Friday, 27 September 2013

NOVEL: TASBIH CINTAKU BUTIRAN NAMAMU

Awal Perkenalan
Setiap orang adalah pelaku sejarah. Begitu pun, seseorang telah menuliskan sejarahnya dalam tinta kehidupan. Jika ada sebagian orang mengatakan bahwa sesuatu yang bernilai sejarah haruslah yang tertulis dalam lembaran kertas-kertas, maka pandangan semacam itu tidaklah sepenuhnya benar, sebab,  sejarah tersebut ada pada diri masing-masing individu. Hanya saja titik persoalannya terletak pada apakah nilai sejarah itu penting untuk diketahui (baca: dikenang) oleh orang banyak ataukah hanya untuk dikonsumsi sendiri.
Kita punya sejarah sendiri-sendiri, dan kita pula yang menjadi penentu apakah nilai-nilai sejarah tersebut penting untuk diabadikan sebagai pijakan dasar dari perjalanan hidup diri kita. Pemahaman terhadap sejarah diakui atau tidak telah membuat diri seseorang sadar arti penting dari dinamika kehidupan. Orang kemudian sadar, bahwa apa yang telah dilakukannya di masa silam adalah cerminan besar untuk kehidupan di masa mendatang. Dan, hari ini, kita sadar bahwa kita sedang membuat sejarah baru bagi kehidupan, setidaknya sejarah diri kita sendiri.
Terlepas dari itu, dalam ruang sadar, penulis memanggilnya Nul. Gadis yang baru saja penulis kenal kemarin hari, dan rasanya terlalu muda usia perkenalan itu untuk penulis deskripsikan dalam coretan tinta ini, tapi apapun itu, penulis dan Nul telah membuat sejarah, setidaknya dalam proses perkenalan hingga menjadi dua aktor yang saling kenal.
Perilaku saling mengenal antar satu sama lainnya dalam dinamika kehidupan manusia adalah sebuah aktivitas yang lumrah. Bahkan, kebanyakan orang menganggapnya sebagai suatu kewajiban antar manusia. Apa lacur? Karena manusia adalah makhluk tuhan yang saling membutuhkan, seperti umumnya makhluk-makhluk lain juga melakukan hal yang serupa.
Dalam pada itu, tuhan pun telah menggariskan bahwa salah satu tugas manusia untuk menjaga eksistensi kehidupan adalah saling mengenal. Terlebih, ketika manusia hidup dalam lingkaran kehidupan yang multikulur seperti Indonesia. Penulis dan Nul mungkin secara kultur dan budaya sangat berbeda, karena memang tercipta secara berbeda pula. Perkenalan antara dua insan yang saling berbeda kultur dan budaya adalah dinamika yang sangat menarik. Mukhlis, 2012, mengatakan bahwa salah satu bentuk nyata dari persatuan dan kesatuan masyarakat Indonesia dalam garis NKRI adalah bersatu-padunya antar insan yang berbeda secara kultur dan budayanya, sebab, perbedaan itu akan melahirkan akulturasi budaya sekaligus manifestasi dari konsep ke-bhinekaan bangsa ini.
Hidup dalam lingkaran mulikultur sejatinya tidaklah mudah, tetapi fakta itu justru menjadi tantangan tersendiri bagi setiap diri individu anak bangsa ini. Akulturasi budaya telah menjadi perbincangan hangat dari kalangan antropolog dan budayawan, karena karakter bangsa ini sungguh sangat unik.
Nul, mungkin penulis tak mengenal sosoknya terlalu jauh. Tapi perlu penulis sampaikan bahwa Nul yang penulis sebut tersebut hanyalah sebuah inisial dari sosok seorang perempuan nun jauh di pulau seberang. Penulis sering kali, bahkan mungkin telah disepakati untuk memanggil dengan sebutan mbokde. Tak ada interpretasi apapun dari istilah “mbokde” itu kecuali hanya sekedar nama panggilan semata, dan begitu pun sebaliknya penulis memperoleh panggilan “pakde”. Istilah mbokde dan pakde hanyalah simbol keakraban karena dua sosok itu saling mengenal, meski dibatasi ruang dan waktu, tapi teknologi membuat kedua aktor itu terasa berdekatan antar satu sama lain.
Tulisan ini seperti sebuah khayalan. Dan itu wajar. Sebab, sejauh yang penulis kenal, mbokde hanya terlihat dalam jepretan photo dengan berbagai gaya yang telah berhasil membuat penulis bertanya-tanya karena penasaran. Tentu, penulis tak ingin hidup yang dilingkari rasa penasaran, karena itu membingungkan, sekaligus membuat perasaan dan pikiran jadi tak karuan. Mungkin, dalam khayal basah penulis, ini adalah awal dari proses terciptanya suatu akulturasi budaya. Begitu kah? Kita lihat saja nanti.#
Disqus Comments