Sunday 15 December 2013

Ketika Cinta Didistorsi Tradisi dan Primordialisme



Judul: Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck. Genre: Drama Sejarah. Produksi:  PT. Soraya Intercine Films. Sutradara: Sunil Soraya. Pemain Utama: Herjunot Ali, Pevita Pearce, dan Reza Rahadian. Durasi: 2 Jam 45 Menit. Rilis: 19 Desember 2013

Kekuatan cinta mampu melawan tembok sekuat apapun, termasuk adat istiadat atau tradisi. Cinta mungkin boleh dikatakan, atau bahkan diakui oleh siapapun memiliki sebuah energi kekuatan di luar akal sehat manusia. Cinta juga bahkan telah dijadikan alat legitimasi tak tertandingi sebagai senjata penembus batas-batas kehidupan manusia. Cinta tak mengenal sesuatu apapun kecuali rasa cinta itu sendiri. Cinta terkadang tampak dalam wujud yang irrasional.!
Kisah mengenai kekuatan cinta bukanlah mitos sebagaimana dipahami oleh orang-orang yang cuek lagi sinis. Sebab, faktanya hanyalah cintalah simbol paling suci yang mampu mempertemukan untuk selanjutnya mempersatukan dua insan yang berbeda, termasuk perbedaan dalam aspek budaya. Sehingga, tak berlebihan kiranya jika cinta dapat dimengerti serta diterima sebagai alat pemersatu antara dua insan yang berbeda, baik secara kultur, budaya, etnis, hingga kela sosial. Cinta, tak mengenal kesemuanya itu, karena cinta hanyalah kemurnian rasa yang tak dapat diingkari, apalagi dikhianati oleh insan itu sendiri. Seperti kata pepatah, jika ada sesuatu hal yang terkuat di dunia ini, maka itu adalah cinta.
Abdul Malik Karim Amrullah, atau yang lebih dikenal dengan sebutan Hamka mencoba mengetengahkan cinta sebagai sebuah kekuatan dalam melawan tradisi yang paten di Minangkabau lewat novelnya berjudul “Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck”.
Kisah Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck diterbitkan sebagai novel pada tahun 1939 dan telah mengalami beberapa kali cetak ulang hingga sekarang, bahkan telah menjadi best seller. Kisah inspiratif novel ini lantas menggugah sutradara, Sunil Soraya untuk mengangkatnya di ranah perfilman.
Sesuai dengan kisahnya, film yang ditayangkan pada 19 Desember 2013 ini mengangkat cerita tentang cinta dua insan yang dipisahkan oleh tradisi atau adat istiadat, antara keturunan Minagkabau (Hayati) dengan Bugis (Zainuddin). Hayati adalah keturunan Minangkabau asli, sedangkan Zainuddin keturunan campuran Minanggakabu-Bugis Makasar.
Cinta antara Hayati dan Zainuddin justru baru tumbuh ketika Zainuddin sudah yatim piatu. Kedua orangtuanya telah meninggal, sementara Hayati merupakan anak bangsawan. Hal inilah kemudian menjadi faktor penghambat cinta antara keduanya karena orangtua Hayati yang notabene bangsawan tidak menyetujuinya. Tetapi, Hayati selalu berusaha keras untuk mempertahankan dan memperjuangkan rasa cintanya sebelum akhirnya ia harus mengalah kepada kehendak kedua orangtuanya, dan dijodohkan dengan seorang pemuda asli keturunan Minangkabau, juga dari keluarga berada benama Azis.
Sadar akan status sosialnya, Zainuddin mengalah meski hatinya sangat kecewa. Hayati pun tak dapat berbuat apa-apa kecuali menerima Azis sebagai suaminya. Mendengar Hayati dan Azis akan segera menikah, Zainuddin lantas meninggalkan tanah Minagkabau, Padang, untuk merantau ke pulau Jawa, tepatnya Batavia. Meninggalkan Padang dengan kondisi perasaan dan hati hancur, Zainuddin memperoleh dukungan dari sahabat dekatnya, yakni Muluk yang kemudian turut serta bersamanya pergi ke tanah rantauan.
Rantauan Zainuddin ke pulau Jawa berakhir di tanah Surabaya, Jawa Timur. Di sana, Zainuddin kemudian menjadi seorang penulis terkenal. Mungkin karena kekuatan cinta Hayati kepada Zainuddin, karena alasan tugas, Azis dan Hayati harus tinggal di Surabaya pula, dan Hayati kaget, mendengar Zainuddin menjadi seorang penulis terkenal.
Seperti sebuah takdir, ada-ada saja jalan untuk mempertemukan cinta Zainuddin dan Hayati. Sebab, setelah beberapa waktu tinggal di Surabaya, kondisi rumah-tangga Azis dan Hayati mulai mengalami keretakkan, ditambah pula dipecatnya Azis dari pekerjaannya. Azis pun mulai sadar bahwa rasa cinta Hayati sebenarnya memang lebih besar kepada Zainuddin ketimbang dirinya, meski ia adalah suaminya. Azis pun lantas meninggalkan Surabaya dan pergi ke Banyuangi meninggalkan sepucuk surat berisi tentang penyerahan diri Hayati kepada Zainuddin. Catatan, setelah Azis dipecat, ia dan istrinya terpaksa tinggal di rumah Zainuddin.
Singkat cerita, meski Zainuddin masih menyimpan rasa kecewa tiada terhingga karena Hayati dianggapnya menginkari janji atas cinta mereka, namun kenyataannya ia masih sangat mencintai Hayati. Sebuah cinta yang murni dan tulus. Sayang, kemurnian dan ketulusan cinta mereka harus diterjang kematian setelah Hayati mengalami musibah, Kapal Van Der Wijck yang ditumpangnya tenggelam  di pesisir utara pulau Jawa  saat akan berlayar menuju kampung halaman, Batipuh, Padang, Sumatera Barat. Meski jasad Hayati dapat ditemukan, namun akhirnya ia menghembuskan nafas terakhir di sebuah rumah sakit di Cirebon. Zainuddin pun menyesal, namun penyesalan itu sudah terlambat.
Film ini dibintangi oleh aktor-aktor ternama seperti Herjunot Ali, Pevita Pearce, Reza Rahadian, Randy Nidji, Gesya Sandy, Arzeti Bilbina, Kevin Andrean, dan Jajang C. Film berdurasi 2 jam 45 menit ini tentu tidak hanya dilihat dari kisah percintaannya, tetapi aspek penting lainnya terletak pada gambaran betapa kuatnya tradisi serta sikap primordialisme dalam kehidupan masyarakat Indonesia. Tradisi dan sikap primordialisme, tanpa bermaksud menjustifikasi, seakan telah menjadi legitimasi kuat untuk mengukuhkan status sosial seseorang, serta menghalangi keinginan orang untuk bersatu dalam perbedaan suku, etnis dan budaya, padahal negara ini berdiri begitu atas keragaman itu.
Meski sempat mendapatk an kritikan karena dinilai tidak islami, namun film ini layak ditonton oleh seluruh pihak serta masyarakat Indonesia agar dapat mengambil pelajaran penting betapa negara ini penuh keragaman yang merupakan realitas nyata tak terbantahkan. Adapun sisi kurangnya terletak pada setingan film yang terasa menujukkan agak kebarat-baratan (Belanda), terutama settingan keluarga Hayati dan Azis, padahal kisahnya tidak melibatkan orang Belanda dan murni masyarakat pribumi saja.
Disqus Comments