Hari ini aku merasa gelisah sekali. Apa-apa serba salah, dibawa tidur
tetapi mata tak mengantuk, mau keluar hujan deras sekali. Aku tidak memutuskan
untuk melakukan apa-apa dalam kegelisahan itu, kecuali berusaha untuk mencari
sumber dari kegelisahan yang aku rasakan sejak terbangun dari tidur tadi pagi.
Aku pikir, setiap orang pasti pernah mengalami hal yang serupa, persis seperti yang aku rasakan ini, dan
kegelisahan tentu datang bukan tanpa sebab. Sederhananya, ada asap pasti ada
api, ada air pasti ada sumber air. Dan begitupun dengan kegelisahan yang aku
rasakan ini, tak luput dari sebab-sebab yang pasti ada sumbernya. Lalu, aku
ingat-ingat kembali dalam pulasnya tidurku semalam, aku bermimpi apa, dan aku
ingat, barusan tadi malam, dalam tidur aku bermimpi ibu menelpon aku dan
menyuruh aku untuk segera pulang ke kampung halaman. Kalimantan, tanah
kelahiranku 27 tahun silam. Ya, aku pun sudah rindu.
Maklum, sejak setahun yang lalu, hingga aku mengangkat toga, bahkan sampai
detik ini aku memang belum melihat wajah beliau, dan sangat jarang menelpon. Di
situ, aku lantas berkesimpulan, bahwa beliau sangat merindukan aku yang jauh
ini, dan begitu pula aku merasakan hal yang sama.
Tiba-tiba handphone-ku berdering, sebuah panggilan datang dari rumah,
kampung. Abangku. Dan aku segera mengangkat telepon itu.
“Rik, sudah sampai mana?”, tanya abang dalam suara telepon.
Aduh. Sebuah pertanyaan yang memang aku hindari sejak kemarin aku dikirim
biaya untuk pulang, gumamku dalam hati.
“Belum berangkat bang, aku belum menyelesaikan urusanku ini”, jawabku penuh
alasan.
“Oohh, itu lho umak udah nunggu kamu dari kemarin, katanya mau pulang
secepatnya”, tukas abang.
“Iya bang, segera setelah pekerjaanku selesai aku akan pulang, dan bilang
sama umak”, kataku.
“Ya udah, nanti kalau udah berangkat pulang, kasihkan kabar”, perintah
abang santai.
“Oke...oke bang, nanti aku telepon kalau aku sudah di jalan”, jawabku
lirih.
Alhamdulillah. Aku merasa lega setelah menjawab telepon dari abang, meski
sebenarnya aku belum memastikan kapan aku akan beranjak untuk pulang dari tanah
rantauan ini, karena masih berat kaki ini untuk aku langkahkah pulang, pun aku
mau apa di rumah selain bertemu ibu dan segenap keluarga?, pikirku bodoh.
Sejujurnya aku memang belum ada rencana untuk pulang ke kampung halaman
karena bagiku, hidup di tanah rantauan merupakan pilihan yang memang aku harus
tempuh. Lagi pula aku ini kan anak terakhir dari enam bersaudara, dan selain
aku, saudara-saudaraku sudah berkeluarga semua, jadi, aku berusaha untuk
menentukan takdir hidupku sendiri, dan aku pikir, takdir hidupku memang di
tanah rantauan, entah di mana, akupun tak tahu, tapi yang pasti saat ini kakiku
masih menginjak tanah jawa, tanah rantauan yang pertama kali aku injak sejak
meninggalkan kampung halaman 12 tahun silam, Solo saksinya, dan berlanjut di
Jogja.
Jogjakarta 23 November 2012, hujan. Deras sekali hujan kali ini, aku
putuskan untuk tak ke mana-mana hingga hujan berhenti, sebab, tepat pukul 24.30
WIB, aku harus keluar ke warnet untuk membuka e-mail sembari menulis artikel
pesanan seseorang yang memberikan aku sebuah pekerjaan sejak bulan lalu.
