Saturday 24 January 2015

WHEN NOVEMBER RAIN

Seminggu Kemudian....

Sabtu, 24 Januari 2015.
Cepat sekali hari berlalu.
Berlalunya hari demi hari mengajarkan kepada kita bahwa sejauh apapun itu harapan dan impian, kelak harinya pasti akan tiba juga. Untuk itulah mengapa orang kemudian mengatakan bahwa mimpi pasti akan terwujud, hanya tinggal bersabar tuk menunggu waktunya tiba.
Tak ubahnya harapan dan impian, Wulan akhirnya tiba pada suatu masa di mana dia harus mengumbar rasa bahagianya.
Hari ini, Sabtu, 24 Januari.
Wulan ulang tahun. Ya, ultah yang ke-22 dari usianya.
Harus diakui, Wulan memang masih muda. Setidaknya tampak dari usianya.
Penulis datang di hari bahagianya Wulan. Tentu saja.
Momen spesial seperti ini memang sayang untuk dilewatkan begitu saja, dan penulis tak mau melewatkannya. Tentu saja.
Tak hanya Wulan, penulis pun sudah menanti-nanti momentum ultah ini. Akhirnya, penantian itu datang jua, karena memang sudah saatnya tiba.
Hari ini, Sabtu, 24 Januari.
Wulan tampak cantik nan jelita. Harus diakui, dia memang sosok gadis yang rupawan. Tak salah penulis kerap memujinya.
Kali ini, penulis tambah terkesima setelah berjumpa dan bertatap muka dengan Wulan. Dua bulan bukanlah waktu yang singkat. Selama waktu itu penulis harus menahan diri tuk berjumpa dengan dirinya.
Wulan tampak dikelilingi teman-temannya. Penulis datang seorang diri, membawa diri, memberanikan diri tuk menyapa Wulan sembari mengucapkan selama ulang tahun.
“Selamat ulang tahun Wulan,” ucap penulis tepat di hadapannya.
“Semoga resolusi di tahun ini dan seterusnya terwujud. Aku mendoakanku selalu, bahkan sebelum hari ultah ini tiba, aku sering menyebut namamu dan memuji kecantikanmu meski baru kali ini aku bisa berjumpa denganmu,” sambung penulis.
Wulan hanya diam.
Teman-teman di sekelilingnya tampak bingung. Tentu saja. Mereka tak kenal, penulis tak kenal, dan bahkan kita tak pernah saling bertemu. Penulis abaikan wajah-wajah bingung itu. Fokus penulis hanya kepada Wulan.
“Jujur saja, sejak dua bulan belakangan, aku telah merasakan jatuh cinta kepadamu Wulan. Jika kau ijinkan, aku ingin mencintai dan menyayangimu, bahkan jika berkenan aku ingin jadi pendampingmu, mulai saat ini dan seterusnya hingga nafasku berakhir,” ungkap penulis.
Lagi-lagi Wulan tak berkata apa-apa. Suasana riuh tiba-tiba terdiam. Wajah-wajah bingung itu tampak terkejut, kaget bukan kepalang mendengar kata-kata dan kalimat yang terlontar dari bibir penulis. Mungkin mereka tak menyangka, bahwa orang asing bernama Eriec Dieda ini datang tak sekadar mengucapkan selamat ulang tahun tetapi sekaligus mengungkapkan perasaan cinta kepada Wulan yang sejak tadi terdiam membisu.
Sorotan mata mereka tajam menghujam ke arah penulis. Penulis merasa seperti sedang diserang seribu pasukan bersenjata lengkap yang akan menancapkan senjatanya di dada penulis. Mungkin saja mereka geram, karena keberanian dan kelancangan penulis terhadap Wulan, padahal penulis adalah orang asing yang tak mereka kenali.
Penulis gugup, kaku dan pasrah.
“Kalau pun mereka akan menancampak pedangnya di dadaku, tak mengapa. Karena aku akan mati bersama kebaikan cinta serta ketulusan, kejujuran dan kesungguhan rasa,” pekik penulis dalam hati.
