Hidup terus berjalan. Itu takdir. Takdir yang tak dapat dilawan oleh semua
makhluk hidup. Selama dunia masih ada, nafas kehidupan masih akan terus ada,
dan di situlah setiap orang juga akan menuliskan sejarah-sejarahnya serta
menentukan nasibnya.
Begitu pula perasaan manusia terhadap manusia lainnya, akan terus hidup
seiring berjalannya interaksi-interaksi, dan hanya kematianlah yang berhak
membunuh perasaan itu.
Prinsipnya, hanya ada dua kekekalan yang dalam hidup, yaitu kematian dan
perubahan. Perubahan-perubahan akan terus terjadi, dan itu merupakan hukum
alam, hukum kehidupan, karena perubahan tersebut akan membuat seseorang menjadi
apa dan siapa.
Aku merasa perubahan baru terjadi dalam diriku. Dimulai saat aku merasakan
gejolak jiwa yang menggebu-gebu mengenai cinta dan kasih sayang terhadap
sesosok perempuan yang telah berhasil membangkitkan kembali rasa yang nyaris
mati di penghujung tahun lalu. Perasaan seseorang memang sensitif, dan mungkin
karena sensitif itulah meengapa Tuhan berulangkali mengatakan agar manusia
menjaga hatinya, karena jika sedikit saja bercak kotor mengotorinya, maka sulit
untuk membersihkannya kembali.
Bagiku, bercak kotor yang mengotori hati dan perasaanku tempo hari ibarat
najis yang harus segera disucikan, dan dibasuh dengan air suci pula. Ya, air
suci bernama cinta, cinta yang baru, kasih dan sayang yang baru.
Hari ini, seperti biasanya aku bersama teman-teman punya jadwal nongkrong bareng di warung kopi.
Bagi mahasiswa Jogja, warung kopi adalah tempat yang tepat untuk menghabiskan
waktu, karena banyak hal yang dapat dikerjakan di sana. Bahkan, konon
ceritanya, warung kopi zaman dulu, terutama di kawasan Asia Tengah, mampu
menghasilkan berbagai gagasan dan ide-ide cerah, karena warung kopi tak hanya
dijadikan sebatas nongkrong belaka, melainkan sebagai ruang berbagi pengetahuan
dan pengalaman, sehingga memunculkan ide-ide cerah. Di kota Gudheg sendiri,
warung kopi kerap dijadikan sebagai ruang diskusi, rapat organisasi, peguyuban,
dan berbagai perkumpulan lainnya. Warung kopi adalah ruang non-formal yang tak
terikat serta bebas, sehingga orang merasa nyaman dalam menyampaikan
pendapat-pendapatnya.
“Gimana skripsimu Jay?”, tanyaku santai pada Ajay yang sedang serius
berhadapan dengan laptopnya.
“Beres, udah di-acc ini, besok tinggal daftar munaqosah”, jawabnya penuh
semangat.
“Alhamdulilah, kalau begitu, aku ikut senang, berarti kan usaha kita berhasil”,
tukasku empatik.
“Dan kamu Jis, piye, kayaknya galau begitu.!”, tanyaku pada Ajis yang tampak bingung.
“Aahhh mbuh rik, ini malah dicoret-coret lagi skripsiku, pusing aku”,
celoteh Ajis.
“Hahahahaha,,,kalau nggak dicoret mana mungkin kamu tahu kesalahan
skripsimu Jis,,Jis”, jawabku penuh canda. “Ya, udah ayo kita perbaiki lagi,
jangan murung kayak gitulah bro, santai aja, oke”, aku coba menyemangati Ajis,
begitupun Ajay ikut menyemangati.
Ajay dan Ajis adalah dua sosok mahasiswa tingkat akhir yang sedang bekerja
keras menyelesaikan tugas akademiknya, skripsi sejak sebulan lalu yang kami
kerjakan secara bersama-sama. Sementara aku sendiri ditakdirkan lulus tiga
bulan sebelumnya, dan bagiku, membantu mereka mengerjakan skripsi merupakan
suatu kewajiban, karena mereka juga adalah teman seperjuangan.
“Ehhh rik, gimana mbokdemu?”, celetuk Ajis secara tiba-tiba. Aku memang
pernah cerita dengan Ajis mengenai perempuan yang aku panggil mbokde. Meski
tidak banyak mengerti tentang aku dan mbokde, Ajis sepertinya ingin tahu.
“Hhhheemm, sudah,,sudah, kerjain aja itu dulu skripsimu”, jawabku mengelak,
sambil memberikan laptop kepada Ajis.
Ajay dan Ajis pun tenggelam dalam kesibukannya mengerjakan skripsi mereka.
Sementara aku asyik sendiri dengan handphone ber-merk blackberry, BBM-an dengan
mbokde. Sesekali Ajay dan Ajis mencolek aku yang mendengar dan melihat aku
tertawa sendiri dalam keasyikanku, dan sesekali pula mereka bertanya kepadaku,
meminta pertimbangan dariku tentang skripsinya, karena aku memang bertanggung
jawab terhadap isi skripsi yang mereka kerjakan itu.#