Pekerjaan sudah rampung, dan
sepertinya aku akan segera pulang ke Kalimantan. Selain itu, aku pun sudah
mulai merasa kesepian hidup sehari-hari di Jogja, mungkin sudah bosan, merasa
tak lagi punya teman, dan sering merasa kesepian. Kejenuhan seperti ini
terkadang memberontak dalam hatiku, terlebih saat musim hujan, sering
bersendirian di tengah-tengah keramaian orang, dan tak dapat ditampik, aku juga
mulai malas berurusan dengan ibu kost. Kondisi-kondisi ini membuat aku mulai
putus asa, dan jauh dari rasa semangat.
Sesaat kemudian handphoneku
berdering yang jelas pertanda ada panggilan. Ken, aku lihat nama itu yang
muncul dalam deringan telepon. Seakan-akan dia mengerti jika seharian ini aku
mendekam di kamar kost tanpa sedikitpun melihat matahari di luar karena memang
hujan sehingga aku merasa malas membuka pintu ataupun jendela kamar.
“Halloo, lagi di mana rik?”,
suara dalam telepon itu berbunyi.
“Aku di kost aja Ken, piye?”,
sahut dan tanyaku balik.
“Ngopi yuuk, sepi ini lagi malas
di kost”, ajaknya.
Tanpa sungkan dan alang kepalang
aku pun lantas menjawab “Oke Ken, siiap, kalau urusan ngopi, apalagi saat cuaca dingin
begini cocok banget”. Hahaha, kami tertawa riang dalam telepon.
Kami pun lantas berangkat untuk
nongkrong di warung kopi sejak sore hari. Rasa tak terima muncul ketika di
warung kopi aku dan Ken hanya duduk berdua karena kami yakin tak akan ramai
tanpa teman-teman yang lain bergabung bersama-sama. Tanpa disuruh aku pun
mengirim sms Ajis, Fida, Bogel, dan lain-lain untuk menyusul kami berdua di
warung kopi tempat biasanya kami bersenda gurau. Sementara Ken sedang sibuk
dengan laptop di hadapannya.
Tak lama kemudian, teman-teman
yang aku sms pun berdatangan. Suasana berubah menjadi ramai seketika, dan
nuansa persekawanan seperti ini memang menjadi santapan kami sehari-hari jika
sedang berkumpul bersama, karena ikatan persahabatan ini memang sudah dirajut
sejak tiga tahun silam. Seketika, rasa sepi dan kebosanan yang tadi aku alami
lenyap begitu saja tenggelam dalam gelak tawa kami di warung kopi. Malampun
berlalu begitu saja, dan esok hari akan segera datang menyapa.
Hari ini aku bagun tidur agak
siang. Agak malas rasanya tuk beranjak dari kasur dan memulai aktifitas seperti
biasanya. Aku tak putuskan apa-apa dalam kemalasan itu, kecuali terbaring dan
berbaring sampai-sampai tak terasa jam sudah menunjukan pukul 12.00 siang.
Semangat tak kunjung datang, tapi aku masih teringat mimpi semalam, mimpi
berjumpa dengan bokde. Si dia yang jauh di seberang sana, dan dalam waktu
bersamaan bokde menelopon, seakan-akan ia tahu bahwa semalam aku memanggilnya
dalam mimpi panjangku. Ini bukanlah suatu keanehan, gumamku dalam hati, tapi
hanyalah suatu kebetulan saja.
“Pakde, sedang apa?”, sapa bokde
dalam suara telepon.
“Aku baru bangun tidur bokde,
nggak tau ini tidurku lelap banget sampai-sampai jam segini baru bangun”,
sahutku agak lesu.
