Friday, 27 September 2013

Kembali ke Jogja

Tidak lama aku berada di rumah. Di Kalimantan. Hanya tiga bulan saja. Bagiku, waktu yang memakan kurang lebih 90 hari itu sudah cukup untuk bersua dengan sanak keluarga di Melawi. Tekadku kini adalah kembali ke Yogya. Masih ada cita-cita dan harapan yang tersisa di sana. Paling utama ialah keinginan-kuatku untuk melanjutkan studi ke jenjang S2, dan kedua ingin memastikan apakah jodohku jatuh di tangan Nul. Wanita yang terus aku sebut dalam butiran do’a harapku sejak beberapa bulan belakangan ini.
Mendengar keinginanku tuk kembali ke Yogya, ibu dan keluarga tak banyak komentar apa-apa, hanya memberikan sebuah nasehat agar aku selalu menjaga diri di negeri orang dan jangan membuat masalah. Nasehat yang akan terus aku ingat-ingat, yang kemudian ku jadikan sebagai bekal paling berharga untuk kepergianku kedua-kalinya ini. Bismillah.!
Kepergianku menuju Yogya kali ini membawa beban. Ya, aku pergi tidak sendirian, ada dua orang yang ingin ikut bersamaku. Yang satunya keponakanku sendiri dan satunya lagi sepupuku.
Beberapa minggu sebelumnya, mendengar aku akan kembali ke Yogya, Rendy keponakanku ini justru ingin ikut serta bersamaku.
“Aku mau pindah kuliah ke Yogya”, katanya. “di sini kuliah ndak maju-maju, ndak ada semangat aku kuliah di sini”, lanjutnya.
Karena alasannya ingin maju, maka Rendy diijinkan pindah kuliah ke Yogya bersamaku. Maklum, kualitas pendidikan di Melawi masih pasang surut, dan tentu saja kalah jauh jika dibandingkan di Jawa.
Aidil, keponakanku yang ditinggal ibunya beberapa bulan lalu sebenarnya juga ingin ikut, tapi dia tak tega meninggalkan bapaknya seorang diri di Melawi karena Aan sudah sejak dua bulan yang lalu kembali ke Jakarta untuk urusan kerja. Aan adalah kakak kandung Aidil, sedang Rendy adalah sepupu mereka. Anak kakakku, kakakku yang nomor tiga.
“Aidil ikut paman juga ndak nih, bareng-bareng Rendy?”, tanyaku padanya.
“Bapak sih ijinkan, tapi aku ndak tega ninggalkan sentua[1] sendirian di rumah ini”, jawabnya kecut.
Selain karena tidak tega meninggalkan bapaknya seorang diri di Melawi, dapat kutebak juga dari matanya, Aidil takut kalau-kalau bapaknya beristri lagi.! Sebab, satu bulan pasca ditinggal mamanya, Aan dan Aidil sepakat tuk tidak merestui jika bapaknya ingin menikah lagi, mereka tidak siap punya mama baru.
Penolakan Aan dan Aidil adalah bentuk rasa cinta dan kasih sayang mereka kepada sosok mamanya yang telah tiada. Bagi mereka, mamanya sungguh tidak tergantikaan, dan kehilangan mamanya merupakan sebuah peristiwa yang memukul telak perasaan mereka.
Aku sendiri memahami perasaan mereka. Bahkan tidak hanya mereka, aku sendiri pun merasa terpukul juga.
Akhirnya Aidil memutuskan untuk tidak jadi berangkat bersamaku ke Yogya. Dia tetap kuliah di Melawi, apapun jadinya nanti yang terpenting baginya dia ingin menjaga bapaknya.
“Ya sudah kalau gitu, Aidil di sini aja, tunggu bapaknya. Nanti kalau sudah selesai kuliah di sini, Aidil lanjutkan S2 di Yogya saja”, aku menghiburnya.
Aidil mengangguk.
