Saturday 24 January 2015

SISI LAIN KEBERUNTUNGAN (Sebuah Prolog)

Hidup selalu disertai keberuntungan. Keberuntungan dilihat dari berbagai macam aspek, kesempatan, peluang hingga kesuksesan. Seorang individu yang berhasil memperoleh ketiga hal tersebut tentu tak luput dari faktor keberuntungan yang menyertainya. Hebatnya, keberuntungan itu tidak didapatkan oleh semua orang, hanya sedikit dari kebanyakan orang saja.

Ada sebuah pernyataan menarik dari seorang sahabat penulis. Suatu ketika dia pernah berujar jika berdoa itu jangan mendoakan seseorang agar menjadi sukses, tetapi doakanlah dia kelak menjadi seorang yang beruntung dan menemukan berbagai keberuntungan dalam hidupnya. Apa lacur?

Keberuntungan adalah dimensi lain dalam proses kehidupan manusia. Kesempatan dan peluang terbentang luas di hadapan, tetapi tanpa faktor keberuntungan niscaya kedua hal tersebut lewat dan belum tentu didapatkan. Ambil contoh misalnya ada dua orang yang sedang berkompetisi untuk memperoleh sesuatu hal. Keduanya mengerahkan kemampuan diri, menunjukkan kualitas diri supaya berhasil memperoleh sesuatu hal yang sedang diperebutkan itu. Namun, keduanya nanti tentu saja salah satunya tersingkir dan satu lainnya menang atau berhasil. Nah, di sana sudah barang tentu keberhasilan yang diperoleh salah satu di antara keduanya tak terlepas dari faktor keberuntungan itu, bukan hanya persoalan kualitas dan kemapuan diri yang berbeda semata.

Perihal kemampuan dan kualitas diri, sebetulnya semua individu punya. Sebagai seorang individu yang terus dituntut untuk berkembang, dalam setiap momentum sudah barang tentu individu-individu tersebut mengerahkan segala kemampuan diri berharap memperoleh hasil yang optimal. Namun, fakta di lapangan belum tentu sejalan dengan harapan seorang individu. Kadang kala seorang individu merasa dirinya telah maksimal dalam mengerjakan sesuatu perkara, tetapi yang didapatkan justru kegagalan. Individu itu lantas heran dan seakan tak percaya dengan hasil yang ia peroleh, padahal menurut dia saingannya belum tentu lebih baik daripada dirinya. Lagi-lagi, di situ ada faktor keberuntungan yang tidak disadari.

Suatu ketika, penulis mengikuti program tes dan wawancara dalam acara bertajuk rekruitmen karyawan di sebuah perusahaan ternama. Pesertanya tak lebih dari 50 orang saja yang datang dari berbagai kalangan, identitas, serta pengalaman masing-masing. Dari 50 peserta itu nanatinya hanya akan dipilih beberapa orang saja sesuai dengan jumlah yang dibutuhkan perusahaan. Tes dan wawancara kala itu berlangsung selama sehari penuh, dari pagi hingga sore hari.



Penulis coba mengerahkan segala kemampuan diri dalam proses tes tertulis dan wawancara. Dalam wawancara penulis bahkan menjawab berbagai pertanyaan dengan jawaban-jawaban yang cukup meyakinkan. Penulis hadapi semua pertanyaan itu dengan rasa percaya diri tinggi.

Seusai tes dan wawancara, penulis pulang dengan dada terbusung. Yakin, nanti bakal lolos seleksi dan diterima. Penulis berharap penuh. Pasalnya, perusahaan yang sedang melakukan rekruitmen tersebut memang sejak dulu menjadi dambaan, dan telah cukup lama menunggu momentum diadakannya rekruitmen tersebut.

Proses tes dan wawancara memang cukup melelahkan. Sebab, pagi-pagi sekali penulis sudah bangun, mempersiapkan diri seoptimal mungkin untuk menghadapi tes dan wawancara tersebut. Kedua proses seleksi itu pun telah berlalu hari itu juga. Sore harinya, penulis pulang dengan membawa optimisme tinggi, 10 hari ke depan penulis yakin pengumuman hasil tes dan wawancara itu salah satu nama yang tercantum dalam kata "lolos" adalah nama penulis sendiri.

Sepuluh hari itu pun sudah berlalu. Tibalah saatnya penulis melihat hasil seleksi sepuluh hari yang lalu itu. Setelah dilihat, penulis lalu tersentak, tak percaya dengan kenyataan pahit dari hasil tes dan wawancara itu. Langit serasa runtuh, ledakan kekecewaan membuncah di dalam hati dan pikiran. Dalam pengumuman itu, memang nama penulis tercantum namun dalam kolom "tidak lolos dan tidak memenuhi kualifikasi yang dibutuhkan perusahaan". Alamaak, betapa kejamnya dunia ini gumam penulis!