“Andaipun aku mati karena pedang-pedang itu, maka kematianku tak akan sia-sia karena yang terpenting aku sudah melepaskan dosa berupa perasaan cinta yang tak belum sempat terucap dan kini telah terucap. Ya, perasaan cinta yang dipendam adalah sebuah dosa bagiku, karena itu aku mengungkapkan dan mengucapkannya,” gumam penulis dalam hati.
Sorotan mata-mata tajam itu ibarat tombak yang siap ditancapkan. Sepertinya teman-teman Wulan geram melihat kelakuakan penulis. Tetapi, penulis sudah siap apapun yang akan terjadi, sekalipun nyawa penulis taruhannya.
Pesta ulang tahun seakan berubah menjadi angkara murka. Penulis serasa menjadi pihak yang dimusuhi banyak orang, dan mustahil jika harus melawan. Untuk itu, penulis memilih pasrah.
Dalam getir, penulis masih merasa sedikit ketenangan. Tenang karena di hadapan penulis adalah Wulan. Sejak tadi dia hanya terdiam, mungkin agak terkejut dengan aksi penulis yang nekad mengungkapkan rasa cinta di hadapan banyak orang. Lebih-lebih mereka merupakan teman lama Wulan yang tentu saja lebih dahulu mengenal dirinya ketimbang penulis.
Sekali lagi, penulis pasrah. Penulis masih tertunduk  membungkuk di hadapan Wulan dengan kedua kaki berlutut.
“Mas, bangun. Jangan kayak gini. Udah, bangun, bangkit lalu berdiri,” pinta Wulan.
Penulis menuruti permintaan Wulan, lalu berdiri di hadapannya sembari menundukkan wajah.
“Mas, angkat wajahmu, lalu lihat mataku,” pinta Wulan lagi.
Penulis menuruti lagi permintaannya itu. Pelan-pelan penulis mengangkatkan muka dan menatap mata Wulan. Wajah penulis dan wajah Wulan tak berjarak jauh, paling hanya sekilan saja.
Penulis pun menatap wajah dan matanya.
“Dengarkan aku mas. Dengarkan baik-baik. Ini hari ulang tahunku, hari bahagiaku. Aku menghormati apa yang udah kamu ucapkan, dan itu berhasil membuatku cukup kaget. Ya, kaget karena aku nggak nyangka kamu bakal nembak aku di hadapan orang banyak. Dan aku cukup terkesan dengan caramu,” kata Wulan.
“Untuk itu, kamu nggak perlu khawatir mas, sebab aku punya perasaan yang sama seperti apa yang kamu rasakan kepadaku. Jadi, aku mau jadi kekasihmu asalkan kamu tulus, ikhlas, sungguh-sungguh dan tanggungjawab,” ucap Wulan lanjut.
Suasana menjadi haru. Tepuk tangan dari seluruh orang yang ada di ruangan memecah kebuntuan, keterdiaman dan kegeraman yang tadinya sempat tercipta.  Jawaban yang dilontarkan Wulan seperti hujan yang turun membasahi dan menyirami bumi seisinya. Orang kemudian menjadi tenang hati dan jiwanya. Tak terkecuali penulis sendiri.
Senyum lebar melingkari wajah penulis, begitu pun Wulan. Rasa bahagia sungguh tak terhingga, dan seisi ruangan pun turut bahagia.
Seketika itu, penulis memeluk Wulan lalu mengecup keningnya, lalu berkata; “Aku sunggguh mencintaimu, aku ingin kelak kau lah yang menjadi ibu dari anak-anakku, anak kita. Mulai detik ini, cintaku hanya untuk dirimu, Wulan,” kata penulis.
“Iya mas, aku percaya dengan kesungguhan dan ketulusan cintamu, aku percaya dan aku juga menyayangimu,” sahutnya.
Penulis bahagia, Wulan pun bahagia. Semua bahagia. Acara ulang tahun ke-22 Wulan itu sangat meriah. Wulan bahagia, penulis pun ikut bahagia. Tentu saja.
Pada hari ultah Wulan itu, selain mengungkapkan perasaan cinta kepadanya, penulis juga menghadiahkan sebuah novel yang sengaja penulis karang khusus untuk Wulan. Novel itu berjudul “When November Rain”.
Hanya itu kado dari Eriec Dieda, Sang Penulis.#Sekian
Disqus Comments