Dinamika
persoalan kebangsaan kita harus diakui tampil dengan wajah suram nan
mengkhawatirkan. Nyaris hampir di segala aspek kehidupan bangsa ini, persoalan
bak benang kusut yang sulit diurai dan sulit rasanya untuk dirajut. Namun
begitu, kesadaran kritis akan berbagai persoalan tersebut, di sisi lain, justru
menggugah diri kita untuk tampil ke permukaan sebagai bentuk rasa kepedulian
serta rasa kepemilikan terhadap semua aspek bangsa yang telah bebas dan merdeka
ini.
Tidak dapat
dipungkiri, upaya untuk melakukan berbagai refleksi dan evaluasi adalah cara
terbaik yang dapat dilakukan agar kita mampu mengurai pelan-pelan benang kusut
yang memang wajib dirajut kembali. Dalam kadar tertentu, refleksi seakan telah
menjadi semacam kebutuhan primer demi perbaikan dan kebaikan bersama.
Segala macam
ragam persoalan yang menerjang bangsa ini harus diakui akibat kesalahan sistem
yang tidak ditata dengan baik. Andaipun sistem itu dianggap telah baik, tetapi
hal itu justru dibuat sesuai dengan kepentingan kelompok tertentu, terutama
mereka yang memegang sistem.
Ambil contoh
misalnya persoalan tindak pidana korupsi. Selain karena runtuhnya moralitas
individu, tetapi juga merupakan akibat atau dampak dari sistem yang telah
dibuat sesuai dengan kepentingan para pemegang kebijakan belaka, bukan demi
kemaslahatan seluruh rakyat. Pada titik inilah mengapa kekuasaan acap kali
disebut-sebut sebagai salah satu godaan terberat bagi manusia. Dengan kata
lain, kekuasaan sering kali justru disalahgunakan oleh para pemegang kebijakan
demi kepentingan-kepentingan individu dan kelompok yang ikut berkuasa. Lebih
jauh lagi, maraknya praktek korupsi, di sudut lain juga disebabkan oleh
percaturan politik yang tidak mengedepankan keadilan, keseimbangan dan
kejujuran. Sehingga, hasil dari kompetisi perpolitikan tanah air hanya
melahirkan produk-produk yang berkualitas rendah, tidak bermutu, dan
asal-asalan. Pertanyaan reflektif kita, bagaimana mungkin bangsa ini akan
berubah jadi baik jika produk politik yang dihasilkan malah justru
pribadi-pribadi bandit?
Dalam pada
itu, produk-produk gagal hasil dari kompetisi politik itu tampil sebagai sosok
yang memegang kekuasaan, kebijakan dan sistem dalam skala besar. Sehingga
jadilah persoalan-persoalan yang sebelumnya telah kusut justru semakin tambah
kusut. Semboyannya manis, ideal dan tampak seakan menjanjikan, namun pada
perjalanan selanjutnya tampaklah kepribadian sesungguhnya dari
individu-individu itu yang terlalu buruk untuk dikatakan baik. Idealisme
habislah ia hanya dalam kumpulan-kumpulan retorika serta teks-teks yang
terbuang bersama sampah-sampah yang telah dibumihanguskan. Pada titik ini,
refleksi kritis kita memberikan sebuah kesimpulan bahwa bobroknya bangsa itu
adalah akibat diri, individu, dan manusia itu sendiri.
Terlepas
daripada itu, persoalan sesungguhnya adalah perebutan tentang kesejahteraan
secara material. Soal Sumber Daya Alam semisal, berarti ini juga berbicara
tentang kesejahteraan materi. Saking rakusnya manusia, keinginan untuk memiliki
kekayaan materi telah menjadi spirit serta ambisi individu dan kelompok
tertentu. Soal siapa yang akan menimkati SDA tersebut adalah tergantung siapa
yang berkuasan dan siapa yang memegang penuh kebijakan-kebijakan, pemegang
sistem dan tentu saja, pemodal. Mereka ini saling berinteraksi secara aktif dan
intim, bahkan tak segan-segan mereka melakukan semacam perselingkuhan dengan
kesepatakan saling menguntungkan masing-masing pihak. Artinya, dalam
pengelolaan SDA, rakyat tidak akan menikmati hasilnya, tetapi pemegang sistem,
kebijakan dan pemodal itulah yang menimbunnya demi kepentingan dan
kesejahteraan mereka sendiri, sedang rakyat tak lebih hanyalah mendapatkan sisa-sisa
ampasnya. Inilah sistem neoliberalisme yang begitu gencar digembar-gemborkan
itu.
Soal hukum pun
polanya tidak jauh berbeda. Rakyat lagi jadi korbannya. Saban hari kita
disuguhkan dengan pemberitaan-pemberitaan tak populer tentang vonis hukum
terhadap pejabat atau petinggi negara yang terbukti telah melakukan tindak
pidana dan berbagai pelanggaran hukum lainnya. Publik pun lantas terkesima
terhadap penangkapan dan vonis hukum yang dijatuhkan di meja hijau, meski
terkadang rakyat juga mengurut dada pertanda heran dan kecewa karena seringkali
vonis hukuman yang dijatuhkan justru tidak sesuai dengan kejahatan yang telah
dilakukan. Lalu ada apa di balik semua ini? Rakyat pun mulai bertanya-tanya
penuh keheranan yang tampak di wajah mereka, tak percaya dengan apa yang telah
disaksikan dan didengarkan.
Rakyat semakin
bertanya-tanya, lalu memberikan sebuah kesimpulan bahwa telah terjadi
ketimpangan di lingkungan lembaga-lembaga penegak hukum di negeri ini. Tebang
pilih dan pilih kasih adalah dua hal nyata yang tampak dari balik meja
penegakan hukum kita. Bahkan lebih jauh lagi, rakyat kemudian semakin sadar
betapa hukum telah menjadi komoditas yang diperjualbelikan dengan
tumpukan-tumpukan uang yang juga hasil dari kejahatan terhadap hasil
pengelolaan SDA di negeri ini.
Pungkasnya,
dinamika persoalan bangsa ini tak ubahnya benang kusut. Hebatnya, yang tampil ke
hadapan masyarakat seolah-olah dirinya lah sosok yang akan mengurainya, tetapi
sungguh disayangkan, tampilnya mereka malah membuat benang yang telah kusut
menjadi semakin kusut.
Sekali lagi,
bangsa ini sedang membutuhkan sosok-sosok yang memiliki kesadaran akan nasib
bangsanya. Berbekal kesadaran itulah yang nantinya akan dijadikan sebagai modal
dasar untuk benar-benar akan mengurai sekaligus merajut kembali benang-benang
yang telah sekian lama kusut itu.