Saturday 4 January 2014

Catatan Refleksi Tanpa Solusi

Dinamika persoalan kebangsaan kita harus diakui tampil dengan wajah suram nan mengkhawatirkan. Nyaris hampir di segala aspek kehidupan bangsa ini, persoalan bak benang kusut yang sulit diurai dan sulit rasanya untuk dirajut. Namun begitu, kesadaran kritis akan berbagai persoalan tersebut, di sisi lain, justru menggugah diri kita untuk tampil ke permukaan sebagai bentuk rasa kepedulian serta rasa kepemilikan terhadap semua aspek bangsa yang telah bebas dan merdeka ini.
Tidak dapat dipungkiri, upaya untuk melakukan berbagai refleksi dan evaluasi adalah cara terbaik yang dapat dilakukan agar kita mampu mengurai pelan-pelan benang kusut yang memang wajib dirajut kembali. Dalam kadar tertentu, refleksi seakan telah menjadi semacam kebutuhan primer demi perbaikan dan kebaikan bersama.
Segala macam ragam persoalan yang menerjang bangsa ini harus diakui akibat kesalahan sistem yang tidak ditata dengan baik. Andaipun sistem itu dianggap telah baik, tetapi hal itu justru dibuat sesuai dengan kepentingan kelompok tertentu, terutama mereka yang memegang sistem.
Ambil contoh misalnya persoalan tindak pidana korupsi. Selain karena runtuhnya moralitas individu, tetapi juga merupakan akibat atau dampak dari sistem yang telah dibuat sesuai dengan kepentingan para pemegang kebijakan belaka, bukan demi kemaslahatan seluruh rakyat. Pada titik inilah mengapa kekuasaan acap kali disebut-sebut sebagai salah satu godaan terberat bagi manusia. Dengan kata lain, kekuasaan sering kali justru disalahgunakan oleh para pemegang kebijakan demi kepentingan-kepentingan individu dan kelompok yang ikut berkuasa. Lebih jauh lagi, maraknya praktek korupsi, di sudut lain juga disebabkan oleh percaturan politik yang tidak mengedepankan keadilan, keseimbangan dan kejujuran. Sehingga, hasil dari kompetisi perpolitikan tanah air hanya melahirkan produk-produk yang berkualitas rendah, tidak bermutu, dan asal-asalan. Pertanyaan reflektif kita, bagaimana mungkin bangsa ini akan berubah jadi baik jika produk politik yang dihasilkan malah justru pribadi-pribadi bandit?
Dalam pada itu, produk-produk gagal hasil dari kompetisi politik itu tampil sebagai sosok yang memegang kekuasaan, kebijakan dan sistem dalam skala besar. Sehingga jadilah persoalan-persoalan yang sebelumnya telah kusut justru semakin tambah kusut. Semboyannya manis, ideal dan tampak seakan menjanjikan, namun pada perjalanan selanjutnya tampaklah kepribadian sesungguhnya dari individu-individu itu yang terlalu buruk untuk dikatakan baik. Idealisme habislah ia hanya dalam kumpulan-kumpulan retorika serta teks-teks yang terbuang bersama sampah-sampah yang telah dibumihanguskan. Pada titik ini, refleksi kritis kita memberikan sebuah kesimpulan bahwa bobroknya bangsa itu adalah akibat diri, individu, dan manusia itu sendiri.
Terlepas daripada itu, persoalan sesungguhnya adalah perebutan tentang kesejahteraan secara material. Soal Sumber Daya Alam semisal, berarti ini juga berbicara tentang kesejahteraan materi. Saking rakusnya manusia, keinginan untuk memiliki kekayaan materi telah menjadi spirit serta ambisi individu dan kelompok tertentu. Soal siapa yang akan menimkati SDA tersebut adalah tergantung siapa yang berkuasan dan siapa yang memegang penuh kebijakan-kebijakan, pemegang sistem dan tentu saja, pemodal. Mereka ini saling berinteraksi secara aktif dan intim, bahkan tak segan-segan mereka melakukan semacam perselingkuhan dengan kesepatakan saling menguntungkan masing-masing pihak. Artinya, dalam pengelolaan SDA, rakyat tidak akan menikmati hasilnya, tetapi pemegang sistem, kebijakan dan pemodal itulah yang menimbunnya demi kepentingan dan kesejahteraan mereka sendiri, sedang rakyat tak lebih hanyalah mendapatkan sisa-sisa ampasnya. Inilah sistem neoliberalisme yang begitu gencar digembar-gemborkan itu.
Soal hukum pun polanya tidak jauh berbeda. Rakyat lagi jadi korbannya. Saban hari kita disuguhkan dengan pemberitaan-pemberitaan tak populer tentang vonis hukum terhadap pejabat atau petinggi negara yang terbukti telah melakukan tindak pidana dan berbagai pelanggaran hukum lainnya. Publik pun lantas terkesima terhadap penangkapan dan vonis hukum yang dijatuhkan di meja hijau, meski terkadang rakyat juga mengurut dada pertanda heran dan kecewa karena seringkali vonis hukuman yang dijatuhkan justru tidak sesuai dengan kejahatan yang telah dilakukan. Lalu ada apa di balik semua ini? Rakyat pun mulai bertanya-tanya penuh keheranan yang tampak di wajah mereka, tak percaya dengan apa yang telah disaksikan dan didengarkan.
Rakyat semakin bertanya-tanya, lalu memberikan sebuah kesimpulan bahwa telah terjadi ketimpangan di lingkungan lembaga-lembaga penegak hukum di negeri ini. Tebang pilih dan pilih kasih adalah dua hal nyata yang tampak dari balik meja penegakan hukum kita. Bahkan lebih jauh lagi, rakyat kemudian semakin sadar betapa hukum telah menjadi komoditas yang diperjualbelikan dengan tumpukan-tumpukan uang yang juga hasil dari kejahatan terhadap hasil pengelolaan SDA di negeri ini.
Pungkasnya, dinamika persoalan bangsa ini tak ubahnya benang kusut. Hebatnya, yang tampil ke hadapan masyarakat seolah-olah dirinya lah sosok yang akan mengurainya, tetapi sungguh disayangkan, tampilnya mereka malah membuat benang yang telah kusut menjadi semakin kusut.
Sekali lagi, bangsa ini sedang membutuhkan sosok-sosok yang memiliki kesadaran akan nasib bangsanya. Berbekal kesadaran itulah yang nantinya akan dijadikan sebagai modal dasar untuk benar-benar akan mengurai sekaligus merajut kembali benang-benang yang telah sekian lama kusut itu.
Disqus Comments