Pagi-pagi sekali aku sudah bangun. Kewajiban pertama
adalah sholat subuh, sedang kewajiban kedua yang aku wajibkan pada diriku
sendiri adalah olahraga. Banyak orang bilang, olahraga adalah kunci tubuh yang
sehat, dan menurutku pendapat orang banyak itu cukup untuk dibenarkan, meski
tubuhku bisa dikatakan tidak sesehat kebanyakan orang, kurus.! Kurus identik
dengan tidak sehat, terutama dari segi fisik. Tetapi aku tidak peduli dengan
anggapan itu, yang penting olahraga yang aku wajibkan ini aku niatkan agar
badan sehat. Alasan ini bagiku sudah cukup.
Selepas olahraga dan mandi, aku lihat Rendy dan Hendar
masih bergulat dengan mimpi-mimpi mereka. Tak tahu kapan mimpi-mimpi mereka itu
akan selesai hingga mereka bangun, mungkin mereka tak ingin segera menghentikan
mimpi-mimpinya, mumpung tidur di kota, bisa saja kelak akan jadi cerita di
kampung bahwa mereka pernah bermimpi indah ketika tidur di kota, pikirku. Aku
pun tak berniat membangunkan mereka, karena aku tak tahu kapan semalam mereka
pulang, mungkin tengah malam atau mungkin subuh-subuh tadi, yang pasti saat aku
bangun pukul 05.30 WIB, mereka sudah tertidur pulas.
Aku sudah rapi.
Sebentar lagi akan pergi. Jam di dinding sudah
menunjukkan pukul 09.30 WIB. Janjiku bertemu dengan Nul tepat pukul 10.00 WIB,
dan aku tidak ingin terlambat. Dalam momentum apapun, sejak kecil aku diajarkan
untuk disiplin.
Pesan almarhum bapak 20 tahun lalu kepadaku, saat aku masih
SD masih terus aku ingat.
“Jangan biasakan mengingkari janji dan disiplinlah
terhadap waktu”, nasehat beliau.
Aku berpikir, untuk apa Tuhan sampai-sampai bersumpah
demi waktu jika waktu yang diberikan kepada kita malah disia-siakan tanpa
dihargai. Bagiku, peringatan Tuhan tentang waktu sangat keras, karena waktu
yang berlalu tidak mungkin akan terulang kembali. Orang-orang bilang, waktu
terus berjalan maju, takkan pernah berjalan mundur, begitu pula hidup, tak ada
pilihan kecuali maju., karena mundur adalah sebuah kerugian. Jadi, bagi yang
hidup, maka teruslah hidup. Ciptakan perubahan. Itu takdir. Hari esok harus
lebih baik daripada hari ini. Jangan kebalikannya, karena itu kemunafikan.!
Nul, kau adalah bagian dari perubahan hidupku.
Penampilanku kali ini cukup rapi.
Celana jean hitam, kaos warna merah. Dua kombinasi
warna yang sangat aku gemari. Dan kututupi dengan jaket parasitku. Ini
merupakan jaket kebesaranku karena sudah lama sekali aku membelinya. Ya, empat
tahun silam.
Merah adalah warna favoritku. Entah mengapa, aku
selalu percaya diri jka mengenakan warna merah di tubuhku. Bahkan saking
sukanya aku dengan warna ini, hampir semua pakaian hingga peralatanku di kamar
berwarna merah.
Warna merah adalah warna api. Kata orang, warna yang
mencolok ini adalah simbol keberanian. Sebagian lain mengatakan merah adalah simbol
kebengisan. Namun bagiku, terutama saat ini, adalah simbol keberanianku
menghadapi sebuah masalah yang nanti akan aku jelaskan kepada Nul.
Aku beranjak.
Dengan mengendarai sepeda motor, aku akan menjemput
Nul di kost-nya. Cukup jauh untuk ukuran sebuah kendaraan bermotor, karena
harus menempuh perjalanan selama satu jam kurang tiga puluh menit, alias
setengah jam.
Sesampainya aku di tempat tujuan, Nul sudah berdiri di
depan kost-nya. Dia tampak rapi, dan tentu dengan busana yang ia kenakan,
kecantikannya sulit untuk disangkal. Subhanallah.!
Aku memuji Tuhan untuk kecantikan Nul. Aku berpikir, “benarlah pengakuan Ibnu
‘Araby, bahwa penampakan sempurna dari keindahan Tuhan terdapat pada sosok
wanita yang cantik”.
Aku tersentak kaget. Nul menepuk pundakku, seakan dia
tahu aku sedang melamun.
“Ayo berangkat”, ajaknya.
