Wulan
dan Kekhawatirannya
Peristiwa
malam itu memberikan banyak pelajaran penting. Salah satunya soal meredam sikap
egosentris yang telah melekat dalam kepribadian penulis.
Sejak
SMA, jujur saja penulis telah tumbuh dan berkembang di lingkungan yang keras.
Meski lingkungan tersebut terdidik, namun di sana mengajarkan bagaimana seorang
lelaki harus menjadi pribadi yang ksatria, tangguh, keras kepala, tanpa
kompromi dan berani dalam menghadapi segala tantangan. Tentu saja, lingkungan
pendidikan yang demikian itu sejatinya untuk mendidik pribadi yang berani tuk
membela kebenaran dan tegas, keras dalam mensikapi suatu kemungkaran. Namun
terkadang, pendidikan semacam itu keluar dari relnya, di mana sikap keras
melekat menjadi sebuah kepribadian yang sulit tuk dilepaskan.
Berlanjut
ke pendidikan tinggi, lingkungan masih tetap sama. Penulis seperti terus
dididik menjadi pribadi yang gemar melakukan pemberontakan dan kritik keras
terhadap dinamika kehidupan. Lebih-lebih apabila dinamika kehidupan yang
ditemui justru bertentangan dengan idealisme perlawanan yang menjadi konsumsi
otak saban harinya. Demonstrasi adalah kegiatan rutinitas selama menjadi
mahasiswa. Membaca buku-buku yang berbau perlawanan merupakan konsumsi lain
yang amat bergizi tuk mendukung idealisme perlawanan yang berkembang di dalam
diri penulis.
Berbagai
diskursus-diskursus yang berbau kritik aktif penulis ikuti. Sehingga
terbentuklah karakter diri yang gemar berontak hingga melahirkan pribadi yang
prejudice serta suka berprasangka. Selain itu pula, tak mudah percaya begitu
saja dengan dinamika kehidupan tanpa dipandang kritis dan bertolakbelakang dari
realitas yang ditemui.
Pribadi
tempramental. Begitulah penulis menyebutnya. Aspek psikis yang tumbuh di dalam
pribadi tempramental hanya ada dua, kesetiakawanan dan empati. Sehingga tak
heran apabila cinta telah menjadi sisi lain yang alpa untuk dipelajari.
Jangankan merayu, mencintai pun penulis bisa dikatakan tak bisa. Kala itu,
jangankan punya kekasih, mengungkapkan perasaan cinta pun nyaris tak pernah
terlintas di dalam pikiran penulis.
Namun
belakangan, penulis berusaha untuk merubah sikap itu agar menjadi lebih lembut.
Penulis belajar tuk bagaimana mencintai karena penulis mulai sadar, mustahil
hidup jika tanpa pasangan hidup.
Baru
tiga tahun belakangan ini penulis belajar bagaimana mencintai. Mirisnya, cinta
pertama dan kedua justru berakhir dengan pesakitan. Mengingat itu, penulis
hanya tersenyum simpul dan menganggapnya sebagai sebuah proses belajar. Ya, itu
saja, tak lebih. Toh, penulis memang masih dalam tahap belajar kala itu,
belajar dinamika percintaan.
Setelah
dua kali gagal, penulis mulai menyadari memang penulis sendiri belum bisa
menjadi sosok yang pecinta. Tak harus harus bagaimana mencintai seorang wanita,
tak tahu harus bersikap bagaimana saat menjalin hubungan asmara. Ah, penulis
memang buta kala itu.
Penulis
sekali lagi tersenyum.
Tetapi
hebatnya, lama-kelamaan penulis mulai sadar bahwa menjadi pecinta bukanlah
perkara mudah. Dinamika pergolakan hati dan jiwa yang dilahirkan cinta sungguh
dahsyat. Itulah mungkin salah satu pembeda diri penulis dengan batu. Batu keras
tetapi tak punya hati dan perasaan, dan penulis kebalikannya.
Sejak
saat itu, penulis mulai mendalami diskursus-diskursus tentang hati, perasaan
dan jiwa. Tak tanggung-tangung, buku karangan seorang ulama terkemuka penulis
lahap habis, yaitu Imam Al-Ghazali dengan karyanya Ihya Ulumuddin. Bahkan,
karya itu penulis jadikan sebagai kajian utama yang dikomparasikan dengan teori
psikoanalisa Sigmund Freud untuk mengkaji tentang dinamika hati, jiwa dan
kepribadian manusia.
Tiga
bulan penuh penulis mengkaji tentang hati, jiwa dan kepribadian manusia.
Akhirnya, sampailah penulis pada sebuah kesimpulan bahwa hati dan jiwalah yang
membentuk kepribadian manusia yang terwujud dalam perilaku dan tindakannya.
Di sisi
lain, penulis seakan diajarkan bagaimana caranya menjaga hati, jiwa dan
perilaku. Tapi, penulis akui memang tak mudah, harus melalui tahap demi tahap
untuk merubah kepribadian penulis yang tempramental.
Dalam
proses merubah sikap itu, penulis selalu dihadapkan dengan berbagai cobaan.
Terakahir adalah peristiwa adu mulut dengan Wulan malam itu. Namun, penulis
justru mendapatkan sebuah pelajaran berharga dari peristiwa itu, di mana
penulis memang harus pandai-pandai menempatkan diri ketika berhadapan dengan
orang yang punya kepribadian berbeda.
Wulan
punya kepribadian yang lembut dan tak suka dengan hal-hal yang berbau keras dan
kasar. Bahkan bisa dikatakan, dia membencinya. Bagi Wulan, kepribadian penulis
adalah hal yang amat ditakutinya.
Wulan
takut, jika dirinya suatu saat membuat sebuah kesalahan ketika sudah bersama
penulis, penulis berbuat kasar lagi kepada dirinya. Sebuah kekhawatiran yang
bersifat traumatik, tetapi itu masih terbilang wajar serta dapat dimaklumi.
Namun
begitu, penulis sebenarnya ingin sekali mengatakan kepada Wulan bahwa penulis
sekali-kali tak akan mengulanginya lagi di lain hari. Itu janji penulis.
Bukankah orang belajar dari sebuah kesalahan? Lanjut...