Tidak lama aku berada di rumah. Di Kalimantan. Hanya
tiga bulan saja. Bagiku, waktu yang memakan kurang lebih 90 hari itu sudah
cukup untuk bersua dengan sanak keluarga di Melawi. Tekadku kini adalah kembali
ke Yogya. Masih ada cita-cita dan harapan yang tersisa di sana. Paling utama
ialah keinginan-kuatku untuk melanjutkan studi ke jenjang S2, dan kedua ingin
memastikan apakah jodohku jatuh di tangan Nul. Wanita yang terus aku sebut
dalam butiran do’a harapku sejak beberapa bulan belakangan ini.
Mendengar keinginanku tuk kembali ke Yogya, ibu dan
keluarga tak banyak komentar apa-apa, hanya memberikan sebuah nasehat agar aku
selalu menjaga diri di negeri orang dan jangan membuat masalah. Nasehat yang
akan terus aku ingat-ingat, yang kemudian ku jadikan sebagai bekal paling
berharga untuk kepergianku kedua-kalinya ini. Bismillah.!
Kepergianku menuju Yogya kali ini membawa beban. Ya,
aku pergi tidak sendirian, ada dua orang yang ingin ikut bersamaku. Yang
satunya keponakanku sendiri dan satunya lagi sepupuku.
Beberapa minggu sebelumnya, mendengar aku akan kembali
ke Yogya, Rendy keponakanku ini justru ingin ikut serta bersamaku.
“Aku mau pindah kuliah ke Yogya”, katanya. “di sini
kuliah ndak maju-maju, ndak ada semangat aku kuliah di sini”, lanjutnya.
Karena alasannya ingin maju, maka Rendy diijinkan
pindah kuliah ke Yogya bersamaku. Maklum, kualitas pendidikan di Melawi masih
pasang surut, dan tentu saja kalah jauh jika dibandingkan di Jawa.
Aidil, keponakanku yang ditinggal ibunya beberapa
bulan lalu sebenarnya juga ingin ikut, tapi dia tak tega meninggalkan bapaknya
seorang diri di Melawi karena Aan sudah sejak dua bulan yang lalu kembali ke
Jakarta untuk urusan kerja. Aan adalah kakak kandung Aidil, sedang Rendy adalah
sepupu mereka. Anak kakakku, kakakku yang nomor tiga.
“Aidil ikut paman juga ndak nih, bareng-bareng
Rendy?”, tanyaku padanya.
“Bapak sih ijinkan, tapi aku ndak tega ninggalkan sentua[1] sendirian di
rumah ini”, jawabnya kecut.
Selain karena tidak tega meninggalkan bapaknya seorang
diri di Melawi, dapat kutebak juga dari matanya, Aidil takut kalau-kalau
bapaknya beristri lagi.! Sebab, satu bulan pasca ditinggal mamanya, Aan dan
Aidil sepakat tuk tidak merestui jika bapaknya ingin menikah lagi, mereka tidak
siap punya mama baru.
Penolakan Aan dan Aidil adalah bentuk rasa cinta dan
kasih sayang mereka kepada sosok mamanya yang telah tiada. Bagi mereka, mamanya
sungguh tidak tergantikaan, dan kehilangan mamanya merupakan sebuah peristiwa
yang memukul telak perasaan mereka.
Aku sendiri memahami perasaan mereka. Bahkan tidak hanya
mereka, aku sendiri pun merasa terpukul juga.
Akhirnya Aidil memutuskan untuk tidak jadi berangkat
bersamaku ke Yogya. Dia tetap kuliah di Melawi, apapun jadinya nanti yang
terpenting baginya dia ingin menjaga bapaknya.
“Ya sudah kalau gitu, Aidil di sini aja, tunggu
bapaknya. Nanti kalau sudah selesai kuliah di sini, Aidil lanjutkan S2 di Yogya
saja”, aku menghiburnya.
Aidil mengangguk.
