Indah sekali rasanya pagi hari ini, setelah aku
terkapar dua hari berturut-turut dalam pesakitan. Aku bangun kembali dalam
keadaan bugar, meski masih menyisakan pegal, tapi rasa-rasanya otakku sudah
mulai waras.
Aku memulai tulisan ini berteman syair-syair lirih
nyanyian seorang penyanyi terkemuka, Anggun. Ya, aku menyukai lagu-lagunya tiap
kali aku menulis ide-ide.
Baiklah, aku mulai saja. Jadi begini. Orang punya
ribuan, atau bahkan berjuta alasan mengapa ia mencinta, mengucapkan kata cinta,
memberikan cinta dan mendamba sebuah cinta. Mungkin, aku berbeda. Ya, berbeda,
karena bagiku, cinta memang tak punya alasan yang cukup kuat untuk dilogika,
sebab perasaan dan pikiran adalah dua ruang yang sulit disatukan, meski
keduanya harus bersinergi. Dan cinta, aku sudutkan ia dalam ruang rasa. Jiwa.
Ini adalah sebuah muqaddimah singkat dari obrolan dua
orang dalam sebuah telepon genggam saat itu. Sulit sekali akal sehatku menilai
tentang arti kesungguhan yang hanya terdengar oleh suara-suara, tanpa aku
melihat dalam sosok nyata nan sempurna, tetapi cinta, terkadang memang tak
harus terjadi pada dua insan yang bertatap muka.
Panggil saja dia dengan sebutan mbokde. Ya, itu sudah
lebih dari cukup. Sosok perempuan yang aku kenal sejak beberapa hari
belakangan, dia jauh nun di sana, aku pun tak pernah bersua untuk berkenalan
seperti umumnya orang-orang. Berjabat tangan dan sebut nama. Aneh, tapi ini
nyata, dan aku tulis demikian adanya.
“Mbokde”, panggilku lirih lewat telepon genggam. Hp
orang banyak menyebutnya.
“Iya pakde”, dia menimpal balik panggilan itu. Kami
memang sudah akrab dengan panggilan tak biasa itu, karena aku masih terbilang
muda untuk menerima panggilan seperti itu, dan begitu pula dia.
Sepertinya, telah terjadi kesepakatan tak tertulis
atas panggilan yang tidak biasanya itu, tapi aku merasa akrab dan kini justru
menjadi terbiasa. Aku nyaman dengan panggilan itu karena ada nuansa keakraban
yang tersirat di dalamnya. Agama memang menganjurkan untuk memanggil seseorang
dengan panggilan yang baik, dan itu tertulis dalam surah Al Hujurat. Sebuah
surah yang terdapat di dalam kitab Suci Umat Islam. Al Qur’an. Pesan dalam
surah tersebut, seingatku, ialah agar kita jangan memanggil sesama saudara
dengan panggilan yang tidak menyenangkan. Sebaiknya memanggil seseorang sesuai
dengan namanya, atau kalau seseorang mempunyai kunyah.[1]
maka panggilan akrab itulah yang menjadi sebutan saban harinya. Mungkin kunyah
kita, kau dengan sebutan “Al Mbokdei”, sebaliknya aku “Al-Pakdei”.!! Aku
menyukai panggilan itu, dan aku yakin tidak melawan Al Qur’an.!
Waktu obrolan kami saat itu pada malam hari. Masih
segar benar ingatanku, karena kita sama-sama masih dalam keadaan sadar dan
belum mengantuk.
“Mbokde, maaf yah, aku ini sebenarnya punya perasaan
tersendiri dengan sosokmu itu”, aku ku dengan jujur tanpa basa-basi. Perasaan
ini mulai menyeruak ke permukaan setelah beberapa hari aku mengenal sosok
mbokde, dan kami hanya bisa bersapa lewat media komunikasi saja.
“Perasaan gimana to pakde?”, sahutnya datar.
“Aku mengagumimu, bahkan mungkin lebih dari itu”,
kalimat tak kongkrit ini pikirku. Tapi biarlah, pikirku, biar tak kehabisan
bahan obrolan.!
