Saturday 24 January 2015

WHEN NOVEMBER RAIN

Wulan dan Kekasih Azis

Kedai kopi. Mato.
Bersama Azis, penulis nongkrong berdua di sebuah kedai kopi di sebelah utara Jogja itu.
Banyak kisah, cerita dan pengalaman yang kami perbincangkan. Maklum, lama kami tak bersua. Azis, bagi penulis merupakan sosok seorang sahabat lama yang serasa telah jadi sudara sendiri.
Kini, Azis sudah bekerja kantor. Dia mengaku menikmati pekerjaaannya sejak setahun belakanga ini. Sementara penulis sendiri tak bekerja laiknya Azis. Penulis lebih suka turun ke lapangan dan setelah itu ditulis dan disusun dalam bentuk kalimat sempurna untuk kemudian diserahkan kepada yang memberikan pekerjaan. Begitulah pekerjaan penulis yang amat penulis gemari sejak setahun belakangan.
Ada bagian menarik dari cerita Azis.
Bagian menarik itu ketika penulis menanyakan tentang siapa pacarnya. Ya, penulis sengaja menanyakan pacar karena penulis yakin Azis belum juga menikah seperti halnya penulis. Kalau pun Azis menikah, penulis yakin dia pasti akan mengundang.
Azis menjawab pertanyaan penulis. Dia bilang pacarnya gadis Wonosari dan telah menjalin asmara sudah cukup lama, bahkan sudah ada rencana naik ke pelaminan.
Penulis senyam senyum dengarkan cerita Azis. Tersenyum bahagia mendengarkan rencananya untuk segera menikah.
Dalam hati, penulis berceloteh; “Kelak, aku juga akan menikah dengan gadis asli sana, sama sepertimu Zis.”
Kopi pun terasa semakin nikmat setelah mendengar cerita Azis. Suasana hati menjadi semakin membahana. Khayalan-khayalan semakin meninggi, harapan dan asa terasa semakin dekat.
“Lah, kamu kapan bro rencana nikah?,” tanya Azis balik.
Sebuah pertanyaan yang agak sulit dijawab oleh penulis. Tetapi penulis menanggapi pertanyaan Azis dengan santai sembari tertawa.
“Ya, sebenarnya sih tahun 2015 ini targetku udah punya istri Zis. Hanya saja masih sekadar target, dan diusahakan supaya benar-benar terwujud,” ucap penulis diplomatis.
“Oh begitu. Lah emang udah ada calonnya?,” tanya Azis lagi.
Penulis menarik nafas panjang sebelum menjawab pertanyaan kedua dari Azis. Menarik nafas, memantapkan diri tuk berikan sebuah jawaban pasti dan meyakinkan.
“Insyaallah sudah ada. Dia sama seperti pacarmu, gadis asli Wonosari,” jawab penulis yakin.
Azis tersenyum lega. Tampak dia penasaran dan ingin tahu siapa sosok gadis yang dimaksud. Sejuru kemudian dia mengajukan pertanyaan lagi seperti sedang mengintrogasi penulis.
“Wah, hebat kamu bro. Berarti kita sama dong. Tetanggaan kita nanti bro. Setuju, aku mendukungmu,” ujar Azis.
“Hahaha... bisa aja ente Zis,” cetus penulis.
“Kalau boleh tahu, namanya siapa? Dan coba, sini aku lihat photonya,” pinta Azis.
Segera penulis menunjukkan photo Wulan yang tersimpan di dalam HP.
“Namanya Lativah Wulandari. Aku panggil dia Wulan. Kenal baru dua bulan belakangan ini, dan belum pernah ketemu sama sekali karena belum ada kesempatan,” penulis menjelaskan.
Azis melihat-lihat photo-photo tersebut.
“Hmm, cantik. Gadis yang beruntung,” komentar Azis.
Kening penulis tiba-tiba mengkerut mendengarkan komentar Azis. Penulis tak paham apa yang dimaksudkannya gadis yang beruntung.
“Dia gadis yang beruntung bisa mendapatkanmu, dan kamu juga beruntung bisa mendapatkan dia. Kalian cocok dan serasi. Aku mendukung kalian berdua,” jelas Azis.
Penulis hanya mengamini apa komentar Azis. Penulis mengungkapkan bahwa Wulan adalah sosok yang mampu menggetarkan hati penulis dan telah membuat penulis terkesima meski sampai detik ini kami tak kunjung berjumpa.
“Iyalah. Biasanya, cinta yang hadir sebelum perjumpaan itu adalah bentuk ketulusan dan kesungguhan yang nyata. Kalian hebat, belum bertemu aja kalian sudah bisa saling jatuh cinta dan ini beda dengan orang lain pada umumnya. Orang lain bertemu dulu baru jatuh cinta dan kebiasaan seperti itu terkadang rasa cintanya patut dipertanyakan apakah benar-benar tulus atau tidak. Nah, aku sangat yakin, cintamu sama Wulan tak lebih hanyalah berangkat dari ketulusan, kejujuran dan kesungguhan. Ketiga hal itu nantinya akan melahirkan sikap tanggungjawab yang menjadi penopang paling kuat rasa cinta di antara kalian. Apalagi kamu bro, aku kenal kamu adalah sosok yang bertanggungjawab sehingga ketika kalian sudah bersama niscaya kebahagiaan adalah milik kalian berdua, tak ada yang lain,” papar Azis panjang lebar.
Azis adalah sahabat lama penulis. Sahabat seperjuangan. Sahabat yang selalu bersama dalam suka maupun duka dulu di masa kami masih mahasiswa. Hingga kini, jalinan persahabatan di antara kami masih terasa kental meski sudah tak lagi bersama-sama. Dia merupakan sosok sahabat yang paham benar dengan diri penulis. Beda dengan Avid meski sama akrabnya, Azis lebih bijak dalam bertutur dan bersikap, sementara Avid lebih ceplas ceplos dan gemar mengintrik. Namun, bagi penulis keduanya merupakan sahabat karib yang pernah sepenanggung-seperjuangan di masa kuliah beberapa tahun silam.
“Doakan aja Zis kelak kami secepatnya dipersatukan. Tekadku, sebelum tahun 2015 berakhir, kami sudah menikah dan membangun rumah tangga,” ujar penulis yakin.
“Wah.. wah, sama dengan rencanaku.wah, kita nikah bareng aja kalau gitu,” canda Azis sembari tertawa terbahak.
Penulis pun ikut tersenyum.
Penulis da Azis tenggelam dalam canda tawa di kedai kopi itu hingga sore hari. Gerimis mulai turun. Kami berdua pulang menyudahi kebersamaan. Lanjut....
Disqus Comments