Wulan dan Kekasih Azis
Kedai kopi. Mato.
Bersama Azis, penulis nongkrong berdua di sebuah
kedai kopi di sebelah utara Jogja itu.
Banyak kisah, cerita dan pengalaman yang kami
perbincangkan. Maklum, lama kami tak bersua. Azis, bagi penulis merupakan sosok
seorang sahabat lama yang serasa telah jadi sudara sendiri.
Kini, Azis sudah bekerja kantor. Dia mengaku
menikmati pekerjaaannya sejak setahun belakanga ini. Sementara penulis sendiri
tak bekerja laiknya Azis. Penulis lebih suka turun ke lapangan dan setelah itu
ditulis dan disusun dalam bentuk kalimat sempurna untuk kemudian diserahkan
kepada yang memberikan pekerjaan. Begitulah pekerjaan penulis yang amat penulis
gemari sejak setahun belakangan.
Ada bagian menarik dari cerita Azis.
Bagian menarik itu ketika penulis menanyakan tentang
siapa pacarnya. Ya, penulis sengaja menanyakan pacar karena penulis yakin Azis
belum juga menikah seperti halnya penulis. Kalau pun Azis menikah, penulis
yakin dia pasti akan mengundang.
Azis menjawab pertanyaan penulis. Dia bilang
pacarnya gadis Wonosari dan telah menjalin asmara sudah cukup lama, bahkan
sudah ada rencana naik ke pelaminan.
Penulis senyam senyum dengarkan cerita Azis.
Tersenyum bahagia mendengarkan rencananya untuk segera menikah.
Dalam hati, penulis berceloteh; “Kelak, aku juga
akan menikah dengan gadis asli sana, sama sepertimu Zis.”
Kopi pun terasa semakin nikmat setelah mendengar
cerita Azis. Suasana hati menjadi semakin membahana. Khayalan-khayalan semakin
meninggi, harapan dan asa terasa semakin dekat.
“Lah, kamu kapan bro rencana nikah?,” tanya Azis
balik.
Sebuah pertanyaan yang agak sulit dijawab oleh
penulis. Tetapi penulis menanggapi pertanyaan Azis dengan santai sembari
tertawa.
“Ya, sebenarnya sih tahun 2015 ini targetku udah
punya istri Zis. Hanya saja masih sekadar target, dan diusahakan supaya
benar-benar terwujud,” ucap penulis diplomatis.
“Oh begitu. Lah emang udah ada calonnya?,” tanya
Azis lagi.
Penulis menarik nafas panjang sebelum menjawab
pertanyaan kedua dari Azis. Menarik nafas, memantapkan diri tuk berikan sebuah
jawaban pasti dan meyakinkan.
“Insyaallah sudah ada. Dia sama seperti pacarmu,
gadis asli Wonosari,” jawab penulis yakin.
Azis tersenyum lega. Tampak dia penasaran dan
ingin tahu siapa sosok gadis yang dimaksud. Sejuru kemudian dia mengajukan
pertanyaan lagi seperti sedang mengintrogasi penulis.
“Wah, hebat kamu bro. Berarti kita sama dong.
Tetanggaan kita nanti bro. Setuju, aku mendukungmu,” ujar Azis.
“Hahaha... bisa aja ente Zis,” cetus penulis.
“Kalau boleh tahu, namanya siapa? Dan coba, sini
aku lihat photonya,” pinta Azis.
Segera penulis menunjukkan photo Wulan yang
tersimpan di dalam HP.
“Namanya Lativah Wulandari. Aku panggil dia Wulan.
Kenal baru dua bulan belakangan ini, dan belum pernah ketemu sama sekali karena
belum ada kesempatan,” penulis menjelaskan.
Azis melihat-lihat photo-photo tersebut.
“Hmm, cantik. Gadis yang beruntung,” komentar
Azis.
Kening penulis tiba-tiba mengkerut mendengarkan
komentar Azis. Penulis tak paham apa yang dimaksudkannya gadis yang beruntung.
“Dia gadis yang beruntung bisa mendapatkanmu, dan
kamu juga beruntung bisa mendapatkan dia. Kalian cocok dan serasi. Aku
mendukung kalian berdua,” jelas Azis.
Penulis hanya mengamini apa komentar Azis. Penulis
mengungkapkan bahwa Wulan adalah sosok yang mampu menggetarkan hati penulis dan
telah membuat penulis terkesima meski sampai detik ini kami tak kunjung
berjumpa.
“Iyalah. Biasanya, cinta yang hadir sebelum
perjumpaan itu adalah bentuk ketulusan dan kesungguhan yang nyata. Kalian
hebat, belum bertemu aja kalian sudah bisa saling jatuh cinta dan ini beda
dengan orang lain pada umumnya. Orang lain bertemu dulu baru jatuh cinta dan
kebiasaan seperti itu terkadang rasa cintanya patut dipertanyakan apakah
benar-benar tulus atau tidak. Nah, aku sangat yakin, cintamu sama Wulan tak
lebih hanyalah berangkat dari ketulusan, kejujuran dan kesungguhan. Ketiga hal
itu nantinya akan melahirkan sikap tanggungjawab yang menjadi penopang paling
kuat rasa cinta di antara kalian. Apalagi kamu bro, aku kenal kamu adalah sosok
yang bertanggungjawab sehingga ketika kalian sudah bersama niscaya kebahagiaan
adalah milik kalian berdua, tak ada yang lain,” papar Azis panjang lebar.
Azis adalah sahabat lama penulis. Sahabat
seperjuangan. Sahabat yang selalu bersama dalam suka maupun duka dulu di masa
kami masih mahasiswa. Hingga kini, jalinan persahabatan di antara kami masih
terasa kental meski sudah tak lagi bersama-sama. Dia merupakan sosok sahabat
yang paham benar dengan diri penulis. Beda dengan Avid meski sama akrabnya,
Azis lebih bijak dalam bertutur dan bersikap, sementara Avid lebih ceplas
ceplos dan gemar mengintrik. Namun, bagi penulis keduanya merupakan sahabat
karib yang pernah sepenanggung-seperjuangan di masa kuliah beberapa tahun
silam.
“Doakan aja Zis kelak kami secepatnya
dipersatukan. Tekadku, sebelum tahun 2015 berakhir, kami sudah menikah dan
membangun rumah tangga,” ujar penulis yakin.
“Wah.. wah, sama dengan rencanaku.wah, kita nikah
bareng aja kalau gitu,” canda Azis sembari tertawa terbahak.
Penulis pun ikut tersenyum.
Penulis da Azis tenggelam dalam canda tawa di
kedai kopi itu hingga sore hari. Gerimis mulai turun. Kami berdua pulang
menyudahi kebersamaan. Lanjut....