Di sela-sela obrolan, aku justru menyelanginya dengan
sedikit bercurhat tentang masa lalu, dari beberapa peristiwa yang telah
berhasil menyentak pikiran, perasaan dan mentalitasku, namun berhasil aku
hadapi semuanya. Dan begitu pun ia, meski aku tidak meminta, dengan sendirinya
dia pun terpancing untuk melakukan hal yang sama, yakni curhat. Saling curhat
ini rasanya membuat obrolan merambat ke mana-mana, dan itu justru membuat
fresh, meski terkadang beberapa hal sayup-sayup tak terdengar dengan jelas.
Maaf. Kita terkadang bercerita terlalu panjang, sehingga ada beberapa poin
cerita yang nyaris terabaikan. Memang, mendengarkan curhat lewat handphone,
agak terbatas, karena suara, diakui atau tidak terputus-putus. Secara teori,
mendengarkan curhat, keluhan, cerita, atau apapunlah yang sejenisnya, lebih
efektif jika dilakukan dengan saling berhadapan serta bertatap muka.
Singkatnya, menjadi pendengar yang baik, setidaknya bagiku, bukanlah perkara
yang mudah.
“Apa alasan kamu punya perasaan seperti itu?”,
pertanyaan ini tiba-tiba terdengar nyaring dari kejauhan.
Rupa-rupanya mbokde disela-sela curhat tadi, juga
mencermati pengakuanku itu. Sepertinya dia paham maksud perkataanku yang tak
kongkrit tersebut. Sejenak aku tertawa, agar tak terlihat grogi, dan obrolan
ini tetap rileks.
“Hhhmm, aku suka sama kamu bokde. Yaa, nggak ada
alasannya kenapa aku suka dan punya rasa sayang itu terhadap kamu”, kalimat ini
terkesan formal gumamku.
Agak serius aku bicara lebih lanjut, “bagiku, cinta
dan sayang itu tidak butuh logika, karena ia datangnya dari perasaan yang
memiliki fungsi merasa”. Ahhk, aku seperti sedang presentasi sebuah karya
ilmiah.
“Yaa ada lah, perasaan itu pasti ada alasannya, coba
apa alasannya kamu bilang gitu tadi”, mbokde kembali memberikan penegasan.
Aku juga tak mau kalah dan memberikan penegasan
bernada alibi, “aku kan sudah bilang, perasaan itu tak butuh logika, karena
perasaan yang sedang aku rasakan sekarang tak bermotif, dan biasanya, perasaan
yang diungkapkan jika dibarengi dengan alasan-alasan, berarti perasaan itu
tidak murni serta agak jauh dari kemurnian sebuah rasa”, ungkapku panjang
lebar.
Mbokde terlihat agak terdiam, mungkin dia sedang
bingung, pikirku. Begitu pun aku, tak kalah bingungnya, tapi kebingunganku
justru muncul dari ketakutan-ketakutan, karena aku tak terbiasa mengungkapkan
sebuah perasaan kepada seorang wanita.
Oke. Coba kita berteori sejenak. Menurut seorang pakar
psikoanalisis kelahiran Freiberg, Moravia, Republik Cekoslowakia, Sigmund
Freud, pada diri manusia itu terdapat tigas aspek, yaitu aspek biologis (ID),
aspek psikologis (EGO), dan aspek sosiologis (SUPEREGO). Menurutnya, perasaan
terdapat pada aspek psikologis di dalam diri manusia, yang terlihat pada sikap
empati yang diberikan kepada orang lain. Selain itu, aspek psikologis, menurut
Freud, berada pada alam antara sadar dan tidak sadar, karena tugas ego adalah
penyalur antara ID dan Superego. Singaktanya begitu, dan intinya, ketiga aspek
itulah yang membentuk kepribadian seseorang, dan kepribadian adalah aktualisasi
proses kehidupan dalam diri indiviidu yang bebas, terintegrasi secara sosial,
dan menyadari keberadaan jiwanya. Kalimat terakhir ini merupakan kesimpulanku
dari teori Sigmund Freud yang terkenal itu. Lalu, apa hubungannya kepribadian
dengan perasaan, pikirku liar. Jawabannya, pikirkan saja sendiri, karena aku
lagi nggak mau berteori, karena kalau banyak-banyak berteori nanti malah
membuat aku menuhankan rasionalisme, hentakku dalam hati.
