Saturday 24 January 2015

WHEN NOVEMBER RAIN

Wulan dan Kekhawatirannya

Peristiwa malam itu memberikan banyak pelajaran penting. Salah satunya soal meredam sikap egosentris yang telah melekat dalam kepribadian penulis.
Sejak SMA, jujur saja penulis telah tumbuh dan berkembang di lingkungan yang keras. Meski lingkungan tersebut terdidik, namun di sana mengajarkan bagaimana seorang lelaki harus menjadi pribadi yang ksatria, tangguh, keras kepala, tanpa kompromi dan berani dalam menghadapi segala tantangan. Tentu saja, lingkungan pendidikan yang demikian itu sejatinya untuk mendidik pribadi yang berani tuk membela kebenaran dan tegas, keras dalam mensikapi suatu kemungkaran. Namun terkadang, pendidikan semacam itu keluar dari relnya, di mana sikap keras melekat menjadi sebuah kepribadian yang sulit tuk dilepaskan.
Berlanjut ke pendidikan tinggi, lingkungan masih tetap sama. Penulis seperti terus dididik menjadi pribadi yang gemar melakukan pemberontakan dan kritik keras terhadap dinamika kehidupan. Lebih-lebih apabila dinamika kehidupan yang ditemui justru bertentangan dengan idealisme perlawanan yang menjadi konsumsi otak saban harinya. Demonstrasi adalah kegiatan rutinitas selama menjadi mahasiswa. Membaca buku-buku yang berbau perlawanan merupakan konsumsi lain yang amat bergizi tuk mendukung idealisme perlawanan yang berkembang di dalam diri penulis.
Berbagai diskursus-diskursus yang berbau kritik aktif penulis ikuti. Sehingga terbentuklah karakter diri yang gemar berontak hingga melahirkan pribadi yang prejudice serta suka berprasangka. Selain itu pula, tak mudah percaya begitu saja dengan dinamika kehidupan tanpa dipandang kritis dan bertolakbelakang dari realitas yang ditemui.
Pribadi tempramental. Begitulah penulis menyebutnya. Aspek psikis yang tumbuh di dalam pribadi tempramental hanya ada dua, kesetiakawanan dan empati. Sehingga tak heran apabila cinta telah menjadi sisi lain yang alpa untuk dipelajari. Jangankan merayu, mencintai pun penulis bisa dikatakan tak bisa. Kala itu, jangankan punya kekasih, mengungkapkan perasaan cinta pun nyaris tak pernah terlintas di dalam pikiran penulis.
Namun belakangan, penulis berusaha untuk merubah sikap itu agar menjadi lebih lembut. Penulis belajar tuk bagaimana mencintai karena penulis mulai sadar, mustahil hidup jika tanpa pasangan hidup.
Baru tiga tahun belakangan ini penulis belajar bagaimana mencintai. Mirisnya, cinta pertama dan kedua justru berakhir dengan pesakitan. Mengingat itu, penulis hanya tersenyum simpul dan menganggapnya sebagai sebuah proses belajar. Ya, itu saja, tak lebih. Toh, penulis memang masih dalam tahap belajar kala itu, belajar dinamika percintaan.
Setelah dua kali gagal, penulis mulai menyadari memang penulis sendiri belum bisa menjadi sosok yang pecinta. Tak harus harus bagaimana mencintai seorang wanita, tak tahu harus bersikap bagaimana saat menjalin hubungan asmara. Ah, penulis memang buta kala itu.
Penulis sekali lagi tersenyum.
Tetapi hebatnya, lama-kelamaan penulis mulai sadar bahwa menjadi pecinta bukanlah perkara mudah. Dinamika pergolakan hati dan jiwa yang dilahirkan cinta sungguh dahsyat. Itulah mungkin salah satu pembeda diri penulis dengan batu. Batu keras tetapi tak punya hati dan perasaan, dan penulis kebalikannya.
Sejak saat itu, penulis mulai mendalami diskursus-diskursus tentang hati, perasaan dan jiwa. Tak tanggung-tangung, buku karangan seorang ulama terkemuka penulis lahap habis, yaitu Imam Al-Ghazali dengan karyanya Ihya Ulumuddin. Bahkan, karya itu penulis jadikan sebagai kajian utama yang dikomparasikan dengan teori psikoanalisa Sigmund Freud untuk mengkaji tentang dinamika hati, jiwa dan kepribadian manusia.
Tiga bulan penuh penulis mengkaji tentang hati, jiwa dan kepribadian manusia. Akhirnya, sampailah penulis pada sebuah kesimpulan bahwa hati dan jiwalah yang membentuk kepribadian manusia yang terwujud dalam perilaku dan tindakannya.
Di sisi lain, penulis seakan diajarkan bagaimana caranya menjaga hati, jiwa dan perilaku. Tapi, penulis akui memang tak mudah, harus melalui tahap demi tahap untuk merubah kepribadian penulis yang tempramental.
Dalam proses merubah sikap itu, penulis selalu dihadapkan dengan berbagai cobaan. Terakahir adalah peristiwa adu mulut dengan Wulan malam itu. Namun, penulis justru mendapatkan sebuah pelajaran berharga dari peristiwa itu, di mana penulis memang harus pandai-pandai menempatkan diri ketika berhadapan dengan orang yang punya kepribadian berbeda.
Wulan punya kepribadian yang lembut dan tak suka dengan hal-hal yang berbau keras dan kasar. Bahkan bisa dikatakan, dia membencinya. Bagi Wulan, kepribadian penulis adalah hal yang amat ditakutinya.
Wulan takut, jika dirinya suatu saat membuat sebuah kesalahan ketika sudah bersama penulis, penulis berbuat kasar lagi kepada dirinya. Sebuah kekhawatiran yang bersifat traumatik, tetapi itu masih terbilang wajar serta dapat dimaklumi.

Namun begitu, penulis sebenarnya ingin sekali mengatakan kepada Wulan bahwa penulis sekali-kali tak akan mengulanginya lagi di lain hari. Itu janji penulis. Bukankah orang belajar dari sebuah kesalahan? Lanjut...
Disqus Comments