Entah mengapa hari ini aku tak tenang, gelisah tak
karuan. Mau berbuat apa serba salah, mungkin rasa kantuk ini, gumamku dalam
hati. Segera saja aku mandi kemudian dilanjutkan makan.
Aku lihat laptop belum sempat aku rapihkan semalam
karena aku ketiduran. Aku nyalakan kembali laptop sementara tangan kiriku
meraih modem di dalam tas untuk aku pasang di laptop. Hari ini aku sedang butuh
online, ingin mengirimkan proposal penerbitan untuk sebuah perusahaan penerbit
buku.
Pada saat sedang asyik online, tiba-tiba handphone
berbunyi pertanda ada pesan masuk. Pesan itu berbunyi, “Pakcu, Aan mau pulang
ini, sekarang lagi di bandara, mama masuk rumah sakit tadi pagi kata bapak”.
Pesan ini dikirimkan oleh keponakanku di Jakarta, dia perawat di sebuah rumah
sakit swasta di sana. Tak panjang aku menjawab pesan itu kecuali mengingatkan
Aan untuk berhati-hati di jalan, karena dia pulang tanpa berteman alias seorang
diri.
Aku sendiri tak heran dengan masuknya mama Aan ke
rumah sakit karena sejak dua tahun belakangan rumah sakit telah menjadi tempat
keluar-masuk mamanya. Jadi, aku berpikir paling-paling hanya memenuhi panggilan
rumah sakit untuk sekedar transfusi darah yang memang dilakukan selama empat
bulan sekali, dan kali ini adalah keempat bulannya. Mama Aan, sejak dua tahun
lalu divonis menghidap penyakit talasemia, sebuah nama penyakit untuk orang
yang terindikasi kekurangan darah merah akut. Dan selama dua tahun belakangan,
transfusi darah berjalan lancar, tak ada hambatan, dan rumah sakit tak pernah
kekurangan darah sehingga mama Aan dapat dikatakan baik-baik saja jika sudah
ditransfusi darah sebanyak tujuh kantong darah.
Sambil berbaring aku masih sibuk dengan aktivitas
online, mengirim tulisan, mengirim proposal, chatting, dan lain-lain di
jejaring sosial. Tak lama kemudian, datang suara telepon dari abang, bapaknya
Aan. Iya bang, wa’alaykum salam, koti-koti[1]?. Tanyaku
kepada abang yang terdengar mengisak tangis. “Udaham kau ay, kakak kau te udah
nadak esik lagik im, udah meninggal dunia todik te.[2]”,
nada suara abang melemah. Innalillahi wa inna ilaihi roji’un. Aku pun tak kuasa
untuk menahan kucuran air mata, bahkan saat aku menulis ini.
Segera aku menelpon Aan tapi nomornya sudah tidak
aktif. Mungkin sedang berada di dalam pesawat. Seharian penuh aku mondar mandir
mencari pinjaman uang untuk keperluan pulang malam ini juga, aku ingin sekali
melihat wajah kakak sebelum dikebumikan. Dan untuk keperluan pulang, aku dapat
pinjaman dan segera aku langsung menuju bandara Adisucipto Yogyakarta tepat
pukul 20.00 WIB. Rasa sedih kian membuncah setelah tiba di bandara ku ketahui
penerbangan sudah tidak ada lagi karena telah berakhir pada pukul 18.00 petang
tadi. Dan aku tak bisa pulang, tak bisa menghadari acara pemakaman, tak melihat
wajah kakak untu terakhir kalinya. Doaku semoga tercurahkan kepada beliau, Allahummaghfirlaha warhamha waj’alil jannah
matwaaha.[3]
Amin. Jika dunia ini sudah tak ramah lagi dengan keberadaanmu, maka biarkanlah
surga menjadi tempat terbaik untukmu, kakak.!
Peristiwa ini memberikan suatu peringatan kepadaku
bahwa apapun kesibukan yang sedang kita kerjakan, maka berikanlah waktu untuk
menjenguk keluarga di rumah, sekalipun engkau sedang berada di negeri orang
yang jauh. Aku sadari, aku memang terlalu larut untuk mengurusi pekerjaanku di
Yogyakarta sehingga pulang ke kampung halaman belum sempat tercapai. Kematian kakak
merupakan sebuah teguran kepada diriku untuk jangan sekali-kali menunda
kepulangan setelah keluarga berharap aku menemui mereka terlebih dahulu sebelum
aku melanjutkan aktivitas yang menjadi pilihan hidupku. Beliau memang kakak
iparku, tetapi kebaikannya selama ini dalam mendidik aku adalah bukti nyata
betapa beliau sangat memperhatikan aku ibarat adik kandungnya sendiri. Hal yang
paling aku ingat, beliau adalah sosok wanita yang ulet, rajin, dan tak pernah
sekalipun marah, bahkan di rumah, beliau lah yang merapihkan tempat tidurku.
Kematian kakak aku ceritakan kepada bokde. Bokde pun
berusaha menenangkan aku melalui telepon dan pesan singkatnya. Setelah
peristiwa ini, aku bertekad bulat akan segera pulang ke kalimantan, hentakku
kesal dalam hati yang masih tersisa sedih. Empat hari kemudian, datang telepon
dari ibu yang dengan nada harap agar aku segera pulang, karena sudah dua tahun
ini aku sendiri tak pernah berjumpa dengan keluarga di Melawi. Sejujurnya, aku
memang sangat ingin pulang bercengkrama bersama keluarga seperti dulu, tapi
kendalaku kini adalah ongkos yang telah aku habiskan untuk berbagai keperluan
di Yogya, maklum sejak mengangkat toga, jatahku telah ditarik, sehingga aku
harus pontang panting mencari sesuap nasi, bahkan terkadang minta kepada orang.
Rasa-rasanya kemarin-kemarin ingin minta ongkos ke rumah untuk biaya pulang,
tetapi rasa malu ternyata lebih dominan di wajahku karena selalu meminta. Mungkin
inilah titik terendah dalam hidupku, terutama sejak aku menyandang gelar
sajaran sosial.
Ibu, abang dan keluarga sepertinya mengerti
keberadaanku di Yogya yang tak jelas. Setelah ibu menelpon, abang lantas
menanyakan nomor rekening, karena besok akan dikirim ongkos untuk kedua kalinya
agar aku segera pulang dan, mungkin saja akan berkiprah di sana. Nada pesimis
mulai menggerogoti hati dan pikiranku untuk melanjutkan dua cita-cita besar
yang belum sempat terpenuhi, yakni melanjutkan S2 dan bertemu dengan butiran tasbih
cintaku yang selalu aku sebut dalam do’a harapku. Nul.! Semoga takdir
mempertemukan jiwa kita nanti, karena hanya takdirlah yang akan menyatukan
jiwamu dan jiwaku, sebab, keinginan, hasrat, asa, serta cinta sudah sejak lama
membara, tapi sekali lagi, takdirlah sebagai titik penentunya. Mari
bersama-sama kita memanjatkan do’a.! Nul, aku memanggilmu.! #