Friday, 27 September 2013

Sebuah Penjelasan dan Pengakuan


Pagi-pagi sekali aku sudah bangun. Kewajiban pertama adalah sholat subuh, sedang kewajiban kedua yang aku wajibkan pada diriku sendiri adalah olahraga. Banyak orang bilang, olahraga adalah kunci tubuh yang sehat, dan menurutku pendapat orang banyak itu cukup untuk dibenarkan, meski tubuhku bisa dikatakan tidak sesehat kebanyakan orang, kurus.! Kurus identik dengan tidak sehat, terutama dari segi fisik. Tetapi aku tidak peduli dengan anggapan itu, yang penting olahraga yang aku wajibkan ini aku niatkan agar badan sehat. Alasan ini bagiku sudah cukup.
Selepas olahraga dan mandi, aku lihat Rendy dan Hendar masih bergulat dengan mimpi-mimpi mereka. Tak tahu kapan mimpi-mimpi mereka itu akan selesai hingga mereka bangun, mungkin mereka tak ingin segera menghentikan mimpi-mimpinya, mumpung tidur di kota, bisa saja kelak akan jadi cerita di kampung bahwa mereka pernah bermimpi indah ketika tidur di kota, pikirku. Aku pun tak berniat membangunkan mereka, karena aku tak tahu kapan semalam mereka pulang, mungkin tengah malam atau mungkin subuh-subuh tadi, yang pasti saat aku bangun pukul 05.30 WIB, mereka sudah tertidur pulas.
Aku sudah rapi.
Sebentar lagi akan pergi. Jam di dinding sudah menunjukkan pukul 09.30 WIB. Janjiku bertemu dengan Nul tepat pukul 10.00 WIB, dan aku tidak ingin terlambat. Dalam momentum apapun, sejak kecil aku diajarkan untuk disiplin.
Pesan almarhum bapak 20 tahun lalu kepadaku, saat aku masih SD masih terus aku ingat.
“Jangan biasakan mengingkari janji dan disiplinlah terhadap waktu”, nasehat beliau.
Aku berpikir, untuk apa Tuhan sampai-sampai bersumpah demi waktu jika waktu yang diberikan kepada kita malah disia-siakan tanpa dihargai. Bagiku, peringatan Tuhan tentang waktu sangat keras, karena waktu yang berlalu tidak mungkin akan terulang kembali. Orang-orang bilang, waktu terus berjalan maju, takkan pernah berjalan mundur, begitu pula hidup, tak ada pilihan kecuali maju., karena mundur adalah sebuah kerugian. Jadi, bagi yang hidup, maka teruslah hidup. Ciptakan perubahan. Itu takdir. Hari esok harus lebih baik daripada hari ini. Jangan kebalikannya, karena itu kemunafikan.! Nul, kau adalah bagian dari perubahan hidupku.
Penampilanku kali ini cukup rapi.
Celana jean hitam, kaos warna merah. Dua kombinasi warna yang sangat aku gemari. Dan kututupi dengan jaket parasitku. Ini merupakan jaket kebesaranku karena sudah lama sekali aku membelinya. Ya, empat tahun silam.
Merah adalah warna favoritku. Entah mengapa, aku selalu percaya diri jka mengenakan warna merah di tubuhku. Bahkan saking sukanya aku dengan warna ini, hampir semua pakaian hingga peralatanku di kamar berwarna merah.
Warna merah adalah warna api. Kata orang, warna yang mencolok ini adalah simbol keberanian. Sebagian lain mengatakan merah adalah simbol kebengisan. Namun bagiku, terutama saat ini, adalah simbol keberanianku menghadapi sebuah masalah yang nanti akan aku jelaskan kepada Nul.
Aku beranjak.
Dengan mengendarai sepeda motor, aku akan menjemput Nul di kost-nya. Cukup jauh untuk ukuran sebuah kendaraan bermotor, karena harus menempuh perjalanan selama satu jam kurang tiga puluh menit, alias setengah jam.
Sesampainya aku di tempat tujuan, Nul sudah berdiri di depan kost-nya. Dia tampak rapi, dan tentu dengan busana yang ia kenakan, kecantikannya sulit untuk disangkal. Subhanallah.! Aku memuji Tuhan untuk kecantikan Nul. Aku berpikir, “benarlah pengakuan Ibnu ‘Araby, bahwa penampakan sempurna dari keindahan Tuhan terdapat pada sosok wanita yang cantik”.
Aku tersentak kaget. Nul menepuk pundakku, seakan dia tahu aku sedang melamun.
“Ayo berangkat”, ajaknya.
