Cemburu dan Rindu
Mencintai dan menyayangi adalah cara penulis untuk
mendewasakan diri, menciptakan kebahagiaan dan kedamaian. Mencintai dan
menyayangi Wulan, bagi penulis tak lebih merupakan sebuah anugerah terindah. Sebagai
lelaki yang tak mudah jatuh cinta, penulis tentu tak salah ketika meletakkan
cinta. Cinta penulis itu telah jatuh di pelukan Wulan, gadis yang telah mampu
menggetarkan jiwa penulis dalam kurun waktu yang relatif singkat.
Perkenalan penulis dengan Wulan baru berusia dua
bulan. Namun, sepanjang waktu itu di antara kami dapat dibilang sangat intens. Intensitas
komunikasi di antara kami berdua melahirkan benih-benih cinta dan rindu. Cinta
dan rindu itu selalu datang bagai tamu tak diundang dalam setiap waktu dan
masa. Cinta dan rindu itu berhasil mendikte diri penulis tuk selalu mengingat
Wulan saban waktu, saban harinya.
Cinta dan rindu itu diyakini penulis lahir dari
ketulusan dan kejujuran semata. Tak ada motif dan motivasi lain selain kedua
hal itu. Cinta dan rindu itu pula serasa telah mengikat dan menggenggam hati
dan jiwa penulis. Desakan hasrat untuk berjumpa datang silih berganti.
Begitulah dinamika perasaan cinta dan rindu.
Antara penulis dan Wulan serasa telah larut dalam
lautan percintaan. Di setiap obrolan, selalu hadir nafas-nafas cinta. Di setiap
suara hadir nada-nada cinta. Di setiap canda tawa mengalun senandung cinta.
Sejak beberapa hari belakangan, nuansa cinta makin
tumbuh subur di dalam jiwa penulis. Ya, cinta kepada Wulan. Hanya kepada Wulan.
Tak ada yang lain, selain Wulan.
Nuansa cinta itu telah merasuk dai dalam jiwa
penulis. Hati dan pikiran dipenuhi oleh gejolak cinta. Dan di saat bersamaan,
rasa cemburu, curiga, resah gelisah datang silih berganti menghantam seisi
jiwa. Entah mengapa, mungkin begitulah takdirnya seseorang yang mencintai.
Larut dalam harapan, sibuk mengendalikan pikiran, gejolak, hasrat, ego diri
hingga amarah.
Mungkin begitulah takdir bagi seorang pecinta.
Suratan bagi seseorang yang mencintai, seperti penulis yang mencintai Wulan.
Ketika Wulan diam, tak ada kabar, bersikap acuh,
cuek dan seakan tak ada perhatian, maka di saat bersamaan penulis merasakan
betapa gejolak amarah mengobrak-abrik jiwa dan seisinya.
Seperti hati ini misalnya, Rabu, 14 Januari 2015.
Hati dan pikiran penulis sedang tak berkaruan dan
kacau. Sejak kemarin, Wulan menunjukkan sikap cuek dan acuh tak acuh kepada
penulis. Entah apa yang sedang dia risaukan dari diri penulis, yang jelas
perasaan penulis mengatakan ada sesuatu hal yang mengganjal pada diri Wulan
karena dia terlihat tak seperti biasanya.
Dalam kondisi seperti itu, malam sebelumnya Wulan
bilang jika mantan kekasihnya datang lagi. Dia datang lewat sebuah akun media
sosialnya. Dan entah apa yang telah terjadi, sejak saat itu Wulan telihat acuh
tak acuh kepada penulis.
“Mungkin mereka ingin kembali seperti sedia
kala,”pekik hati penulis.
Memang, penulis akui bahwa hari ini sedang dilanda
perasaan cemburu. Cemburu yang cukup beralasan. Tentu saja. Tetapi, penulis
berjanji pada diri untuk melawan rasa cemburu itu sekuat mungkin, karena
apabila dituruti malah justru hanya akan melahirkan bencana dan angkara murka.
Penulis mengalihkan rasa cemburu itu dengan
menulis. Ya, tulisan yang menceritakan tentang pengalaman hebat perjumpaan
penulis dengan Wulan lewat telepon genggam. Ya, sebuah cerita yang sejak satu
bulan belakangan ini penulis kumpulkan, ber-seri, dan kini telah mencapai di
atas seratus halaman.
Menulis benar-benar telah mampu mengalihkan
pikiran dan hati penulis. Sejak saat itu, rasa cemburu yang sempat mengusik
jiwa itu perlahan hilang. Hilang entah ke mana, penulis tak mau mencari-carinya.
Biarkan saja, biarkan cemburu itu pergi ke manapun ia mau.
Rasa cemburu yang datang secara tiba-tiba itu
menyadarkan penulis betapa rasa cinta dan sayang terhadap Wulan seumpama bunga
yang telah tumbuh, mekar dan merekah di dalam jiwa.
Rasa cemburu itu pula telah mengantarkan
mengingatkan penulis tentang arti sebuah ketulusan cinta. Cinta yang tulus, tak
akan terusik oleh pikiran-pikiran yang imajiner sekalipun fakta tampak
seolah-olah nyata. Hanya saja terkadang, pikiran dikalahkan oleh perasaan.
Meski demikian dinamika yang sedang terjadi, hati
dan pikiran penulis tetap merasakan hal yang sama. Tak berubah, alih-alih
beralih dan berkurang. Wulan adalah kekasih penulis. Penulis sedang
merindukannya. Namun, kesibukan Wulan kini sedang menunda kerinduan itu, walau
hanya sekadar ingin ngobrol lewat
telepon genggam.
Penulis sedang ingin bercengkrama dengan Wulan.
Tetapi niat dan keinginan itu penulis urungkan karena Wulan, dalam pesan
singkatnya mengatakan sedang sibuk dengan aktivitasnya sebagai seorang
mahasiswi. Tugasnya, kata dia seabrek dan belum kelar sejak dua hari belakangan
ini.
Penulis mencoba mengerti serasa memberikan
kata-kata penyemangat. “Semangat Wulan, aku selalu mendukungmu,” pesan penulis.
Jauh di lubuk hati, sebetulnya penulis sungguh-sungguh merasakan gejolak rindu
yang tak tertahankan.
“Ah sudahlah. Rasanya terlalu sendu suasana ini,”
gumam penulis dalam hati.
Menjelang siang hari ini, Rabu, penulis memutuskan
untuk keluar dari kamar kos tak mau berlarut dalam suasana yang terasa agak
sensitif di antara rindu dan cemburu.
Seorang sahabat lama tiba-tiba mengirimkan pesan
kepada penulis untuk ngopi bersama di sebuah kedai kopi. Sahabat itu bernama Azis.
Tak perlu berpikir panjang, penulis pun segera mengiyakan ajakannya tersebut. Di
luar awan hitam tampak sudah bergelayut. Sepertinya sebentar lagi akan turun
hujan. Penulis pun bergegas keluar karena Azis telah menunggu di atas.
Penulis, masih kepikiran Wulan. Lanjut...