Entah apa alasan Hendar juga ingin ikut serta ke Yogya
aku tak tahu begitu jelas. Sebab, tadinya aku pikir dia hanya main-main dengan
omongannya beberapa hari yang lalu.
“Kapan mau balik ke Yogya bro?”, tanyanya.
Bagiku, pertanyaan ini aku anggap biasa-biasa saja,
dan hanya basa basi semata. Pertanyaan seperti ini juga ditanyakan orang lain
kepadaku, sama seperti Hendar ini.
“Insyaallah minggu depan, gimana?”, jawabku singkat.
“Ya udah aku ikut, dalam seminggu ini aku ngumpulin
duit dulu”.
Keningku berkerut pertanda tak percaya. Sebab, sejak
pertama kali aku datang, Hendar memang pernah bilang bahwa dirinya ingin
sekali-kali ke pulau Jawa, setidaknya satu kali dalam seumur hidup cetusnya.
Dan ternyata benar, sejak awal kedatanganku di kampung halaman, dia sudah
menabung uang. Uang hasil jerihpayahnya ternyata dia tabung demi keinginannya
itu, sehingga saat ini dia telah bersamaku dan Rendy di perjalanan menuju
Yogyakarta.
Keesokan harinya, aku, Rendy dan Hendar tiba di
Pontianak. Kami istirahat selama tiga hari di ibu kota provinsi Kalimantan
Barat ini untuk jalan-jalan, karena kebetulan di Pontianak ada kelurga sehingga
kami memutuskan untuk menginap di sana saja.
Dari kami bertiga ini, mungkin akulah yang paling
sering ke Pontianak. Rendy baru satu kali, Hendar pun juga demikian, sedangkan
aku sendiri sangat sering meski hanya sekadar numpang lewat.
Jarak antara Pontianak dengan Melawi memang terbilang
cukup jauh. Dengan kondisi jalan raya yang apa adanya, kendaraan harus
menghabiskan waktu selama delapan jam lamanya menelusuri jalan kadang beraspal
kadang tidak itu. Tidak ada kemacetan, dan itu adalah waktu yang normal.
Karena alasan jauh itulah mengapa masyarakat di
kampung halamanku sangat jarang ke Pontianak. Bagi mereka, bermimpi saja sudah
lebih daripada cukup. Selain jarak tempuh yang jauh, ongkos pun juga tidaklah
murah, alias mahal. Justru orang-orang di kampungku malah lebih memilih ke
Kalimantan Tengah ketimbang ke Pontianak, meski jarak ke Kal-Teng harus
ditempuh selama sehari dengan kondisi jalan yang tidak normal. Ya, tidak
normal. Maksudnya tidak ada jalan lintas provinsi yang menghubungkan antara
Kal-Bar dan Kal-Teng. Entah apa motivasi orang-orang yang lebih memilih ke
Kal-Teng ketimbang ke Pontianak, aku pun tidak tahu persis.
Aku menyaksikan keceriaan di wajah Rendy dan Hendar
saat kami berjalan-jalan di sebuah dermaga di sungai Kapuas. “Orang kampung
tulen”, pikirku. Aku lalu teringat pada diriku sendiri, yang mungkin juga sama
seperti apa yang mereka berdua rasakan saat berjalan-jalan di kota. Ya, aku
benar-benar ingat saat pertama kali aku menginjak pulau Jawa sepuluh tahun
silam. Tepatnya di Solo. Tentu tidak perlu aku ceritakan kisahnya di sini, itu
untuk kisah yang lainnya lagi. Suatu saat nanti, insyaallah.!
Selama tiga hari di Pontianak, kami habiskan waktu itu
untuk jalan-jalan, sekaligus belanja oleh-oleh buat teman-teman di Yogya. Besok
sabtu kami berangkat. Malamnya aku menelepon Nul, menanyakan kabar dan keberadaannya.
Dalam telepon dia marah-marah karena selama di rumah aku sangat jarang
menghubunginya. “Nanti, pasti akan aku jelaskan kepadanya sebab-musababnya”,
pikirku.