Aku terdiam tanpa kata sambil mengangguk. Dan tanpa disuruh, Nul dengan sendirinya sudah menaiki sepeda motor di belakangku. Kami pergi. Tujuan kami ke pantai Depok. Aku pikir tempat itu cukup indah untuk bersantai ria sambil menyantap menu-menu laut.
Aku dan Nul duduk menghadap ke arah laut, menyaksikan gelombang yang saling menerjang, dan menghempas pantai. Sejenak kami berdua terdiam, seperti tak ada yang ingin mulai membuka pembicaraan. Ah, nanti saja, nunggu sudah selesai makan, pikirku. Aku sadar, dalam hal ini seharusnya memang aku yang memulai.
Kami selesai makan.
Seperti biasa, bagi seorang pria, menghisap rokok adalah kebiasaan yang dilakukan tiap kali sehabis makan, sehingga kebiasaan itu menjadi sulit tuk ditinggalkan. Ya, merokok adalah sebuah kebiasaan.
Aku lihat Nul memalingkan wajah pertanda tak suka. Takut masalah jadi kian runyam, spontan ku urungkan niatku menghisap rokok, lalu ku simpan di tempat yang sekiranya Nul tidak melihatnya lagi. Nul tak perduli, dia cuek, tak mau tahu, diam dan tak berbicara sepatah kata pun. Aku bingung dan tak tahu harus berbuat apa.
Situasi ini menjadi aneh bagiku. Ya aneh sekali. Ini tak seperti biasanya, terutama sejak sekembalinya aku ke Yogya.
Tepat pada hari kedatanganku di Yogya, Nul terlihat sangat gembira. Lebih-lebih lagi aku. Tetapi, hari ini kegembiraan itu seakan terasa sirna seketika. Ada apa? Apa yang telah terjadi?. Aku masih meraba-raba, mengulang-ulang, mengingat-ingat kembali.
Di sela-sela keterdiaman aku dan Nul ini, aku temukan jawabannya. Nul, ternyata sangat kesal denganku. Ya aku tau titik kesalahannya di mana. Tapi, apakah kesalahan itu fatal hingga membuat Nul sebegitu kesal?
Diam-diam aku menatap Nul yang sedang melamun dengan wajah menghadap ke arah laut. Aku tak tau apa yang sedang dipikirkannya, apa yang dikhayalkannya, dan apa yang diinginkannya saat ini.......
Aku mendehem.
Mencoba tuk memulai dan membuka obrolan yang entah dari mana, aku sendiri pun tak tau.
Ehem...hmmmm.!
Nul tak bergeming. Dia semakin larut dalam lamunannya. Dagunya disangga dengan kedua tangannya, dia tetap menatap ke arah laut.
Aku mengalihkan dudukku. Lalu duduk persis di sampingnya, melakukan hal yang sama seperti ia lakukan.
“Ngapain ngikut-ngikut aku gini?”, tanyanya sinis.
Aku diam saja, dan tak berniat sama sekali menjawab pertanyannya.
Nul makin cemberut.
Karuan saja, dalam hati aku menahan rasa geli dan tawa melihat wajahnya.
Begini rupanya kalau perempaun sedang kesal, kecewa dan marah, pikirku. Dia tampak seperti ingin dimanja, disayang-sayang, dirayu atau mungkin dikasih kata-kata gombal.
Aku lantas mengumpulan semua kata-kata untuk merayu Nul. Aku berpikir cukup keras, sebab aku tak bisa merayu. Aku bukan seorang pujangga cinta.
“Kamu tau hal yang membuat aku sulit tuk berjauhan dari kamu meski hanya sedetik?”, aku mulai menggombal.
Nul hanya menggelengkan kepala singkat. Tampak sangat tidak ikhlas, bahkan tak antusias.
“Lautan adalah pertanda bahwa dunia ini sangat luas. Dengan melihat laut, maka kita mungkin akan berkesimpulan bahwa dunia ini luas tiada berbatas”. “Namun begitu, gelombang, pantai dan pasir adalah tiga hal yang berbeda”, lanjutku.
“Apa hubungannya?”, Nul menyeletuk.
Aku tidak buru-buru menjawab pertanyaan itu. Sebab, yang terpenting ialah Nul sudah mulai mau bicara, setelah satu jam yang lalu hanya terdiam saja.
Aku tersenyum.
“Di rumahku, aku sulit tuk menyaksikan laut dan gelombang”. Aku bercerita.
“Di sana, hanya ada sungai-sungai kecil, tapi jauh lebih jernih dari air laut yang semakin terkontaminasi oleh limbah-limbah pabrik”, lanjutku lagi.
