Menganggur adalah aib. Tidak punya pekerjaan disebut menganggur. Orangnya disebut pengangguran.Padahal, sejatinya tak ada orang yang ingin menganggur atau tak punya sebuah pekerjaan yang dapat menghasilkan.
Seperti telah jadi kesepakatan umum, pengangguran dianggap sebagai persoalan sosial yang rumit dan pelik. Pengangguran dikatakan sebagai sebuah fenomena masalah sosial yang harus diberantas dan dilenyapkan dari lingkungan masyarakat. Semua orang sepakat, pengangguran masuk ke dalam jenis penyakit sosial karena mereka memandang pengangguran merupakan deretan orang-orang malas yang tidak mau berusaha dan bekerja. Di sisi lain, semua orang juga sepakat bahwa hanya orang yang bekerja dan punya pekerjaan lah dianggap orang baik dan maju.
Di era peradaban pasar ini, pekerja memang memperoleh derajat tinggi di mata orang. Di abad milenium ketiga seperti sekarang, manusia dituntut untuk bekerja dan menjadi pekerja, entah itu sebagai karyawan di sebuah perusahaan maupun berbisnis. Kebutuhan orang akan uang dan materi semakin mendesak, sehingga gelombang kemajuan jaman mengalir sedemikian derasnya. Semboyan yang mencuat, siapa yang diam tertinggal dan siapa yang bekerja akan memperoleh kemajuan serta perubahan. Ya, perubahan taraf hidup, yang tadinya tak berpunya menjadi punya, atau sekurang-kurangnya kebutuhan hidup tercukupi.
Di era pasar, segala bidang digerakkan secara masif. Arusnya hanya satu, menuju peradaban pasar, manusia-manusia dipersiapkan untuk berkompetisi di dalamnya, kompetisi secara material. Namun hebatnya, arus yang dibangun di seluruh aspek kehidupan itu justru berhasil menciptakan individu-individu yang tangguh, cerdas, kreatif, inovatif dan berkualitas. Fakta itu sungguh tak terbantahkan dan nyata di dalam setiap lini kehidupan.
Meski demikian, pengangguran tetap jadi aib dalam kehidupan sosial. Bukannya malah bertambah, angka pengangguran justru kian meningkat tajam dari tahun ke tahun. Derasnya arus pertumbuhan penduduk berhasil menciptakan peluang-peluang pekerjaan semakin menyempit. Semua orang butuh pekerjaan tetapi lahan pekerjaan itu nyatanya tak mampu menampung laju pertumbuhan penduduk itu, maka terciptalah berbagai persaingan dan saling sikut antar manusia satu dengan manusia lainnya.
Bayangkan saja, dari kurang-lebih 250 juta jiwa penduduk Indonesia, 7,15 juta kepala di antaranya tak punya pekerjaan. Meski hanya 7,15 juta jiwa yang menganggur, tetapi itu bukanlah angkat yang sedikit. Dengan kata lain, jumlah pengangguran di Indonesia masih relatif banyak dan belum mampu diselesaikan oleh para penyelenggara negara.
Negara memang bukanlah institusi sosial. Tetapi negara bertanggungjawab penuh terhadap kondisi sosial-ekonomi rakyatnya lewat berbagai program yang digalakkan di semua bidang kehidupan. Begitulah upaya para penyelenggara negara untuk membendung serta memberantas pengangguran dan kemiskinan. Pengangguran dan kemiskinan adalah dua hal yang saling berhubungan, sehingga penyelenggara negara benar-benar sibuk membenahi agar kedua hal tersebut dapat diselesaikan atau sekurang-kurangnya angka pengangguran dan kemiskinan dikurangi. Janjinya adalah kesejahteraan.
Di lain pihak, coba sejenak kita berpikir apakah para penganggur itu mutlak orang yang tak punya kemampuan diri? Mengapa ada istilah pengangguran terdidik di negeri ini? Mengapa angka pengangguran tak berkurang?
Untuk menjawab pertanyaan terakhir, tentu saja meledaknya pertumbuhan penduduk ditunding sebagai biang keladi. Lantas bagaimana dengan pertanyaan pertama dan kedua? Nah, penulis mencoba berbagi ide dan gagasan mengenai kedua fenomena tersebut lewat tulisan singkat ini di mana keduanya saling bersinggungan.
Pengangguran Terdidik
Istilah pengangguran terdidik sebenarnya bukan perkara baru. Istilah ini mulai mencuat berangkat dari fenomena banyaknya sarjana-sarjana yang tidak bekerja pasca menyelesaikan studi. Seperti diketahui, Indonesia memiliki banyak sarjana, bahkan setiap tahun membludak. Bagaimana tidak, hampir setiap tahunnya perguruang tinggi-perguruan tinggi di dalam negeri berhasil memproduksi sarjana hingga puluhan ribu. Para sarjana itu lalu harus berhadapan dengan kondisi sosial masyarakat yang memiliki persoalan sangat kompleks. Dengan kata lain, para sarjana itu menjadi bagian dari masyarakat setelah mengakhiri masa studinya.