Nul bilang kalau dirinya sudah berada di Yogya. Sudah
hampir satu bulan belakangan ini, namun dia tak memberitahu aku sebelumnya karenaa
aku sulit dihubungi katanya.
Keesokan harinya, aku Rendy dan Hendar sudah siap
berangkat. Barang-barang bawaan sudah kami kemas, begitu pula tiket pesawat
sudah berada di tangan.
Aku tak mengira untuk kali ini aku merasakan berat
sekali meninggalkan Pontianak. Tidak seperti yang sudah-sudah, aku malah tidak
betah berlama-lama di ibu kota Kal-Bar ini, ibu kota tanah kelahiranku sendiri.
Namun kali ini, aku merasa betah dan kerasan di Ponti. Bagiku, suasana Ponti
memang sudah banyak berubah kehidupannya, bisa dikatakan kota ini sudah cukup
rapih tuk dipandang. Sampai-sampai aku berkhayal; “suatu saat nanti aku akan
hidup dan berdomisili di kota ini”.
Kami bertiga berangkat diantar saudara ke bandara
Supadio. Jadwal keberangkatan pesawat yang kami pesan pukul 15.00 WIB sore. Jam
di tangan sudah menunjukkan pukul setengah tiga. Jika tidak telat, maka kami
dipastikan tiba di Yogya pukul 16.30 WIB, satu setengah jam. Dan benar saja, keberangkatan
pesawat ternyata ditunda satu jam.
Melihat Rendy dan Hendar yang sepertinya gugup, aku
ajak mereka nongkrong di sebuah Caffe di bandara. Meski harganya selangit,
untuk kali tidak mengapa ketimbang bosan menunggu selama satu jam. Setidaknya
Caffe ini dapat dijadikan hiburan sembari menunggu dan mengisi waktu.
Satu jam kemudian kami berangkat.
Sebelum menaik ke pesawat, Rendy bilang; “Paman, baru
kali aku naik pesawat.!”.
“Akhirnya, kesampaian juga naik pesawat. Ini seperti
mimpi bro”, ujar Hendar sambil tertawa.
Dalam hatiku berbisik; “orang kampung juga bisa naik
pesawat.!”.
Di dalam pesawat, Rendy dan Hendar tak henti-hentinya
memandang para pramugari yang hilir mudik, ke depan ke belakang, tampaknya
benar kalau kedua orang ini belum pernah melihat pramugari-pramugari kecuali di
layar televisi, dan mendengar cerita dari orang-orang. Dan kali ini, mereka
berdua memiliki cerita itu, yang kelak pasti akan mereka ceritakan lagi di
kampung.
Aku tertidur.
Tepat pada pukul 17.30 WIB, pesawat sudah tiba dan
mendarat di bandara Adisucipto Yogyakarta. Di luar bandara sudah menunggu tiga
orang sahabatku untuk menjemput. Amru, Ajis, dan Ucil. Mereka sudah aku
kabarkan sebelumnya bahwa aku akan tiba di Yogya petang ini bersama dua orang.
Ketiga sahabatku itu masing-masing membawa sepeda motor untuk menjemput.
Aku lihat Rendy dan Hendar begitu bersemangat. Inilah
mungkin yang disebut mimpi jadi kenyataan. Mungkin mereka berdua juga tidak
pernah menyangka bahwa hari ini benar-benar sudah berada di kota besar. Ya,
Yogyakarta merupakan salah satu kota besar di republik ini. Indonesia.!
Aku juga seakan tidak percaya, bahwa telah tiga bulan
aku menghilang dari kota ini. Tapi kini aku kembali lagi, membawa dan akan
membuat cerita baru namun di tempat yang sama seperti tahun-tahun sebelumnya.
Sebelum ke kost, aku mengajak Rendy, Hendar dan ketiga
sahabatku mampir di warung makan. Sebelumnya, di Pontianak kami memang belum
mengisi perut kecuali suguhan roti ringan di dalam pesawat.