“Apa..!!! baru bangun jam
segini.?!!”, tukas bokde dengan nada seperti terperanjat tapi nada-nadanya
marah. “..kamu itu tiap malam begadang, makanya bangun kesiangan trus, mbok yoo
jangan begadang terus kasian tubuhnya nggak sehat, ntar kalo sakit gimana,
hayoo?”, sambungnya.
Perhatian sekali bokde dengan
aku, gumamku dalam hati. Dan segera aku menjelaskan mengapa aku bangun
kesiangan adalah karena kelelahan, dan sepertinya dia memakluminya.
“Ya sudah, mandi sana dulu trus
makan”, suruhnya lewat suata telepon.
Tuuttt,,tuuuttt,,tuutt,, suara
telepon itupun berhenti dan percakapan kami pun berhenti sampai di situ saja.
Demi membangkitkn kembali semangat, maka aku segera bergegas ke kamar mandi,
berharap nanti setelah mandi dan makan aku bersemangat untuk mengerjakan
finalisasi pekerjaanku yang dianggap gagal oleh rekanku yang memberikanku
pekerjaan itu.
Dan ternyata benar. Air yang
membasahi tubuh ternyata dapat memberikan rasa kesegaran, maka tak heran tuhan
mengatakan bahwa air dapat menjadikan semua mahkluk hidup itu hidup. Terlebih
lagi jika dibarengi dengan makanan yang masuk ke dalam perut, asal tak
berlebihan, maka makanan pun menjadi sumber hidup (semangat), sehingga ada
benarnya juga jika Abraham Maslow, seorang pakar psikolog eksistensial
humanistik itu mengatakan bahwa fisiologis adalah kebutuhan paling mendasar
pada diri individu. Teori Maslow itu dikenal dengan teori jenjang kebutuhan,
yang berbentuk piramida utuh.
Setelah mandi dan makan aku
lewatkan, aktivitas menulis juga segera aku kerjakan hingga menjelang sore
hari. Seperti biasa, kalau sudah sore, handphopne pun berbunyi, dan kali ini
pesan yang masuk. Dari Ken. Seperti biasa, sahabatku yang satu ini ngajak ngopi
lagi. Aku memang sempat merasa aneh akhir-akhir ini karena sahabatku ini sangat
sering menghubungi aku untuk sekadar mengajak nongkrong baersama, padahal
beberapa bulan lalu dia sibuk dengan pekerjaannya. Namun, rasa heranku itu
segera terjawab karena terdengar kabar Ken memang sedang butuh ditemani, sebab,
lagi frustasi akibat kekasihnya yang entah tanpa alas an meninggalkan dirinya.
Kabar itu aku dengar dari Ajis.
Nongkrong bersama Ken memang tak
pernah lama. Karena dia memang disibukan dengan pekerjaannya untuk
mengantarkakn barang yang dipesan oleh pelanggan. Paling hanya dua sampai tiga
jam saja kami nongkrong, dan setelah itu pulang ke tempat masing-masing,
apalagi kali ini teman-teman yang lain tak terdengar kabarnya ingin menyusul.
Tepat pukul 21.00 WIB aku sudah
tiba di kost. Karena tak ada aktivitas, aku putuskan tuk membuka laptop, dan
ingin menonton film yang baru saja aku copy-paste dari teman di warung,
sepertinya film ini bagus sehingga membuat aku penasaran. Maklum saja, aku
memang termasuk orang yang gemar menonton film, dan kali ini film berjudul Black Gold, sebuah film yang agak serius
bercerita tentang petinggi Arab Saudi yang menjual lahannya kepada investor
asing (Barat) untuk dieksploitasi karena setelah diteliti di perut bumi dari
lahan itu mengandung minyak yang melimpah.