Entah apa alasan Hendar juga ingin ikut serta ke Yogya aku tak tahu begitu jelas. Sebab, tadinya aku pikir dia hanya main-main dengan omongannya beberapa hari yang lalu.
“Kapan mau balik ke Yogya bro?”, tanyanya.
Bagiku, pertanyaan ini aku anggap biasa-biasa saja, dan hanya basa basi semata. Pertanyaan seperti ini juga ditanyakan orang lain kepadaku, sama seperti Hendar ini.
“Insyaallah minggu depan, gimana?”, jawabku singkat.
“Ya udah aku ikut, dalam seminggu ini aku ngumpulin duit dulu”.
Keningku berkerut pertanda tak percaya. Sebab, sejak pertama kali aku datang, Hendar memang pernah bilang bahwa dirinya ingin sekali-kali ke pulau Jawa, setidaknya satu kali dalam seumur hidup cetusnya. Dan ternyata benar, sejak awal kedatanganku di kampung halaman, dia sudah menabung uang. Uang hasil jerihpayahnya ternyata dia tabung demi keinginannya itu, sehingga saat ini dia telah bersamaku dan Rendy di perjalanan menuju Yogyakarta.
Keesokan harinya, aku, Rendy dan Hendar tiba di Pontianak. Kami istirahat selama tiga hari di ibu kota provinsi Kalimantan Barat ini untuk jalan-jalan, karena kebetulan di Pontianak ada kelurga sehingga kami memutuskan untuk menginap di sana saja.
Dari kami bertiga ini, mungkin akulah yang paling sering ke Pontianak. Rendy baru satu kali, Hendar pun juga demikian, sedangkan aku sendiri sangat sering meski hanya sekadar numpang lewat.
Jarak antara Pontianak dengan Melawi memang terbilang cukup jauh. Dengan kondisi jalan raya yang apa adanya, kendaraan harus menghabiskan waktu selama delapan jam lamanya menelusuri jalan kadang beraspal kadang tidak itu. Tidak ada kemacetan, dan itu adalah waktu yang normal.
Karena alasan jauh itulah mengapa masyarakat di kampung halamanku sangat jarang ke Pontianak. Bagi mereka, bermimpi saja sudah lebih daripada cukup. Selain jarak tempuh yang jauh, ongkos pun juga tidaklah murah, alias mahal. Justru orang-orang di kampungku malah lebih memilih ke Kalimantan Tengah ketimbang ke Pontianak, meski jarak ke Kal-Teng harus ditempuh selama sehari dengan kondisi jalan yang tidak normal. Ya, tidak normal. Maksudnya tidak ada jalan lintas provinsi yang menghubungkan antara Kal-Bar dan Kal-Teng. Entah apa motivasi orang-orang yang lebih memilih ke Kal-Teng ketimbang ke Pontianak, aku pun tidak tahu persis.
Aku menyaksikan keceriaan di wajah Rendy dan Hendar saat kami berjalan-jalan di sebuah dermaga di sungai Kapuas. “Orang kampung tulen”, pikirku. Aku lalu teringat pada diriku sendiri, yang mungkin juga sama seperti apa yang mereka berdua rasakan saat berjalan-jalan di kota. Ya, aku benar-benar ingat saat pertama kali aku menginjak pulau Jawa sepuluh tahun silam. Tepatnya di Solo. Tentu tidak perlu aku ceritakan kisahnya di sini, itu untuk kisah yang lainnya lagi. Suatu saat nanti, insyaallah.!
Selama tiga hari di Pontianak, kami habiskan waktu itu untuk jalan-jalan, sekaligus belanja oleh-oleh buat teman-teman di Yogya. Besok sabtu kami berangkat. Malamnya aku menelepon Nul, menanyakan kabar dan keberadaannya. Dalam telepon dia marah-marah karena selama di rumah aku sangat jarang menghubunginya. “Nanti, pasti akan aku jelaskan kepadanya sebab-musababnya”, pikirku.
