareng ke bandara, karena kami yakin kamu bakalan lama di rumah nanti. Jadi, kami pikir akan lama tak berjumpa dan bergumul nongkrong bareng lagi di warung kopi bersamamu, padahal kamu adalah salah satu sahabat terbaik bagi kami”, lanjutnya.
“Oalah, ya sudah kalau begitu, terima kasih lho”, jawabku simpatik. Sambil mengangkat tas kecilku, Aku bilang kepada mereka tuk singgah dulu di rumah Mazra, sekalian Aku mengantarkan sepeda motor ini di rumahnya.
Sesampainya di rumah Mazra, Aku melihat dia sudah berada di halaman rumah menantikanku. Dan seketika itu juga hujan turun sangat deras sekali, dan segera kami masuk ke dalam mobil dan berangkat dengan perlahan menyusuri jalan ramai menuju bandara Adi Sucipto, meski hujan, jalan sesak dengan kemacetan, sehingga kami agak terlambat tiba di bandara dan menyisakan waktu setengah jam sebelum pesawat lepas landas. Dan bandara jelas terlihat sangat ramai, orang-orang sibuk dengan aktivitas hilir mudik, termasuk Aku sendiri ikut meramaikan pesta hilir mudik di saat liburan natal dan tahun baru ini.
Tanpa menunggu, Aku segera berpamitan dengan Mazra dan ketiga sahabatku. Fid dan Kull memberikan sebuah amplop putih entah berisi apa Aku tak tahu karena langsung mereka masukannya ke dalam sakuku. Seakan tak ingin kalah, Mazra pun juga demikian, memberikan sebuah bingkisan beserta sebuah amplop ke tanganku, untuk bekal di perjalanan katanya.
Setelah bersalaman dengan ketiga sahabatku, Aku pun memeluk Mazra erat dan berpamitan tuk chek in sekaligus bergegas menuju sebuah pesawat yang sepertinya sudah siap diterbangkan.
Hati pilu berkecamuk di relung hati dan serasa tak ingin pulang sesaat langkah demi langkah kakiku berjalan menuju pesawat. Kaki teramat berat tuk dilangkahkan, hatiku masih tertinggal di Jogja dengan segala dinamika kehidupannya, sementara di sisi lain Mak sudah sejak kemarin menanti-nanti kedatanganmu di rumah. Di saat yang bersamaa Aku seperti dilema, ragu dengan kondisi hati yang seakan tidak mantap tuk pulang ke kampung, namun, bayangan dari sosok Mak menghapus segala keraguan itu sehingga dengan cepat semangat serta kemantapan hati itu Aku temukan sekaligus Aku tanamkakn dalam-dalam di relung hati tuk pulang, toh nanti juga, entah kapan, Aku pasti kembali lagi menginjak bumi Jogja ini untuk mengambil separuh hatiku yang masih tertinggal. Bismillah.!!
Senja pun mulai tampak di ufuk barat. Matahari akan segera meninggalkan siang untuk bersembunyi di balik tabir gelap malam, dan sinarnya sebentar lagi akan digantikan oleh rembulan.
Cahaya senja jelas kelihatan, sebab, hujan baru saja berhenti membasahi bumi Jogja. Senja ini pula, pesawat terbang meninggalkan tanah Jogja yang telah Aku injak selama dua belas tahun lamanya. Bye Jogja. My heart will go on.!!#


[1] Silahkan
[2] Uang Saku
Disqus Comments