Di
Jawa Timur, banyak koruptor kelas wahid berkeliaran namun sulit ditelusuri.
Kiran-kira begitulah pengakuan Ketua KPK, Abraham Samad tempo hari di Jakarta
dalam sebuah diskusi. Statemen ini kontan saja menuai perhatian publik, tak
terkecuali beberapa ormas, LSM dan pemerintah Jawa Timur. Sebagian kalangan
bersikap mencemooh pengakuan tersebut karena KPK dinilai tidak serius menangani
kasus korupsi di Jatim, sebab, mereka menganggap selama ini data-data mengenai
praktek korupsi di Jatim telah dilaporkan, namun terkesan tak ditanggapi oleh
KPK.
Di
lain pihak, utamanya pemerintah Jawa Timur mengaku siap membantu jika memang benar
KPK mengendus adanya praktek korupsi di daerah yang dipimpin oleh Soekarwo ini.
dalam konteks ini, maka KPK sedang menghadapi tantangan serius terkait dengan
praktek korupsi di Jatim. Tantangan dalam pengertian bahwa KPK harus
mempertanggungjawabkan pernyataannya tempo hari itu dengan cara membuktikan
apakah benar di Jatim banyak koruptor kelas kakap seperti diakui Abraham Samad.
Dalam
pada itu, catatan paling penting yang harus diperhatikan KPK, terkait praktek
korupsi di Jatim ialah laporan dari Masyarakat Pemantauan Program dan
Kebijaksanaan Pemerintah Jawa Timur (MP3KP) yang mengatakan bahwa selama tiga
tahun terakhir telah melaporkan sejumlah kasus korupsi di Jatim lengkap dengan
data-datanya ke KPK. Namun, menurut mereka, KPK hingga kini terkesan tidak
pernah menindaklanjuti laporan tersebut. Pertanyaan yang kemudian muncul,
mengapa KPK terkesan tak menanggapi laporan itu?
Persoalan
korupsi erat kaitannya dengan kebijakan pemerintah. Mengapa demikian? Karena
praktek korupsi terjadi tidak hanya dilakukan oleh perorangan, kelompok maupun
oknum tertentu, tetapi juga dilakukan oleh suatu korporasi. Dalam bahasa
sederhananya, korupsi itu terjadi karena perselingkuhan pemegang kebijakan
dengan pengusaha, terutama terkait berbagai macam proyek atau tender. Sebagai
catatan, jenis-jenis korupsi itu setidaknya meliputi penyapan, penggelapan,
pemerasan, pengadaan, dan grafitasi.
Oleh
karenanya, beberapa jenis korupsi itu sudah seharusnya dijadikan sebagai bahan
kajian mendalam, terutama mengenai perspektif pendekatan terhadap perkara
korupsi. Persoalannya, selama ini kita memandang korupsi hanya dilihat dari
persoalan hukum semata, padahal masih ada celah lain yang dapat dijadikan
sebagai acuan.
Pendekatan
penanganan korupsi selama ini tampak hanya bergulat pada pendekatan represif,
seperti penangkapan, penanganan dan pemenjaraan, dan belum menyentuh pada soal
pencegahan. Nyatanya, pendekatan secara represif justru terkesan kurang
efektif, bahkan tidak mempan dalam upaya mencegah terjadinya praktek haram
korupsi, malah semakin getol. Tak ada efek jera. Lebih daripada itu, para
koruptor juga telah berani secara terang-terangan mengobok-obok UU dan aturan
main terkait pemberantasan korupsi. Itu artinya, pendekatan secara represif
masih dianggap belum cukup efektif, sehingga KPK harus melakukan pengkajian
ulang agar proses pemberantasan tindak pidana korupsi didekati dengan metode
yang integratif.
Metode
integratif maksudnya ialah memadukan antara dua pendekatan, yakni pendekatan
secara represif dan pendekatan berupa pencegahan-pencegahan. Salah satunya
ialah dengan cara penguatan sektor-sektor strategis untuk kepentingan nasional
(national interest), karena jika
sektor-sektor tersebut lemah, maka melalui celah itulah para koruptor ulung
bermain, bentuknya berupa perselingkuhan para pengusaha atau pemodal dengan
negara atau para pemegang kebijakan. Jadi, jangan heran jika praktek korupsi
sekarang tidak lagi hanya sekadar dilakukan perorangan atau kelompok, tetapi
juga dilakukan oleh korporasi-korporasi yang memiliki kepentingan besar dari
berbagai sektor strategis yang lemah. Sebab itu, memperbaiki sektor-sektor
strategis menjadi sangat mendesak dilakukan demi kepentingan nasional serta
kesejahteraan masyarakat, karena selama ini muncul kesan kekayaan negeri ini
hanya dinikmati oleh para pemodal dan pejabat-pejabat negara saja, lalu
menafikan kesejahteraan masyarakat yang seharusnya menjadi tujuan serta prinsip
utama negara.
Dalam
pada itu, beberapa jenis perilaku korup itu mengindikasikan bahwa sulit untuk
tidak mengatakan di Jatim luput dari perilaku perampokan kekayaan negara itu.
Jadi, hemat penulis, pengakuan KPK, Abraham Samad terkait dengan adanya praktek
korupsi di Jatim tidaklah berlebihan. Hanya saja persoalannya apakah KPK serius
ingin menguak praktek korupsi di Jatim setelah mereka mencium gerak gerik
koruptor yang sangat ulung dan misterius itu.
Memang,
harus diakui bahwa praktek korupsi dilakukan secara terorganisir dan
sistematis. Hal inilah yang kemudian menjadi alasan mengapa koruptor terasa
sulit ditelusuri, sebab, masing-masing oknum pelaku mempelajari pergerakan KPK
serta menlenyapkan jejak mereka setelah korupsi dilakukan.
Hal
ini pula diakui oleh Abraham Samad tempo hari. Selain menyebutkan di Jatim
banyak korptor kelas wahid, ketua KPK itu juga mengaku kesulitan menelusuri
jejak rekam koruptor karena mereka tahu pergerakan KPK, serta dengan mudah
mengelabui komisi yang sedang naik daun itu.
Singkatnya,
lewat pernyataannya, KPK akan kembali diuji oleh publik tentang keseriusannya
terkait penelusuran kasus korupsi di Jatim. Lebih-lebih MP3KP mengaku bahwa
selama ini telah sering memberikan laporan ke KPK terkait tindak pidana korupsi
di Jatim, bahkan lengkap dengan data-datanya. Jika KPK tidak segera
menindaklanjutinya, maka ini akan menjadi semacam pertaruhan citra diri komisi
pemberantasan korupsi yang dikenal begitu gencar mengungkap serta menangkap
para koruptor dan dinilai telah berani
dan tegas, tanpa pandang bulu, tanpa kopromi dan tak memiliki beban psikologis
untuk memeriksa siapapun, sekalipun ia adalah seorang pejabat tinggi negara.
Dengan ketegasan dan keberanian itu, maka tidak sulit rasanya bagi KPK untuk
melakukan tugas dan wewenangnya sebagai institusi penegak hukum menjerat siapa
saja yang terbukti melakukan tindakan penipuan serta perempokan kekayaan negara
ini, termasuk di Jawa Timur. Kita tunggu gebrakan KPK.!