Nul bilang kalau dirinya sudah berada di Yogya. Sudah hampir satu bulan belakangan ini, namun dia tak memberitahu aku sebelumnya karenaa aku sulit dihubungi katanya.
Keesokan harinya, aku Rendy dan Hendar sudah siap berangkat. Barang-barang bawaan sudah kami kemas, begitu pula tiket pesawat sudah berada di tangan.
Aku tak mengira untuk kali ini aku merasakan berat sekali meninggalkan Pontianak. Tidak seperti yang sudah-sudah, aku malah tidak betah berlama-lama di ibu kota Kal-Bar ini, ibu kota tanah kelahiranku sendiri. Namun kali ini, aku merasa betah dan kerasan di Ponti. Bagiku, suasana Ponti memang sudah banyak berubah kehidupannya, bisa dikatakan kota ini sudah cukup rapih tuk dipandang. Sampai-sampai aku berkhayal; “suatu saat nanti aku akan hidup dan berdomisili di kota ini”.
Kami bertiga berangkat diantar saudara ke bandara Supadio. Jadwal keberangkatan pesawat yang kami pesan pukul 15.00 WIB sore. Jam di tangan sudah menunjukkan pukul setengah tiga. Jika tidak telat, maka kami dipastikan tiba di Yogya pukul 16.30 WIB, satu setengah jam. Dan benar saja, keberangkatan pesawat ternyata ditunda satu jam.
Melihat Rendy dan Hendar yang sepertinya gugup, aku ajak mereka nongkrong di sebuah Caffe di bandara. Meski harganya selangit, untuk kali tidak mengapa ketimbang bosan menunggu selama satu jam. Setidaknya Caffe ini dapat dijadikan hiburan sembari menunggu dan mengisi waktu.
Satu jam kemudian kami berangkat.
Sebelum menaik ke pesawat, Rendy bilang; “Paman, baru kali aku naik pesawat.!”.
“Akhirnya, kesampaian juga naik pesawat. Ini seperti mimpi bro”, ujar Hendar sambil tertawa.
Dalam hatiku berbisik; “orang kampung juga bisa naik pesawat.!”.
Di dalam pesawat, Rendy dan Hendar tak henti-hentinya memandang para pramugari yang hilir mudik, ke depan ke belakang, tampaknya benar kalau kedua orang ini belum pernah melihat pramugari-pramugari kecuali di layar televisi, dan mendengar cerita dari orang-orang. Dan kali ini, mereka berdua memiliki cerita itu, yang kelak pasti akan mereka ceritakan lagi di kampung.
Aku tertidur.
Tepat pada pukul 17.30 WIB, pesawat sudah tiba dan mendarat di bandara Adisucipto Yogyakarta. Di luar bandara sudah menunggu tiga orang sahabatku untuk menjemput. Amru, Ajis, dan Ucil. Mereka sudah aku kabarkan sebelumnya bahwa aku akan tiba di Yogya petang ini bersama dua orang. Ketiga sahabatku itu masing-masing membawa sepeda motor untuk menjemput.
Aku lihat Rendy dan Hendar begitu bersemangat. Inilah mungkin yang disebut mimpi jadi kenyataan. Mungkin mereka berdua juga tidak pernah menyangka bahwa hari ini benar-benar sudah berada di kota besar. Ya, Yogyakarta merupakan salah satu kota besar di republik ini. Indonesia.!
Aku juga seakan tidak percaya, bahwa telah tiga bulan aku menghilang dari kota ini. Tapi kini aku kembali lagi, membawa dan akan membuat cerita baru namun di tempat yang sama seperti tahun-tahun sebelumnya.
Sebelum ke kost, aku mengajak Rendy, Hendar dan ketiga sahabatku mampir di warung makan. Sebelumnya, di Pontianak kami memang belum mengisi perut kecuali suguhan roti ringan di dalam pesawat.
