Saturday 24 January 2015

WHEN NOVEMBER RAIN

Cemburu dan Rindu

Mencintai dan menyayangi adalah cara penulis untuk mendewasakan diri, menciptakan kebahagiaan dan kedamaian. Mencintai dan menyayangi Wulan, bagi penulis tak lebih merupakan sebuah anugerah terindah. Sebagai lelaki yang tak mudah jatuh cinta, penulis tentu tak salah ketika meletakkan cinta. Cinta penulis itu telah jatuh di pelukan Wulan, gadis yang telah mampu menggetarkan jiwa penulis dalam kurun waktu yang relatif singkat.
Perkenalan penulis dengan Wulan baru berusia dua bulan. Namun, sepanjang waktu itu di antara kami dapat dibilang sangat intens. Intensitas komunikasi di antara kami berdua melahirkan benih-benih cinta dan rindu. Cinta dan rindu itu selalu datang bagai tamu tak diundang dalam setiap waktu dan masa. Cinta dan rindu itu berhasil mendikte diri penulis tuk selalu mengingat Wulan saban waktu, saban harinya.
Cinta dan rindu itu diyakini penulis lahir dari ketulusan dan kejujuran semata. Tak ada motif dan motivasi lain selain kedua hal itu. Cinta dan rindu itu pula serasa telah mengikat dan menggenggam hati dan jiwa penulis. Desakan hasrat untuk berjumpa datang silih berganti.
Begitulah dinamika perasaan cinta dan rindu.
Antara penulis dan Wulan serasa telah larut dalam lautan percintaan. Di setiap obrolan, selalu hadir nafas-nafas cinta. Di setiap suara hadir nada-nada cinta. Di setiap canda tawa mengalun senandung cinta.
Sejak beberapa hari belakangan, nuansa cinta makin tumbuh subur di dalam jiwa penulis. Ya, cinta kepada Wulan. Hanya kepada Wulan. Tak ada yang lain, selain Wulan.
Nuansa cinta itu telah merasuk dai dalam jiwa penulis. Hati dan pikiran dipenuhi oleh gejolak cinta. Dan di saat bersamaan, rasa cemburu, curiga, resah gelisah datang silih berganti menghantam seisi jiwa. Entah mengapa, mungkin begitulah takdirnya seseorang yang mencintai. Larut dalam harapan, sibuk mengendalikan pikiran, gejolak, hasrat, ego diri hingga amarah.
Mungkin begitulah takdir bagi seorang pecinta. Suratan bagi seseorang yang mencintai, seperti penulis yang mencintai Wulan.
Ketika Wulan diam, tak ada kabar, bersikap acuh, cuek dan seakan tak ada perhatian, maka di saat bersamaan penulis merasakan betapa gejolak amarah mengobrak-abrik jiwa dan seisinya.
Seperti hati ini misalnya, Rabu, 14 Januari 2015.
Hati dan pikiran penulis sedang tak berkaruan dan kacau. Sejak kemarin, Wulan menunjukkan sikap cuek dan acuh tak acuh kepada penulis. Entah apa yang sedang dia risaukan dari diri penulis, yang jelas perasaan penulis mengatakan ada sesuatu hal yang mengganjal pada diri Wulan karena dia terlihat tak seperti biasanya.
Dalam kondisi seperti itu, malam sebelumnya Wulan bilang jika mantan kekasihnya datang lagi. Dia datang lewat sebuah akun media sosialnya. Dan entah apa yang telah terjadi, sejak saat itu Wulan telihat acuh tak acuh kepada penulis.
“Mungkin mereka ingin kembali seperti sedia kala,”pekik hati penulis.
Memang, penulis akui bahwa hari ini sedang dilanda perasaan cemburu. Cemburu yang cukup beralasan. Tentu saja. Tetapi, penulis berjanji pada diri untuk melawan rasa cemburu itu sekuat mungkin, karena apabila dituruti malah justru hanya akan melahirkan bencana dan angkara murka.
Penulis mengalihkan rasa cemburu itu dengan menulis. Ya, tulisan yang menceritakan tentang pengalaman hebat perjumpaan penulis dengan Wulan lewat telepon genggam. Ya, sebuah cerita yang sejak satu bulan belakangan ini penulis kumpulkan, ber-seri, dan kini telah mencapai di atas seratus halaman.
Menulis benar-benar telah mampu mengalihkan pikiran dan hati penulis. Sejak saat itu, rasa cemburu yang sempat mengusik jiwa itu perlahan hilang. Hilang entah ke mana, penulis tak mau mencari-carinya. Biarkan saja, biarkan cemburu itu pergi ke manapun ia mau.
Rasa cemburu yang datang secara tiba-tiba itu menyadarkan penulis betapa rasa cinta dan sayang terhadap Wulan seumpama bunga yang telah tumbuh, mekar dan merekah di dalam jiwa.
Rasa cemburu itu pula telah mengantarkan mengingatkan penulis tentang arti sebuah ketulusan cinta. Cinta yang tulus, tak akan terusik oleh pikiran-pikiran yang imajiner sekalipun fakta tampak seolah-olah nyata. Hanya saja terkadang, pikiran dikalahkan oleh perasaan.
Meski demikian dinamika yang sedang terjadi, hati dan pikiran penulis tetap merasakan hal yang sama. Tak berubah, alih-alih beralih dan berkurang. Wulan adalah kekasih penulis. Penulis sedang merindukannya. Namun, kesibukan Wulan kini sedang menunda kerinduan itu, walau hanya sekadar ingin ngobrol lewat telepon genggam.
Penulis sedang ingin bercengkrama dengan Wulan. Tetapi niat dan keinginan itu penulis urungkan karena Wulan, dalam pesan singkatnya mengatakan sedang sibuk dengan aktivitasnya sebagai seorang mahasiswi. Tugasnya, kata dia seabrek dan belum kelar sejak dua hari belakangan ini.
Penulis mencoba mengerti serasa memberikan kata-kata penyemangat. “Semangat Wulan, aku selalu mendukungmu,” pesan penulis. Jauh di lubuk hati, sebetulnya penulis sungguh-sungguh merasakan gejolak rindu yang tak tertahankan.
“Ah sudahlah. Rasanya terlalu sendu suasana ini,” gumam penulis dalam hati.
Menjelang siang hari ini, Rabu, penulis memutuskan untuk keluar dari kamar kos tak mau berlarut dalam suasana yang terasa agak sensitif di antara rindu dan cemburu.
Seorang sahabat lama tiba-tiba mengirimkan pesan kepada penulis untuk ngopi bersama di sebuah kedai kopi. Sahabat itu bernama Azis. Tak perlu berpikir panjang, penulis pun segera mengiyakan ajakannya tersebut. Di luar awan hitam tampak sudah bergelayut. Sepertinya sebentar lagi akan turun hujan. Penulis pun bergegas keluar karena Azis telah menunggu di atas.
Penulis, masih kepikiran Wulan. Lanjut...
Disqus Comments