“Iya, aku tau. Aku kan tanya, apa hubungannya dengan pertanyaanmu yang di awal tadi?’, Nul mempertegas.
Sedikit demi sedikit aku mulai menjelaskan. Bahwa, di kalimantan aku biasanya tinggal di dua daerah, yang satu di perkotaan (kabupaten) dan kedua di kampung jauh. Di kota aku tinggal di rumah abangku yang pertama, sedangkan di kampung aku tinggal bersama ibu, karena hampir seluruh keluargaku di sana.
Nul terdiam sembari menyimak.
“Nah, satu bulan sejak aku sampai di rumah, aku tinggal bersama abangku. Ibu yang suruh, tuk menemani abangku yang baru saja ditinggal istrinya. Di sana ada Rendy dan Aidil juga”, akuku.
“Terus?”, Nul seperti sangat ingin tau.
“Setelah sebulan berlalu, aku mengajak Rendy pulang ke kampung, menyusul ibuku yang sudah terlebih dahulu pulang”.
Aku pun menceritakan kondisi kampung halamanku kepada Nul. Melana adalah sebuah daerah perbatasan antara Kal-Bar dengan Kal-Teng. Melana itulah kampung kelahiranku.
“Teknologi modern belum masuk ke sana”, ujarku. “Dan itulah salah satu alasan mengapa komunikasiku dengan kamu jadi terputus selama kurang lebih dua bulan itu”, aku mempertegas.
“Masa begitu?”, tanya Nul.
“Jangankan internet, signal telekomunkasi saja sulitnya minta ampun”, akuku.
“Jadi, jika kesimpulanmu bahwa aku sengaja menghindarimu karena nggak kasih kabar selama dua bulan itu, kamu salah. Justru dalam kondisi seperti itu, rinduku ke kamu semakin menggebu, bahkan terasa sangat luas dan tak terbatas, persis seperti gelombang dan luasnya lautan itu”, aku sambil menunjuk ke arah laut.
“Gombal.!”, Nul mencubit tanganku.
Aku merintih.
Apapun alasannya, yang namanya cubitan tetap saja sakit.
Nul tertawa menang.
Sambil tertawa dia berkata, “Rasain, enak kan?”. “Rindu kok nggak ngehubungi dua bulan”, ujarnya ketus.
“Ya maaf nduk, kan alasannya bukan dibuat-buat”, aku membela.
Nul bangun dari duduknya lalu berdiri seraya bilang “lain kali jangan diulangi ah, sebel banget aku”, ajaknya damai.
Sambil menghampirinya dekat-dekat, aku berkata lirih “iya nggak akan diulangi lagi kok, janji”, aku mengacungkan dua jari kananku.  “Apa sih sebenarnya yang membuat kamu begitu marah?”, tanyaku.
Dipalingkan wajahnya kepadaku sambil menatap tajam, “marah sih enggak, hanya saja aku merasa kecewa, aku kira kamu sudah melupakan aku. Atau kamu sudah menikah dengan gadis di sana”.
Haha. Aku tertawa terbahak-bahak. Pengakuan Nul terasa geli di kupingku. Nul diam saja.
“Mana mungkin aku lupa sama kamu nduk, bukankah aku pernah berjanji akan menemui kamu? Nah, itu salah satu yang sedang aku perjuangkan sekarang ini, kembali ke Yogya dan menemui kamu”, cetusku.
Nul mengangguk.
“Kalau harus menikah, satu-satunya yang aku pikir ialah menikah dengan kamu”, lanjutku.
“Jiah.! Gombal lagi.!”, katanya.
“Kamu nggak mau?”, aku menimpali.
“Nggak mau apa?”.
“Menikah dengan aku”, cetusku cepat.
Seketika itu Nul tersipu malu. Ia diam. Mati kutu. Dan tak ku lihat lagi sorot matanya ingin memberikan pertanyaan dan pernyataan lagi. Kata banyak orang, diam adalah jawaban ‘Ya’ dari seorang wanita, tapi aku tidak mau terlalu cepat memberikan kesimpulan. Biarlah diam itu sebagai sebuah jawaban tersembunyi sampai ia mengeluarkan jawabannya lewat kata dan bahasa verbal.
Biarlah. Biar senja, siluet dan mega-mega itu yang menjadi saksi. Aku yakin mereka pasti mendengar semua obrolan kami yang telah mengundang mereka mengiasi sore ini. Biarlah, biar siluet dan mega-mega itu yang menyimpan jawabannya dalam gelap yang sebentar lagi akan turun menyelimuti bumi.
Tanpa terasa, adzan maghrib sudah memanggil.
Seusai sholat, kami berdua segera pulang. #
Disqus Comments