Berkumpul dan makan bersama sahabat, lebih-lebih orang-orang terdekat memang terasa spesial. Mungkin inilah esensi hidup, di mana jika kita saling berbagi maka segala hal akan terasa indah. Jujur saja, aku mungkin termasuk salah seorang sosok manusia yang tidak suka hidup secara individualis atau memikirkan diri sendiri. Menurutku, buat apa ada orang lain jika kita tidak saling membagi dan berbagi kebahagiaan? Oleh karenanya, bagilah kebahagiaanmu dan jangan bersikap egois, sebab, setidaknya itulah wujud nyata dari kebijaksanaanmu.
Saat sedang makan, Nul menelepon. Aku katakan kepadanya bahwa aku menunggu dia di sebuah warung makan. Nul pun segera menuju ke sini dengan mengendarai sepeda motor katanya.
Sejak awal Ajis sudah tahu aku ditelepon siapa. Ia memang sedari awal sudah tahu tentang hubunganku dengan Nul. Ajis sangat mendukung saat pertama kali aku ceritakan tentang Nul kepadanya.
Hanya Ajis yang tahu, selebihnya tidak.
“Mau ke sini orangnya rik?”, tanya Ajis.
“Iya Jis, aku suruh ke sini dia dan langsung berangkat”, aku menjawab.
Pelan-pelan aku berbisik kepada Ajis; “Kita sama-sama nggak tau orangnya kayak apa Jis”.
“Haha”, Ajis tertawa.
Kami berdua tertawa terbahak. Sedang yang lain tidak peduli, mereka sedang asyik menyantap makanan.
Tak lama kemudian aku lihat seseorang wanita berkerudung merah menghentikan sekaligus memparkirkan sepeda motornya, sedang aku sudah menanti di depan.
“Ini Nul?”, tanyaku berani pada sosok wanita itu.
“Iya”, jawabnya sambil tersenyum manis.
Kami bersalaman, lalu ku ajak dia ke warung dan memesan makan. Ku suruh Nul berkenalan dengan Rendy, Hendar dan ketiga sahabatku. Nul duduk persis di samping kananku.
Aku bersikap biasa kepada Nul dan seakan-akan memang sudah pernah bertemu sebelum ini, padahal ini adalah pertemuan yang pertama kali karena aku hanya mengenal namanya dan jepretan photonya di handpone.
Ajis yang sudah tahu dengan cerita kami, tampak diam saja sambil menyembunyikan tawa. Mungkin dia tahu kalau aku tampak gugup meski aku berusaha tuk biasa-biasa saja.
Dalam hati aku berbisik; “Subhanallah, ternyata perempuan bernama Nul ini cantik Tuhan.!!”. Aku merasa jadi bahan tertawaan para malaikat yang seakan memaksa diri untuk segera bersujud mensyukuri ciptaanNya. Ya, kecantikan wajah Nul merupakan ciptaan Tuhan yang tiada mungkin dapat aku sangkal, apalagi mengingkarinya.
Aku terkesima, takjub dan tak henti-hentinya melafadzkan kalimat pujian. Subhanallah....subhanallah...subhanallah...dan...subb haa nallaah.!
Seusai makan aku meminta ketiga sahabatku mengantarkan kami ke kost. Rendy dan Hendar tampak lelah dan mengantuk. Mungkin mereka berdua tidak tidur selama di pesawat tadi karena sibuk melihat para pramugari, pikirku.
Sesampainya di kost, Amru, Ajis dan Ucil pamit pulang, dan aku sodorkan tiga stel kaos bordiran khas Pontianak. Itu saja oleh-oleh dariku untuk mereka. Ketiga sahabatku itu pun berlalu dan mengucapkan terimakasih, begitu pula aku. Sementara Nul ikut ke kost. Aku suruh Rendy dan Hendar sholat dan setelah itu segera istirahat. Sementara aku masih berbincang-bincang dengan Nul, dan tentu saja banyak bahan yang menjadi obrolan kami karena sama-sama baru pertama kali berjumpa.  Sebelumnya kami hanya kenal dan mengobrol lewat handphone. Tidak ada rasa canggung obrolan di antara kami berdua, Nul termasuk pribadi yang cool dan komunikatif.
