Awal Perkenalan
Setiap
orang adalah pelaku sejarah. Begitu pun, seseorang telah menuliskan sejarahnya
dalam tinta kehidupan. Jika ada sebagian orang mengatakan bahwa sesuatu yang
bernilai sejarah haruslah yang tertulis dalam lembaran kertas-kertas, maka
pandangan semacam itu tidaklah sepenuhnya benar, sebab, sejarah tersebut ada pada diri masing-masing
individu. Hanya saja titik persoalannya terletak pada apakah nilai sejarah itu
penting untuk diketahui (baca: dikenang) oleh orang banyak ataukah hanya untuk
dikonsumsi sendiri.
Kita
punya sejarah sendiri-sendiri, dan kita pula yang menjadi penentu apakah
nilai-nilai sejarah tersebut penting untuk diabadikan sebagai pijakan dasar
dari perjalanan hidup diri kita. Pemahaman terhadap sejarah diakui atau tidak
telah membuat diri seseorang sadar arti penting dari dinamika kehidupan. Orang
kemudian sadar, bahwa apa yang telah dilakukannya di masa silam adalah cerminan
besar untuk kehidupan di masa mendatang. Dan, hari ini, kita sadar bahwa kita
sedang membuat sejarah baru bagi kehidupan, setidaknya sejarah diri kita
sendiri.
Terlepas
dari itu, dalam ruang sadar, penulis memanggilnya Nul. Gadis yang baru saja
penulis kenal kemarin hari, dan rasanya terlalu muda usia perkenalan itu untuk
penulis deskripsikan dalam coretan tinta ini, tapi apapun itu, penulis dan Nul
telah membuat sejarah, setidaknya dalam proses perkenalan hingga menjadi dua
aktor yang saling kenal.
Perilaku
saling mengenal antar satu sama lainnya dalam dinamika kehidupan manusia adalah
sebuah aktivitas yang lumrah. Bahkan, kebanyakan orang menganggapnya sebagai suatu
kewajiban antar manusia. Apa lacur? Karena manusia adalah makhluk tuhan yang
saling membutuhkan, seperti umumnya makhluk-makhluk lain juga melakukan hal
yang serupa.
Dalam
pada itu, tuhan pun telah menggariskan bahwa salah satu tugas manusia untuk menjaga
eksistensi kehidupan adalah saling mengenal. Terlebih, ketika manusia hidup
dalam lingkaran kehidupan yang multikulur seperti Indonesia. Penulis dan Nul
mungkin secara kultur dan budaya sangat berbeda, karena memang tercipta secara
berbeda pula. Perkenalan antara dua insan yang saling berbeda kultur dan budaya
adalah dinamika yang sangat menarik. Mukhlis, 2012, mengatakan bahwa salah satu
bentuk nyata dari persatuan dan kesatuan masyarakat Indonesia dalam garis NKRI
adalah bersatu-padunya antar insan yang berbeda secara kultur dan budayanya,
sebab, perbedaan itu akan melahirkan akulturasi budaya sekaligus manifestasi
dari konsep ke-bhinekaan bangsa ini.
Hidup
dalam lingkaran mulikultur sejatinya tidaklah mudah, tetapi fakta itu justru
menjadi tantangan tersendiri bagi setiap diri individu anak bangsa ini.
Akulturasi budaya telah menjadi perbincangan hangat dari kalangan antropolog
dan budayawan, karena karakter bangsa ini sungguh sangat unik.
Nul,
mungkin penulis tak mengenal sosoknya terlalu jauh. Tapi perlu penulis
sampaikan bahwa Nul yang penulis sebut tersebut hanyalah sebuah inisial dari
sosok seorang perempuan nun jauh di pulau seberang. Penulis sering kali, bahkan
mungkin telah disepakati untuk memanggil dengan sebutan mbokde. Tak ada
interpretasi apapun dari istilah “mbokde” itu kecuali hanya sekedar nama
panggilan semata, dan begitu pun sebaliknya penulis memperoleh panggilan
“pakde”. Istilah mbokde dan pakde hanyalah simbol keakraban karena dua sosok
itu saling mengenal, meski dibatasi ruang dan waktu, tapi teknologi membuat
kedua aktor itu terasa berdekatan antar satu sama lain.
Tulisan
ini seperti sebuah khayalan. Dan itu wajar. Sebab, sejauh yang penulis kenal,
mbokde hanya terlihat dalam jepretan photo dengan berbagai gaya yang telah
berhasil membuat penulis bertanya-tanya karena penasaran. Tentu, penulis tak
ingin hidup yang dilingkari rasa penasaran, karena itu membingungkan, sekaligus
membuat perasaan dan pikiran jadi tak karuan. Mungkin, dalam khayal basah
penulis, ini adalah awal dari proses terciptanya suatu akulturasi budaya.
Begitu kah? Kita lihat saja nanti.#