Berkumpul dan makan bersama sahabat, lebih-lebih orang-orang
terdekat memang terasa spesial. Mungkin inilah esensi hidup, di mana jika kita
saling berbagi maka segala hal akan terasa indah. Jujur saja, aku mungkin
termasuk salah seorang sosok manusia yang tidak suka hidup secara individualis
atau memikirkan diri sendiri. Menurutku, buat apa ada orang lain jika kita
tidak saling membagi dan berbagi kebahagiaan? Oleh karenanya, bagilah
kebahagiaanmu dan jangan bersikap egois, sebab, setidaknya itulah wujud nyata dari
kebijaksanaanmu.
Saat sedang makan, Nul menelepon. Aku katakan
kepadanya bahwa aku menunggu dia di sebuah warung makan. Nul pun segera menuju
ke sini dengan mengendarai sepeda motor katanya.
Sejak awal Ajis sudah tahu aku ditelepon siapa. Ia
memang sedari awal sudah tahu tentang hubunganku dengan Nul. Ajis sangat
mendukung saat pertama kali aku ceritakan tentang Nul kepadanya.
Hanya Ajis yang tahu, selebihnya tidak.
“Mau ke sini orangnya rik?”, tanya Ajis.
“Iya Jis, aku suruh ke sini dia dan langsung
berangkat”, aku menjawab.
Pelan-pelan aku berbisik kepada Ajis; “Kita sama-sama
nggak tau orangnya kayak apa Jis”.
“Haha”, Ajis tertawa.
Kami berdua tertawa terbahak. Sedang yang lain tidak
peduli, mereka sedang asyik menyantap makanan.
Tak lama kemudian aku lihat seseorang wanita
berkerudung merah menghentikan sekaligus memparkirkan sepeda motornya, sedang
aku sudah menanti di depan.
“Ini Nul?”, tanyaku berani pada sosok wanita itu.
“Iya”, jawabnya sambil tersenyum manis.
Kami bersalaman, lalu ku ajak dia ke warung dan
memesan makan. Ku suruh Nul berkenalan dengan Rendy, Hendar dan ketiga
sahabatku. Nul duduk persis di samping kananku.
Aku bersikap biasa kepada Nul dan seakan-akan memang
sudah pernah bertemu sebelum ini, padahal ini adalah pertemuan yang pertama
kali karena aku hanya mengenal namanya dan jepretan photonya di handpone.
Ajis yang sudah tahu dengan cerita kami, tampak diam saja
sambil menyembunyikan tawa. Mungkin dia tahu kalau aku tampak gugup meski aku
berusaha tuk biasa-biasa saja.
Dalam hati aku berbisik; “Subhanallah, ternyata
perempuan bernama Nul ini cantik Tuhan.!!”. Aku merasa jadi bahan tertawaan
para malaikat yang seakan memaksa diri untuk segera bersujud mensyukuri ciptaanNya.
Ya, kecantikan wajah Nul merupakan ciptaan Tuhan yang tiada mungkin dapat aku
sangkal, apalagi mengingkarinya.
Aku terkesima, takjub dan tak henti-hentinya
melafadzkan kalimat pujian.
Subhanallah....subhanallah...subhanallah...dan...subb haa nallaah.!
Seusai makan aku meminta ketiga sahabatku mengantarkan
kami ke kost. Rendy dan Hendar tampak lelah dan mengantuk. Mungkin mereka
berdua tidak tidur selama di pesawat tadi karena sibuk melihat para pramugari,
pikirku.
Sesampainya di kost, Amru, Ajis dan Ucil pamit pulang,
dan aku sodorkan tiga stel kaos bordiran khas Pontianak. Itu saja oleh-oleh
dariku untuk mereka. Ketiga sahabatku itu pun berlalu dan mengucapkan
terimakasih, begitu pula aku. Sementara Nul ikut ke kost. Aku suruh Rendy dan
Hendar sholat dan setelah itu segera istirahat. Sementara aku masih
berbincang-bincang dengan Nul, dan tentu saja banyak bahan yang menjadi obrolan
kami karena sama-sama baru pertama kali berjumpa. Sebelumnya kami hanya kenal dan mengobrol
lewat handphone. Tidak ada rasa canggung obrolan di antara kami berdua, Nul
termasuk pribadi yang cool dan
komunikatif.