Selain cantik, usia Nul terbilang masih muda di bawah aku. Dia adalah sosok wanita yang cerdas dan ramah. Kepribadiannya membuat aku kian merasa terkesima, tebakanku selama ini benar. Jujur, aku semakin simpatik dengan Nul. Mungkin juga telah jatuh cinta. Tidak ada perubahan perasaanku padanya semenjak kami berkenalan lewat handphone, bahkan perasaan itu kian menjadi-jadi.
Aku seakan sedang dilema, berada di antara dua pilihan sebagai seorang pria sejati. Pertama, apakah aku akan menjadi pria yang menghargai perempuan yang berarti aku sedang menatap  masa depan bersamanya? atau kedua, apakah aku akan menjadi seorang pria yang mencintai perempuan muda dariku yang berarti aku sedang menata masa depan baru bersamanya?
Ah, aku dilema. Tak pernah aku merasakan perasaan seaneh begini. Aku melamun, mungkin juga sudah berkhayal.
“Hei, kenapa bengong?”, tanyanya.
Aku mengernyit, juga kaget. Aku terbangun dari lamunan dan khayalanku.
“Nggak. Nggak apa-apa kok Nul. Hanya saja aku tak menyangka akhirnya bisa bertatapan langsung dengan kamu. Tadinya aku kira ini hal yang mustahil terjadi”.
“Heh, nggak ada yang mustahil di dunia ini”, ujarnya mengajari.
“Pasti ada dong yang mustahil”, aku membantah.
Nul tampak heran dengan jawabanku. Lalu dia bertanya penasaran; “Ada? Apa emang?, dia seperti sangat ingin tahu.
“Kemustahilan itu sendiri.!!”, aku tertawa.
“Jadi, menurut kamu mustahil itu ada?”, tanyanya pasrah.
“Iya, ada. Itu tadi”.
“Ya sudah kalau gitu, aku pulang ke Palu lagi aja besok.!”, tukas Nul sewot.
Aku tertawa. Nul memalingkan wajahnya. Ia tampak merajuk manja dengan jawabanku. Ia merasa diremehkan dan menyerah tanpa perlawanan.
“Eeh, jangan. Aku hanya bercanda nduk”, aku membujuk.
Secepat kilat Nul tersenyum, dia kini yang merasa menang. Sedang aku terpaksa mengalah agar Nul tidak merajuk dan merasa diremehkan.
Tak lama berselang, Nul pamit pulang karena hari sudah semakin malam. Sepertinya Nul juga tahu kalau aku juga sudah mulai mengantuk, karena sejak tadi menguap.
Pertemuan pertama-kalinya kami berdua ini pun berakhir tepat pukul 20.00 WIB. Kesan pertama kali pertemuan ini sepertinya sudah lebih daripada cukup tuk katakan bahwa Nul adalah sosok perempuan yang selama ini aku cari untuk aku jadikan sebagai pendamping hidupku. Namun aku tidak mengutarakan hal itu secara langsung di pertemuan pertama ini, khawatir malah dia salah paham. Maklum, menurut keyakinan sebagian orang bahwa cinta pada pandangan pertama itu tidak ada, yang ada hanya kepalsuan belaka. Tentu saja aku tidak mau dikatakan bahwa perasaanku ini adalah sebuah kepalsuan. Tidak lain dan tidak bukan, perasaan ini adalah murni sebuah keusngguhan semata.
Kesimpulan inilah yang menjadi pengantar tidur malam pertamaku di Yogya tahun ini. Ya, tahun 2013.! Selamat malam.! #


[1] Beliau.
Disqus Comments