Friday, 27 September 2013

Selamat Jalan Kakak

Entah mengapa hari ini aku tak tenang, gelisah tak karuan. Mau berbuat apa serba salah, mungkin rasa kantuk ini, gumamku dalam hati. Segera saja aku mandi kemudian dilanjutkan makan.
Aku lihat laptop belum sempat aku rapihkan semalam karena aku ketiduran. Aku nyalakan kembali laptop sementara tangan kiriku meraih modem di dalam tas untuk aku pasang di laptop. Hari ini aku sedang butuh online, ingin mengirimkan proposal penerbitan untuk sebuah perusahaan penerbit buku.
Pada saat sedang asyik online, tiba-tiba handphone berbunyi pertanda ada pesan masuk. Pesan itu berbunyi, “Pakcu, Aan mau pulang ini, sekarang lagi di bandara, mama masuk rumah sakit tadi pagi kata bapak”. Pesan ini dikirimkan oleh keponakanku di Jakarta, dia perawat di sebuah rumah sakit swasta di sana. Tak panjang aku menjawab pesan itu kecuali mengingatkan Aan untuk berhati-hati di jalan, karena dia pulang tanpa berteman alias seorang diri.
Aku sendiri tak heran dengan masuknya mama Aan ke rumah sakit karena sejak dua tahun belakangan rumah sakit telah menjadi tempat keluar-masuk mamanya. Jadi, aku berpikir paling-paling hanya memenuhi panggilan rumah sakit untuk sekedar transfusi darah yang memang dilakukan selama empat bulan sekali, dan kali ini adalah keempat bulannya. Mama Aan, sejak dua tahun lalu divonis menghidap penyakit talasemia, sebuah nama penyakit untuk orang yang terindikasi kekurangan darah merah akut. Dan selama dua tahun belakangan, transfusi darah berjalan lancar, tak ada hambatan, dan rumah sakit tak pernah kekurangan darah sehingga mama Aan dapat dikatakan baik-baik saja jika sudah ditransfusi darah sebanyak tujuh kantong darah.
Sambil berbaring aku masih sibuk dengan aktivitas online, mengirim tulisan, mengirim proposal, chatting, dan lain-lain di jejaring sosial. Tak lama kemudian, datang suara telepon dari abang, bapaknya Aan. Iya bang, wa’alaykum salam, koti-koti[1]?. Tanyaku kepada abang yang terdengar mengisak tangis. “Udaham kau ay, kakak kau te udah nadak esik lagik im, udah meninggal dunia todik te.[2]”, nada suara abang melemah. Innalillahi wa inna ilaihi roji’un. Aku pun tak kuasa untuk menahan kucuran air mata, bahkan saat aku menulis ini.
Segera aku menelpon Aan tapi nomornya sudah tidak aktif. Mungkin sedang berada di dalam pesawat. Seharian penuh aku mondar mandir mencari pinjaman uang untuk keperluan pulang malam ini juga, aku ingin sekali melihat wajah kakak sebelum dikebumikan. Dan untuk keperluan pulang, aku dapat pinjaman dan segera aku langsung menuju bandara Adisucipto Yogyakarta tepat pukul 20.00 WIB. Rasa sedih kian membuncah setelah tiba di bandara ku ketahui penerbangan sudah tidak ada lagi karena telah berakhir pada pukul 18.00 petang tadi. Dan aku tak bisa pulang, tak bisa menghadari acara pemakaman, tak melihat wajah kakak untu terakhir kalinya. Doaku semoga tercurahkan kepada beliau, Allahummaghfirlaha warhamha waj’alil jannah matwaaha.[3] Amin. Jika dunia ini sudah tak ramah lagi dengan keberadaanmu, maka biarkanlah surga menjadi tempat terbaik untukmu, kakak.!
Peristiwa ini memberikan suatu peringatan kepadaku bahwa apapun kesibukan yang sedang kita kerjakan, maka berikanlah waktu untuk menjenguk keluarga di rumah, sekalipun engkau sedang berada di negeri orang yang jauh. Aku sadari, aku memang terlalu larut untuk mengurusi pekerjaanku di Yogyakarta sehingga pulang ke kampung halaman belum sempat tercapai. Kematian kakak merupakan sebuah teguran kepada diriku untuk jangan sekali-kali menunda kepulangan setelah keluarga berharap aku menemui mereka terlebih dahulu sebelum aku melanjutkan aktivitas yang menjadi pilihan hidupku. Beliau memang kakak iparku, tetapi kebaikannya selama ini dalam mendidik aku adalah bukti nyata betapa beliau sangat memperhatikan aku ibarat adik kandungnya sendiri. Hal yang paling aku ingat, beliau adalah sosok wanita yang ulet, rajin, dan tak pernah sekalipun marah, bahkan di rumah, beliau lah yang merapihkan tempat tidurku.
Kematian kakak aku ceritakan kepada bokde. Bokde pun berusaha menenangkan aku melalui telepon dan pesan singkatnya. Setelah peristiwa ini, aku bertekad bulat akan segera pulang ke kalimantan, hentakku kesal dalam hati yang masih tersisa sedih. Empat hari kemudian, datang telepon dari ibu yang dengan nada harap agar aku segera pulang, karena sudah dua tahun ini aku sendiri tak pernah berjumpa dengan keluarga di Melawi. Sejujurnya, aku memang sangat ingin pulang bercengkrama bersama keluarga seperti dulu, tapi kendalaku kini adalah ongkos yang telah aku habiskan untuk berbagai keperluan di Yogya, maklum sejak mengangkat toga, jatahku telah ditarik, sehingga aku harus pontang panting mencari sesuap nasi, bahkan terkadang minta kepada orang. Rasa-rasanya kemarin-kemarin ingin minta ongkos ke rumah untuk biaya pulang, tetapi rasa malu ternyata lebih dominan di wajahku karena selalu meminta. Mungkin inilah titik terendah dalam hidupku, terutama sejak aku menyandang gelar sajaran sosial.
Ibu, abang dan keluarga sepertinya mengerti keberadaanku di Yogya yang tak jelas. Setelah ibu menelpon, abang lantas menanyakan nomor rekening, karena besok akan dikirim ongkos untuk kedua kalinya agar aku segera pulang dan, mungkin saja akan berkiprah di sana. Nada pesimis mulai menggerogoti hati dan pikiranku untuk melanjutkan dua cita-cita besar yang belum sempat terpenuhi, yakni melanjutkan S2 dan bertemu dengan butiran tasbih cintaku yang selalu aku sebut dalam do’a harapku. Nul.! Semoga takdir mempertemukan jiwa kita nanti, karena hanya takdirlah yang akan menyatukan jiwamu dan jiwaku, sebab, keinginan, hasrat, asa, serta cinta sudah sejak lama membara, tapi sekali lagi, takdirlah sebagai titik penentunya. Mari bersama-sama kita memanjatkan do’a.! Nul, aku memanggilmu.! #


[1] Bagaimana?
[2] Kakakmu sudah meninggalkan kita semua beberapa saat tadi.
[3] Ya Allah ampunilah dia, dan berikanlah surga-Mu untuknya.
Disqus Comments