Aku terdiam tanpa kata sambil mengangguk. Dan tanpa
disuruh, Nul dengan sendirinya sudah menaiki sepeda motor di belakangku. Kami
pergi. Tujuan kami ke pantai Depok. Aku pikir tempat itu cukup indah untuk
bersantai ria sambil menyantap menu-menu laut.
Aku dan Nul duduk menghadap ke arah laut, menyaksikan
gelombang yang saling menerjang, dan menghempas pantai. Sejenak kami berdua
terdiam, seperti tak ada yang ingin mulai membuka pembicaraan. Ah, nanti saja,
nunggu sudah selesai makan, pikirku. Aku sadar, dalam hal ini seharusnya memang
aku yang memulai.
Kami selesai makan.
Seperti biasa, bagi seorang pria, menghisap rokok
adalah kebiasaan yang dilakukan tiap kali sehabis makan, sehingga kebiasaan itu
menjadi sulit tuk ditinggalkan. Ya, merokok adalah sebuah kebiasaan.
Aku lihat Nul memalingkan wajah pertanda tak suka.
Takut masalah jadi kian runyam, spontan ku urungkan niatku menghisap rokok,
lalu ku simpan di tempat yang sekiranya Nul tidak melihatnya lagi. Nul tak
perduli, dia cuek, tak mau tahu, diam dan tak berbicara sepatah kata pun. Aku
bingung dan tak tahu harus berbuat apa.
Situasi ini menjadi aneh bagiku. Ya aneh sekali. Ini
tak seperti biasanya, terutama sejak sekembalinya aku ke Yogya.
Tepat pada hari kedatanganku di Yogya, Nul terlihat
sangat gembira. Lebih-lebih lagi aku. Tetapi, hari ini kegembiraan itu seakan
terasa sirna seketika. Ada apa? Apa yang telah terjadi?. Aku masih meraba-raba,
mengulang-ulang, mengingat-ingat kembali.
Di sela-sela keterdiaman aku dan Nul ini, aku temukan
jawabannya. Nul, ternyata sangat kesal denganku. Ya aku tau titik kesalahannya
di mana. Tapi, apakah kesalahan itu fatal hingga membuat Nul sebegitu kesal?
Diam-diam aku menatap Nul yang sedang melamun dengan
wajah menghadap ke arah laut. Aku tak tau apa yang sedang dipikirkannya, apa
yang dikhayalkannya, dan apa yang diinginkannya saat ini.......
Aku mendehem.
Mencoba tuk memulai dan membuka obrolan yang entah
dari mana, aku sendiri pun tak tau.
Ehem...hmmmm.!
Nul tak bergeming. Dia semakin larut dalam lamunannya.
Dagunya disangga dengan kedua tangannya, dia tetap menatap ke arah laut.
Aku mengalihkan dudukku. Lalu duduk persis di
sampingnya, melakukan hal yang sama seperti ia lakukan.
“Ngapain ngikut-ngikut aku gini?”, tanyanya sinis.
Aku diam saja, dan tak berniat sama sekali menjawab
pertanyannya.
Nul makin cemberut.
Karuan saja, dalam hati aku menahan rasa geli dan tawa
melihat wajahnya.
Begini rupanya kalau perempaun sedang kesal, kecewa
dan marah, pikirku. Dia tampak seperti ingin dimanja, disayang-sayang, dirayu atau
mungkin dikasih kata-kata gombal.
Aku lantas mengumpulan semua kata-kata untuk merayu
Nul. Aku berpikir cukup keras, sebab aku tak bisa merayu. Aku bukan seorang
pujangga cinta.
“Kamu tau hal yang membuat aku sulit tuk berjauhan
dari kamu meski hanya sedetik?”, aku mulai menggombal.
Nul hanya menggelengkan kepala singkat. Tampak sangat
tidak ikhlas, bahkan tak antusias.
“Lautan adalah pertanda bahwa dunia ini sangat luas.
Dengan melihat laut, maka kita mungkin akan berkesimpulan bahwa dunia ini luas
tiada berbatas”. “Namun begitu, gelombang, pantai dan pasir adalah tiga hal
yang berbeda”, lanjutku.
“Apa hubungannya?”, Nul menyeletuk.
Aku tidak buru-buru menjawab pertanyaan itu. Sebab,
yang terpenting ialah Nul sudah mulai mau bicara, setelah satu jam yang lalu
hanya terdiam saja.
Aku tersenyum.
“Di rumahku, aku sulit tuk menyaksikan laut dan
gelombang”. Aku bercerita.
“Di sana, hanya ada sungai-sungai kecil, tapi jauh
lebih jernih dari air laut yang semakin terkontaminasi oleh limbah-limbah
pabrik”, lanjutku lagi.
