Pagi-pagi sekali aku sudah bangun.
Aku melaksanakan sholat subuh. Rendy dan Hendar masih belum beranjak dari
tempat tidur, aku sengaja tak membangunkan mereka.
Di kost masih sepi. Belum ada satu
pun penghuni kost yang berisi delapan kamar ini yang telah bangun, mereka masih
asyik bersama mimpi-mimpinya. Suasana sepi ini ku manfaatkan tuk melanjutkan
kisahku ini ditemani secangkir teh panas dan roti tawar.
Saat sedang menulis, pintu kamar ada
yang mengetuk dari luar. Ku buka pintu pelan-pelan, dan di depan muncul seorang
perempuan paruh baya dengan wajah sinis memandangiku. Egoku tertikam oleh
pandangan matanya yang seakan-akan dengan segala kekuatannya mau menyerang dan
menerkam aku yang sedang berada dalam posisi tidak siap perang. Andai perempuan
ini benar-benar menyerang, menerkam dan menerjang aku, tentu aku tak akan
menang dan tersungkur kalah di tanah.
“Kamu itu nggak ada kabarnya, udah
tiga bulan ini, ke mana saja?”, tanyanya marah.
“Saya pulang selama tiga bulan
terakhir ini”, jawabku mengalah.
Perempuan itu menarik nafas
panjang-panjang, sepertinya ia sedang mengendalikan emosinya. Apes sekali
pagiku kali ini, pikirku, belum saja genap satu hari aku di Yogya sudah dapat
masalah. Aku jadi teringat akan pesan ibu tempo hari saat aku akan meningalkan
rumah. “Jangan membuat masalah di negeri orang”, pesan beliau.
Pelan-pelan aku memulai pembicaraan
pada perempuan yang ada di hadapanku ini. Aku lihat emosinya telah stabil
setelah ia menarik nafas panjang-panjang, tapi raut wajahnya masih menyisakan
kemarahan yang tak dapat ia sembunyikan.
Sebenarnya aku merasa agak aneh
dengan keadaan ini. Setahuku, selama ini ibu kost tak pernah semarah ini
kepadaku. Soal urusan kost, aku tak pernah mengecewakannya, terlebih jika hanya
gara-gara telat membayar.
“Ada apa to bu kok pagi-pagi sudah
marah-marah?”, aku memberanikan diri bicara.
Beliau terdiam sejenak. Aku menunggu
jawaban dari pertanyaanku barusan.
“Aku lagi butuh duit rik. Nah,
kebetulan kamu udah tiga bulan ini belum membayar kost, dan nggak ada kabarnya
sama sekali”, paparnya.
“Ya bu, saya mengerti. Tapi kan
nggak harus dengan cara marah begini.!”, aku balik menyerang.
Sepertinya aku punya senjata untuk
menyerang balik ibu kost. Kemarahannya aku jadikan sebagai senjata yang tepat tuk
menyerang psikisnya, dan beliau diam saja, mungkin sadar bahwa caranya salah.
“Memangnya temanku yang menempati
kamar ini selama tiga bulan itu nggak membayar bu?”, tanyaku.
“Nah, itu masalahnya. Aku ngak tau
kalau kamu pulang, dan kamu nggak kasi kabar. Aku kaget pas ke sini kalau
ternyata kamarmu ini sudah ditempati orang lain”. imbuhnya.
Lanjutnya; “Pas aku minta dia
membayar, dia selalu bilang nanti nunggu Erik sudah balik ke sini”.
Dari penjelasan ibu kost ini, aku
jadi tahu kalau ternyata selama tiga bulan belakangan ini Fida tidak membayar
kost ini, padahal dia yang menempati. Fida telah berbohong kepadaku, sebab,
saat aku di rumah dia bilang jika kost sudah dia bayar. Nah, ketemu biang
keladi masalah ini, Fida.! Agar masalah ini tidak larut, aku memberikan uang
kepada ibu kost, tebusan tiga bulan yang lalu sekaligus bayaran untuk sembilan
bulan ke depan. Setelah aku beri uang, ibu kost pun beranjak dan mengucapkan
terimakasih. Aku juga meminta maaf.
Rendy dan Hendar sudah bangun. Segera
aku suruh mereka mandi.
Setelah kedua orang ini tampak
rapih, aku pun mandi dan setalah itu juga tidak mau kalah rapi. Kemudian aku
menelepon Fida, menanyakan mobil rental yang aku pesan untuk hari ini. Tak lama
kemudian Fida sudah berada di depan dengan mobil itu. Segera aku ajak beberapa
teman kost untuk jalan-jalan ke Candi Prambanan, Candi Borobudur, Malioboro, Parangtritis,
dan berakhir di Pantai Depok.
Di beberapa kawasan wisata itu tidak
lupa kami berphoto. Terutama Rendy dan Hendar, di mana mereka untuk pertama
kalinya datang ke Yogya. Aku berharap momentum ini akan menjadi kenangan dan
cerita manis untuk kedua orang ini, terutama Hendar yang tujuannya berlibur.
Sesampainya kami di Maliobro, aku mengantarkan Rendy
dan Hendar belanja-belanja di Mall, sedang yang lain tak tahu ke mana. Aku
hanya sekadar menemani saja, tak berniat belanja apa-apa. Satu jam kemudian,
aku kaget dengan barang belanjaan Rendy yang sangat banyak seperti tidak pernah
berbelanja selama bertahun-tahun, dan cukup menguras isi saku, tapi aku pikir
hal itu lumrah, sebab jika dibandingkan dengan barang-barang di Kalimantan, di
sini jauh lebih murah. Di Kalimantan, sepotong celana jeans harganya bisa-bisa
tiga kali lipat dibanding harga di sini.
Jalan-jalan kami hari ini berakhir di Pantai Depok.
Melepas lelah, melepas panas, dan melepas penat di tengah-tengah sengatan
matahari di langit Yogya, kami memutuskan tuk beristirahat di Depok sambil
bersantap ria menu ikan-ikan laut. Peserta jalan-jalan yang berjumlah depalan
orang ini tampak gembira. Aku turut bergembira. Setelah bersantap-ria, kami pun
pulang.
Malam ini
badanku terasa sangat lelah sekali. Di luar hujan deras. Rendy dan Hendar sejak
maghrib tadi diajak teman-teman ke luar, mungkin ngopi. Aku sengaja tak ikut
karena ingin istirahat.
Sebelum ikut kapuk berlayar ke negeri seberang, aku
membuat janji dengan Nul besok pagi bertemu. Dia tak menolak, bahkan terdengar
semangat. Begitu juga aku, bertemu dan ngobrol dengan Nul adalah kesempatan
emas yang tidak akan aku sia-siakan. Besok, pukul 10.00 WIB di sebuah tempat
wisata. Aku berkhayal, tempat wisata itu besok akan semakin tampak indah karena
kehadiran Nul. Gombal.!!! Aku tertidur dalam khayalanku sendiri.! #