Satu setengah jam, film hampir
selesai, tiba-tiba handphone berdering pertanda ada panggilan. Bokde. Seperti
janjinya petang tadi, kalau aku sudah di kost dia ingin menelepon. Janji yang
jauh dari khianat. Dengan kata lain, bokde memang sosok yang selalu menepati
janjinya, setidaknya aku nilai dari janjinya yang akan menelepon aku kalau aku
sudah di kost. Pause, aku klik
tulisan itu di dinding laptop. Aku angkat telepon itu, dan aku memang selalu
gembira jika ada telepon dari bokde. Nonton film dilanjutkan nanti saja,
pikirku cepat.
Tak seperti biasanya, obrolan aku
dan bokde kali ini tensinya agak tinggi. Itu jelas sekali, dan sepertinya
terjadi saling salah paham di antara kami. Gawat pikirku. Sepertinya memang
harus segera diakui, bahwa jika ingin membicarakan tentang hal yang serius
dengan menggunakan media elektronik banyak melahirkan kesalahpahaman. Bahasa bule-nya, misunderstanding atau miscommunication.!
“Bukan begitu bokde, kamu itu
terlalu cepat menyimpulkan omonganku’, sahutku dengan nada agak meninggi.
“Orang akunya aja belum selesai ngomong kok, udah kamu simpulkan aja, gimana
sih.!”, lanjutku emosional.
Kesalalahpahaman ini bermula saat
aku dan bokde ngobrol tentang sesuatu yang akan serius terkait dengan masa
depan dan rencana-rencana ke depan, terutama terkait dengan rencanaku yang
berubah pasca pekerjaan yang baru saja aku selesaikan itu rampung. Mungkin,
bokde merasa bahwa perubahan rencana itu disebabkan kehadiran dia selama
beberapa bulan terakhir ini dalam diriku, dan bokde tak menginginkan hal itu.
Dia tak ingin jika semua rencana yang telah aku susun rapi justru berubah hanya
karena dirinya. Aku pun memahaminya. Tapi, aku justru memiliki kesimpulan lain
yang sangat subyektif, bahwa dari kesimpulan bokde aku justru berpikir
jangan-jangan bokde justru tidak menaruh simpati dan menolak tawaranku untuk
hidup bersama. Tanpa alang kelapang, kesimpulan itu aku tepis.
“Rencana ini sebenarnya memang
sudah lama aku susun, bahkan sebelum aku kenal dengan bokde lho, jadi jangan
salah paham dulu lah”, jawabku emosional.
“Ohh begitu, iya aku paham kok
pakde, dan maafkan aku, aku nggak bermaksud kayak gitu”, tukasnya.
Kami terdiam setelah pertengkaran
kecil itu terjadi, namun sudah kami klarifikasi dan jelaskan satu persatu duduk
perkaranya. Dalam kondisi saling diam, tiba-tiba telepon terputus, dan tepat,
sepertinya obrolan agak panas ini memang harus segera dihentikan agar tak
berkepanjangan. Dan sebelum tidur, kami saling klarifikasi, bahwa di antara
kami hanyalah terjadi kesalahpahaman, dan saling meminta maaf. Malampun
berlalu, bokde tidur dan aku masih terjaga sembari menonton film yang tadi
belum selesai.
Setelah aku pikri-pikir,
sebenarnya, perubahan dari rencana yang telah aku susun diakui atau tidak
memang berubah karena kehadiran bokde dengan tujuan bahwa jika aku sukses
dengan rencana-rencana baruku itu, maka hal itu aku harapkan justru untuk
mendekatkan diriku kepada bokde. Dan harus disadari, perubahan rencana itu
bukanlah karena unsur keterpaksaan tetapi murni karena situasi dan kondisi yang
memang sedang aku hadapi yang menuntut aku untuk merubah sekian hal tentang apa
nanti yang akan aku kerjakan demi meniti karir. Secara tidak langsung, aku harus
mengakui bahwa bokde adalah salah satu inspirator sekaligus motivator dalam
setiap aktivitas bahkan rencana-rencanaku ke depan. Jangan salah paham lagi
yaah bokde. Oke.!! Tasbih cintaku, (memang) adalah butiran-butiran namamu.!#