Judul: Tenggelamnya
Kapal Van Der Wijck. Genre: Drama Sejarah. Produksi: PT.
Soraya Intercine Films. Sutradara: Sunil Soraya. Pemain Utama: Herjunot Ali,
Pevita Pearce, dan Reza Rahadian. Durasi:
2 Jam 45 Menit. Rilis: 19 Desember 2013
Kekuatan
cinta mampu melawan tembok sekuat apapun, termasuk adat istiadat atau tradisi.
Cinta mungkin boleh dikatakan, atau bahkan diakui oleh siapapun memiliki sebuah
energi kekuatan di luar akal sehat manusia. Cinta juga bahkan telah dijadikan
alat legitimasi tak tertandingi sebagai senjata penembus batas-batas kehidupan
manusia. Cinta tak mengenal sesuatu apapun kecuali rasa cinta itu sendiri.
Cinta terkadang tampak dalam wujud yang irrasional.!
Kisah
mengenai kekuatan cinta bukanlah mitos sebagaimana dipahami oleh orang-orang
yang cuek lagi sinis. Sebab, faktanya hanyalah cintalah simbol paling suci yang
mampu mempertemukan untuk selanjutnya mempersatukan dua insan yang berbeda,
termasuk perbedaan dalam aspek budaya. Sehingga, tak berlebihan kiranya jika
cinta dapat dimengerti serta diterima sebagai alat pemersatu antara dua insan
yang berbeda, baik secara kultur, budaya, etnis, hingga kela sosial. Cinta, tak
mengenal kesemuanya itu, karena cinta hanyalah kemurnian rasa yang tak dapat
diingkari, apalagi dikhianati oleh insan itu sendiri. Seperti kata pepatah,
jika ada sesuatu hal yang terkuat di dunia ini, maka itu adalah cinta.
Abdul
Malik Karim Amrullah, atau yang lebih dikenal dengan sebutan Hamka mencoba
mengetengahkan cinta sebagai sebuah kekuatan dalam melawan tradisi yang paten
di Minangkabau lewat novelnya berjudul “Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck”.
Kisah
Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck diterbitkan sebagai novel pada tahun 1939 dan
telah mengalami beberapa kali cetak ulang hingga sekarang, bahkan telah menjadi
best seller. Kisah inspiratif novel
ini lantas menggugah sutradara, Sunil Soraya untuk mengangkatnya di ranah
perfilman.
Sesuai
dengan kisahnya, film yang ditayangkan pada 19 Desember 2013 ini mengangkat
cerita tentang cinta dua insan yang dipisahkan oleh tradisi atau adat istiadat,
antara keturunan Minagkabau (Hayati) dengan Bugis (Zainuddin). Hayati adalah
keturunan Minangkabau asli, sedangkan Zainuddin keturunan campuran
Minanggakabu-Bugis Makasar.
Cinta
antara Hayati dan Zainuddin justru baru tumbuh ketika Zainuddin sudah yatim
piatu. Kedua orangtuanya telah meninggal, sementara Hayati merupakan anak
bangsawan. Hal inilah kemudian menjadi faktor penghambat cinta antara keduanya
karena orangtua Hayati yang notabene
bangsawan tidak menyetujuinya. Tetapi, Hayati selalu berusaha keras untuk mempertahankan
dan memperjuangkan rasa cintanya sebelum akhirnya ia harus mengalah kepada
kehendak kedua orangtuanya, dan dijodohkan dengan seorang pemuda asli keturunan
Minangkabau, juga dari keluarga berada benama Azis.
Sadar
akan status sosialnya, Zainuddin mengalah meski hatinya sangat kecewa. Hayati
pun tak dapat berbuat apa-apa kecuali menerima Azis sebagai suaminya. Mendengar
Hayati dan Azis akan segera menikah, Zainuddin lantas meninggalkan tanah
Minagkabau, Padang, untuk merantau ke pulau Jawa, tepatnya Batavia.
Meninggalkan Padang dengan kondisi perasaan dan hati hancur, Zainuddin
memperoleh dukungan dari sahabat dekatnya, yakni Muluk yang kemudian turut
serta bersamanya pergi ke tanah rantauan.
Rantauan
Zainuddin ke pulau Jawa berakhir di tanah Surabaya, Jawa Timur. Di sana,
Zainuddin kemudian menjadi seorang penulis terkenal. Mungkin karena kekuatan
cinta Hayati kepada Zainuddin, karena alasan tugas, Azis dan Hayati harus
tinggal di Surabaya pula, dan Hayati kaget, mendengar Zainuddin menjadi seorang
penulis terkenal.
Seperti
sebuah takdir, ada-ada saja jalan untuk mempertemukan cinta Zainuddin dan
Hayati. Sebab, setelah beberapa waktu tinggal di Surabaya, kondisi rumah-tangga
Azis dan Hayati mulai mengalami keretakkan, ditambah pula dipecatnya Azis dari
pekerjaannya. Azis pun mulai sadar bahwa rasa cinta Hayati sebenarnya memang
lebih besar kepada Zainuddin ketimbang dirinya, meski ia adalah suaminya. Azis
pun lantas meninggalkan Surabaya dan pergi ke Banyuangi meninggalkan sepucuk
surat berisi tentang penyerahan diri Hayati kepada Zainuddin. Catatan, setelah
Azis dipecat, ia dan istrinya terpaksa tinggal di rumah Zainuddin.
Singkat
cerita, meski Zainuddin masih menyimpan rasa kecewa tiada terhingga karena
Hayati dianggapnya menginkari janji atas cinta mereka, namun kenyataannya ia
masih sangat mencintai Hayati. Sebuah cinta yang murni dan tulus. Sayang,
kemurnian dan ketulusan cinta mereka harus diterjang kematian setelah Hayati
mengalami musibah, Kapal Van Der Wijck yang ditumpangnya tenggelam di pesisir utara pulau Jawa saat akan berlayar menuju kampung halaman,
Batipuh, Padang, Sumatera Barat. Meski jasad Hayati dapat ditemukan, namun
akhirnya ia menghembuskan nafas terakhir di sebuah rumah sakit di Cirebon.
Zainuddin pun menyesal, namun penyesalan itu sudah terlambat.
Film
ini dibintangi oleh aktor-aktor ternama seperti Herjunot Ali, Pevita Pearce,
Reza Rahadian, Randy Nidji, Gesya Sandy, Arzeti Bilbina, Kevin Andrean, dan
Jajang C. Film berdurasi 2 jam 45 menit ini tentu tidak hanya dilihat dari
kisah percintaannya, tetapi aspek penting lainnya terletak pada gambaran betapa
kuatnya tradisi serta sikap primordialisme dalam kehidupan masyarakat Indonesia.
Tradisi dan sikap primordialisme, tanpa bermaksud menjustifikasi, seakan telah
menjadi legitimasi kuat untuk mengukuhkan status sosial seseorang, serta
menghalangi keinginan orang untuk bersatu dalam perbedaan suku, etnis dan
budaya, padahal negara ini berdiri begitu atas keragaman itu.
Meski
sempat mendapatk an kritikan karena dinilai tidak islami, namun film ini layak
ditonton oleh seluruh pihak serta masyarakat Indonesia agar dapat mengambil
pelajaran penting betapa negara ini penuh keragaman yang merupakan realitas
nyata tak terbantahkan. Adapun sisi kurangnya terletak pada setingan film yang
terasa menujukkan agak kebarat-baratan (Belanda), terutama settingan keluarga
Hayati dan Azis, padahal kisahnya tidak melibatkan orang Belanda dan murni
masyarakat pribumi saja.