Hidup di tengah-tengah masyarakat, para sarjana terdidik itu pun harus mampu menyesuaikan diri. Tuntutan paling nyata adalah soal pekerjaan. Tanpa pekerjaan, sarjana-sarjana itu hanya dianggap sebagai sampah masyarakat, padahal mereka jelas-jelas tedididik dan telah memperoleh pendidikan sekian tahun.
Untuk itu, kaum terdidik atas nama sarjana-sarjana tersebut sebetulnya tak boleh dipandang sebelah mata meski mereka terkadang tampak masih menganggur dan tak punya pekerjaan. Sebab, mendapatkan pekerjaan memang bukanlah perkara mudah di era persaingan seperti sekarang karena lahan pekerjaan telah menjadi sesuatu hal yang diperebutkan masyarakat. Perebutan dan persaingan memperoleh pekerjaan bisa dibilang teramat keras, bahkan tak sedikit malpraktek suap menyuap dilakukan demi sebuah pekerjaan. Di sisi lain, masih berakarnya nalar primordialisme membuat akses untuk memperoleh pekerjaan semakin sempit.
Dalam pada itu, kaum terdidik sepatutnya dapat diberdayakan atau bisa memberdayakan diri. Mereka punya modal dasar, pengetahuan dan pengalaman yang telah diperoleh selama menuntut ilmu. Ide dan gagasan para sarjana sepatutnya ditampung dan didengarkan, sehingga nantinya dapat diketahui potensi serta kemampuan diri mereka untuk kemudian dikembangkan menjadi sebuah peluang garapan atau pekerjaan.
Persoalan krusial yang membuat para sarjana itu tak memperoleh pekerjaan adalah fakta dan realitas nyata di lapangan bahwa mereka tak pernah diberdayakan, tak pernah ditampung ide dan gagasannya. Bukan sekadar soal malas atau rajin semata karena itu lebih merupakan persoalan individu yang kadang dipandang sebelah mata hanya karena mereka tidak bekerja.
Gagasan yang diangkat dalam artikel ini sebenarnya keinginan penulis untuk menampung suara para pengangguran terdidik itu. Dengan kata lain, tulisan ini ingin menggugah para penyelenggara negara dan masyarakat untuk memperhatikan secara seksama keberadaan para sarjana yang sampai hari ini belum memperoleh sebuah pekerjaan. Suara pengangguran yang penulis angkat sebagai inti dari tulisan ini mengajak kepada seluruh elemen negara dan elemen masyarakat untuk memberikan solusi nyata bagi para pengangguran terdidik supaya mereka mampu mengembangkan diri menciptakan lapangan pekerjaan yang nantinya diharapkan mereka tak lagi menganggur dan bingung dalam menjalani kehidupan.
Tak sedikit memang para motivator dan entrepreneur yang mencoba memberikan semangat kepada para pengangguran terdidik agar mereka segera mengembangkan diri dengan cara membuka sebuah usaha. Namun, bukan perkara mudah bagi pengangguran terdidik untuk segera menemukan ide-ide dan gagasan-gagasan baru untuk mereka mampu menjadi seorang pekerja yang berpenghasilan. Rumus hidup seakan benar adanya bahwa kesuksesan dalam pekerjaan harus didapatkan lewat jerih payah. Hal itu seperti telah menjadi sebuah takdir hidup yang seakan tak bisa dirubah.
Bagi penulis sendiri, apa yang dipahami sebagai rumus dan takdir hidup demikian itu bukanlah pandangan mutlak untuk terus mengatakan kepada dunia bahwa seseorang harus menderita terlebih dahulu untuk kemudian meraih kesuksesan. Bukankah kita telah sepakat bahwa hidup adalah saling tolong-menolong? Bukankah kita diajarkan untuk menjadi orang bisa bermanfaat bagi orang lain? Bukankah antar sesama manusia kita harus saling dukung mendukung?
Doktrin-doktrin humanisme dan manusiawi itu telah berkali-kali didengarkan dan dipahami. Tetapi sayangnya, manusia terkadang lebih merasa nyaman dengan kedirian dan sikap individualismenya. Orang bahkan seperti tak sempat memikirkan orang lainnya. Orang kemudian lebih sibuk mengurusi kesejahteraan diri sendiri ketimbang memikirkan orang lain yang notabene hidup berdampingan.
Pungkasnya, suara pengangguran berkeinginan mengumpulkan para pengangguran terdidik untuk diberdayakan secara kolektif sehingga ide dan gagasan mereka tercurahkan demi menciptakan lapangan pekerjaan. Pengangguran terdidik adalah deretan individu-individu yang bukan tidak punya kualitas, kemampuan dan potensi diri. Mereka punya pemikiran, punya ide, punya gagasan, punya kemauan, punya wawasan serta punya keinginan kuat untuk sekadar bekerja lalu memperoleh sebuah penghasilan. Hanya saja, tidak ada wadah kosong untuk mereka dapat mengekspresikan dan menuangkan ide-ide dan gagasan-gagasannya karena orang lain sudah terlalu sibuk dengan sikap individualismenya yang egoistis itu.