“Iya, aku tau. Aku kan tanya, apa hubungannya dengan
pertanyaanmu yang di awal tadi?’, Nul mempertegas.
Sedikit demi sedikit aku mulai menjelaskan. Bahwa, di
kalimantan aku biasanya tinggal di dua daerah, yang satu di perkotaan
(kabupaten) dan kedua di kampung jauh. Di kota aku tinggal di rumah abangku
yang pertama, sedangkan di kampung aku tinggal bersama ibu, karena hampir
seluruh keluargaku di sana.
Nul terdiam sembari menyimak.
“Nah, satu bulan sejak aku sampai di rumah, aku
tinggal bersama abangku. Ibu yang suruh, tuk menemani abangku yang baru saja
ditinggal istrinya. Di sana ada Rendy dan Aidil juga”, akuku.
“Terus?”, Nul seperti sangat ingin tau.
“Setelah sebulan berlalu, aku mengajak Rendy pulang ke
kampung, menyusul ibuku yang sudah terlebih dahulu pulang”.
Aku pun menceritakan kondisi kampung halamanku kepada
Nul. Melana adalah sebuah daerah perbatasan antara Kal-Bar dengan Kal-Teng.
Melana itulah kampung kelahiranku.
“Teknologi modern belum masuk ke sana”, ujarku. “Dan
itulah salah satu alasan mengapa komunikasiku dengan kamu jadi terputus selama
kurang lebih dua bulan itu”, aku mempertegas.
“Masa begitu?”, tanya Nul.
“Jangankan internet, signal telekomunkasi saja
sulitnya minta ampun”, akuku.
“Jadi, jika kesimpulanmu bahwa aku sengaja
menghindarimu karena nggak kasih kabar selama dua bulan itu, kamu salah. Justru
dalam kondisi seperti itu, rinduku ke kamu semakin menggebu, bahkan terasa
sangat luas dan tak terbatas, persis seperti gelombang dan luasnya lautan itu”,
aku sambil menunjuk ke arah laut.
“Gombal.!”, Nul mencubit tanganku.
Aku merintih.
Apapun alasannya, yang namanya cubitan tetap saja
sakit.
Nul tertawa menang.
Sambil tertawa dia berkata, “Rasain, enak kan?”. “Rindu
kok nggak ngehubungi dua bulan”, ujarnya ketus.
“Ya maaf nduk, kan alasannya bukan dibuat-buat”, aku
membela.
Nul bangun dari duduknya lalu berdiri seraya bilang
“lain kali jangan diulangi ah, sebel banget aku”, ajaknya damai.
Sambil menghampirinya dekat-dekat, aku berkata lirih
“iya nggak akan diulangi lagi kok, janji”, aku mengacungkan dua jari kananku. “Apa sih sebenarnya yang membuat kamu begitu
marah?”, tanyaku.
Dipalingkan wajahnya kepadaku sambil menatap tajam,
“marah sih enggak, hanya saja aku merasa kecewa, aku kira kamu sudah melupakan
aku. Atau kamu sudah menikah dengan gadis di sana”.
Haha. Aku tertawa terbahak-bahak. Pengakuan Nul terasa
geli di kupingku. Nul diam saja.
“Mana mungkin aku lupa sama kamu nduk, bukankah aku
pernah berjanji akan menemui kamu? Nah, itu salah satu yang sedang aku
perjuangkan sekarang ini, kembali ke Yogya dan menemui kamu”, cetusku.
Nul mengangguk.
“Kalau harus menikah, satu-satunya yang aku pikir
ialah menikah dengan kamu”, lanjutku.
“Jiah.! Gombal lagi.!”, katanya.
“Kamu nggak mau?”, aku menimpali.
“Nggak mau apa?”.
“Menikah dengan aku”, cetusku cepat.
Seketika itu Nul tersipu malu. Ia diam. Mati kutu. Dan
tak ku lihat lagi sorot matanya ingin memberikan pertanyaan dan pernyataan
lagi. Kata banyak orang, diam adalah jawaban ‘Ya’ dari seorang wanita, tapi aku
tidak mau terlalu cepat memberikan kesimpulan. Biarlah diam itu sebagai sebuah
jawaban tersembunyi sampai ia mengeluarkan jawabannya lewat kata dan bahasa
verbal.
Biarlah. Biar senja, siluet dan mega-mega itu yang
menjadi saksi. Aku yakin mereka pasti mendengar semua obrolan kami yang telah
mengundang mereka mengiasi sore ini. Biarlah, biar siluet dan mega-mega itu
yang menyimpan jawabannya dalam gelap yang sebentar lagi akan turun menyelimuti
bumi.
Tanpa terasa, adzan maghrib sudah memanggil.
Seusai sholat, kami berdua segera pulang. #