Hari itu pula penulis bermuram durja, lesu dan patah semangat. Lebih-lebih setelah mendengar kabar, sahabat penulis yang juga ikut dalam prosesi tes dan wawancara sepuluh hari lalu itu dinyatakan lolos dan diterima. Kekecewaan semakin terasa. Penulis coba redam kekecewaan, karena kabar lainnya, sabahat penulis yang satunya lagi juga mendapatkan hasil yang sama seperti yang penulis dapatkan dalam pengumuman.

Nah, kisah di atas adalah salah satu kejadian yang coba penulis simpulkan. Masih banyak kisah lainnya yang serupa, tetapi apa yang dikisahkan di atas hanyalah salah satu contoh saja. Penulis kemudian berpikir lebih dalam, yakni soal faktor keberuntungan yang tak boleh dipandang sebelah mata, bukan hanya tentang sebuah kompetisi dan persaingan, tetapi juga di seluruh aspek kehidupan, mungkin tak terkecuali pula dalam soal percintaan. Hahaha. Intermezo!

Gagasan dan ide yang ingin dicurahkan dalam tulisan ini tentang sisi lain keberuntungan itu sendiri. Dari beberapa kejadian, baik yang penulis alami sendiri maupun dari kisah orang lain, didapatkan sebuah kesimpulan subyektif berupa arti penting sebuah keberuntungan dalam seluruh aspek kehidupan kita. Hal ini menarik untuk diperbincangkan mengingat orang acap kali menafikan faktor itu di setiap keberhasilan yang diperoleh dan didapatkan.Padahal, di balik keberhasil dan kesuksesan yang telah diperoleh ada faktor keberuntungan yang menyertainya karena toh orang lain tidak memperolehnya.

Pada prinsipnya, keberuntungan itu adalah hak bagi setiap diri seorang individu. Keberuntungan selalu menyertai diri seseorang di dalam berbagai aspek dan bidang kehidupan. Hanya saja, persoalannya mengapa keberuntungan itu kadang kala datang terlambat, bahkan sering kali diperoleh dari sesuatu hal yang justru tak pernah diinginkan, tak pernah terpikirkan, dan tak pernah diharapkan?

Dalam konsep Islam, keberuntungan lebih diartikan sebagai rejeki. Hanya dengan keyakinan serta meniatkan segala sesuatunya semata untuk Tuhan, niscaya rejeki (keberuntungan) itu akan datang dengan sendirinya tanpa terduga (yarzuquhu min haitsu la yahtasib).  Dengan kata lain, meluruskan niat ketika mengerjakan sebuah pekerjaan adalah suatu keharusan serta jadi faktor penentu bahwa pekerjaan itu akan memperoleh hasil yang optimal.

Nah, coba deh kit mulai berpikir kembali, berpikir lebih dalam. Sikap ambisius, tak kompromis, terlalu terobsesi, ngotot, dan mungkin juga terlalu percaya diri bisa jadi merupakan beberapa batu sandungan yang menggagalkan kita untuk memperoleh apa yang disebut keberuntungan itu. Hal lain selain itu, tampaknya lebih pada urusan tehnis, semisal kurang telitinya kita pada saat mengerjakan sesuatu pekerjaan sehingga terdapat kesalahan-kesalahan yang justru tidak kita sadari. Kalau pun sadar, pengakuan atas kesalahan itu harus terlebih dahulu melalui orang lain yang mengkoreksi, dan itu tentu sudah terlambat.Lantas bagaimana caranya agar kita selalu menjadi orang yang beruntung?

Semua perkara sebenarnya kembali pada diri seorang individu. Manusia adalah makhluk potensial yang dibekali dengan berbagai kelengkapan diri oleh Sang Maha Kuasa. Untuk alasan itulah mengapa introspeksi dan evaluasi diri begitu dianjurkan. Introspeksi dan evaluasi diri tentu bukan sekadar berarti kita mengingat-ingat dosan dan kesalahan semata, melainkan usaha untuk menemukan serta mengukur kadar diri; potensi, kemampuan, kualitas, serta kelemahan diri.

Lebih-lebih di era modern ini, menggugah potensi dan kemampuan diri mutlak diperlukan sebagai dampak dari persaingan hidup yang keras. Mendapatkan sebuah pekerjaan dan rejeki untuk memenuhi kebutuhan hidup bukanlah perkara yang mudah semudah membalikkan telapak tangan. Orang kadang rela melakukan apapun demi memenuhi kebutuhan hidupnya, sekalipun harus menerabas norma dan etika kehidupan, kadang orang tak lagi memperdulikannya. Kita, orang yang masih punya sedikit kesadaran harus berbeda dan jangan sampai melakukan apa yang orang lain lakukan. Sebab, keberuntungan tidak akan lari ke manapun. Ia tetap selalu menyertai kita, jejak langkah dan usaha kita, dengan catatan kita tahu siapa diri kita, tahu tentang potensi, kualitas dan kemampuan diri, tahu dengan kadar diri serta tahu dengan keunikan diri, dan setelah itu tempatkan diri pada posisi yang sesuai dengan kadari diri kita tersebut. Begitulah....
Disqus Comments