Aku tercengang dengan teori Sigmund Freud, dan
menganggapnya sebuah teori yang tidak utuh dan tidak lengkap dalam memandang
manusia. Bagiku, teori lengkap tentang pandangan terhadap manusia hanya
terdapat pada sosok Imam Al Ghazali. Beliau, menurutku, lebih komprehensif dan
substantif dalam memandang manusia. Bayangkan saja, beliau mengatakan bahwa
pada diri manusia terdapat empat aspek, qalb, ruh, nafs, dan ‘aql. Raja dari
semua aspek itu adalah nafs, kedua qalb, selanjutnya ruh, dan terakir ‘aql. Dan
yang merasa (perasaan), menurut Al Ghazali terdapat pada ruh. Ruh adalah jiwa.
Perlu kita ingat, ruh menurut Imam ini mempunyai arti benda dan arti daya.
Aaakkh, aku berterori lagi, dan lagi-lagi berteori. Bodoh sekali aku, pekikku.
Cukup..cukup..!!
“Jadi begini mbokde”, lanjutku, “rasa cinta dan sayang
itu adalah sesuatu yang immaterial dan irrasional. Ia tak butuh dijelaskan
secara logika atau dirasionalisasikan, karena rasionalisasi-rasionalisasi
hanyalah kumpulan alibi-alibi, dan alasan-alasan yang memiliki motif”.
Selanjutnya, “ketika kita merasakan kenyamanan terhadap sosok seseorang, entah
karena faktor apa, maka ia hanyalah menjadi sebuah perasaan yang dirasa, sebuah
rasa yang memberikan ketenangan di dalam hati dan di jiwa”. Jadi, ia hanya
merasa, dan merasa, selanjutnya merasa, bahkan terus merasa, kemudian menjadi
rasa”. Oleh karena itulah mengapa perasaan itu tidak dapat dipaksa, dan jika
tidak ada rasa, maka ia sulit dipaksa untuk menjadi rasa.
“Terus?”,tanya mbokde lagi.
“Yaa nggak ada terusnya, ya udah begitu aja”, jawabku
mentok. Dan pikirku, jangan-jangan aku ini sedang gila.!!!!
Hahahaha. Kami tenggelam dalam tawa. Dan tak berhenti
sampai di situ, dalam menulis ini pun aku masih ingin tertawa terbahak-bahak.
Upss.!!
“Yaa udah, ke Palu gih pakde”. Sahut mbokde datar.
Sepertinya ia tak begitu simpatik dengan ceramahku barusan.
“Iya deh, nanti aku ke Palu, kita berdiskusi, sambil
aku jelasin”, sahutku riang. Pede sekali aku.!
Singkat sekali pernyataan itu gumamku dalam
kebingungan. Dan kamipun lantas menyudahi obrolan lewat barang kecil yang
canggih produk kemajuan zaman itu. HP. Dan mengakhiri dengan salam, dan dijawab
pula dengan salam.
Sambil berlari aku menghampiri teman-teman di mana
tempat aku nongkrong bersama malam itu sambil berteriak, “Paluuuu,,, Paluuu,,
Paluuu..!!”
Ajis, seorang teman nongkrong lantas terperanjat,
begitu pula teman-teman lainnya, sebut saja nama mereka, Ajay, Tukil, Yogo,
Ibnu, dan Malkan, dalam keadaan bingung mereka lantas berujar, “kamu cari palu
rik, buat apa?”.
“Hahahaha, nggak, nggak, maksudku aku pengen ke Palu
bro”, jawabku agak sumringah.
“Oooalaaah, kirain ada apa”, sahut mereka lega.
“Emang ada apa di Palu rik?”, tanya Ajis penasaran.
“Ada deh, mau tau aja.!”, jawabku sembari tertawa.
“Kayak orang gila kamu rik”, sahut Tukil.
“Jiiah, bukannya dari dulu aku emang udah gila kil?”,
candaku.
Hahahaahahaha. Kami tenggelam dalam tawa dan sembari
melanjutkan obrolan santai di warung kopi.
[1] Kunyah adalah istilah dalam
Islam yang dipakai untuk memanggil seseorang dengan sebutan tertentu, sebutan
yang baik, bahkan dijadikan sebagai sebuah identitas. Kunyah ini pada masa Nabi
Muhammad saw dan di kalangan khulafaurrasyidin sangat lumrah, seperti Al
Hurairah, As-Shidqi, Al Misri, Al Hudaibi, Al Iraqi, Al Dimsyqi, dan lain-lain.