Selain cantik, usia Nul terbilang masih muda di bawah
aku. Dia adalah sosok wanita yang cerdas dan ramah. Kepribadiannya membuat aku
kian merasa terkesima, tebakanku selama ini benar. Jujur, aku semakin simpatik
dengan Nul. Mungkin juga telah jatuh cinta. Tidak ada perubahan perasaanku
padanya semenjak kami berkenalan lewat handphone, bahkan perasaan itu kian
menjadi-jadi.
Aku seakan sedang dilema, berada di antara dua pilihan
sebagai seorang pria sejati. Pertama, apakah aku akan menjadi pria yang
menghargai perempuan yang berarti aku sedang menatap masa depan bersamanya? atau kedua, apakah aku
akan menjadi seorang pria yang mencintai perempuan muda dariku yang berarti aku
sedang menata masa depan baru bersamanya?
Ah, aku dilema. Tak pernah aku merasakan perasaan
seaneh begini. Aku melamun, mungkin juga sudah berkhayal.
“Hei, kenapa bengong?”, tanyanya.
Aku mengernyit, juga kaget. Aku terbangun dari lamunan
dan khayalanku.
“Nggak. Nggak apa-apa kok Nul. Hanya saja aku tak
menyangka akhirnya bisa bertatapan langsung dengan kamu. Tadinya aku kira ini
hal yang mustahil terjadi”.
“Heh, nggak ada yang mustahil di dunia ini”, ujarnya
mengajari.
“Pasti ada dong yang mustahil”, aku membantah.
Nul tampak heran dengan jawabanku. Lalu dia bertanya
penasaran; “Ada? Apa emang?, dia seperti sangat ingin tahu.
“Kemustahilan itu sendiri.!!”, aku tertawa.
“Jadi, menurut kamu mustahil itu ada?”, tanyanya
pasrah.
“Iya, ada. Itu tadi”.
“Ya sudah kalau gitu, aku pulang ke Palu lagi aja
besok.!”, tukas Nul sewot.
Aku tertawa. Nul memalingkan wajahnya. Ia tampak
merajuk manja dengan jawabanku. Ia merasa diremehkan dan menyerah tanpa
perlawanan.
“Eeh, jangan. Aku hanya bercanda nduk”, aku membujuk.
Secepat kilat Nul tersenyum, dia kini yang merasa
menang. Sedang aku terpaksa mengalah agar Nul tidak merajuk dan merasa
diremehkan.
Tak lama berselang, Nul pamit pulang karena hari sudah
semakin malam. Sepertinya Nul juga tahu kalau aku juga sudah mulai mengantuk,
karena sejak tadi menguap.
Pertemuan pertama-kalinya kami berdua ini pun berakhir
tepat pukul 20.00 WIB. Kesan pertama kali pertemuan ini sepertinya sudah lebih
daripada cukup tuk katakan bahwa Nul adalah sosok perempuan yang selama ini aku
cari untuk aku jadikan sebagai pendamping hidupku. Namun aku tidak mengutarakan
hal itu secara langsung di pertemuan pertama ini, khawatir malah dia salah
paham. Maklum, menurut keyakinan sebagian orang bahwa cinta pada pandangan
pertama itu tidak ada, yang ada hanya kepalsuan belaka. Tentu saja aku tidak
mau dikatakan bahwa perasaanku ini adalah sebuah kepalsuan. Tidak lain dan
tidak bukan, perasaan ini adalah murni sebuah keusngguhan semata.
Kesimpulan inilah yang menjadi pengantar tidur malam
pertamaku di Yogya tahun ini. Ya, tahun 2013.! Selamat malam.! #