Saturday 24 January 2015

WHEN NOVEMBER RAIN


November Rain, Kukenal Ieva

Sehari berselang, penulis melanjutkan komunikasi dengan Ieva. Tetapi kali ini, komunikasi kami masih dalam tahap kenal mengenal antar satu sama lain. Mahasiswi satu ini masih tetap tampak cuek dan jutek, penulis agak kesal. Sebab, pesan yang dikirim nyaris semuanya dijawab singkat dengan kalimat yang tak lebih dari tiga suku kata.
Meski sedikit kesal dengan pesan balasan dari Ieva yang singkat-singkat, penulis tetap berpikir positif. Setidaknya penulis sadar, bahwa ini merupakan perkenalan awal yang mungkin tak diinginkan Ieva. Pasalnya, penulis tahu keinginan Ieva hanya satu hal, yakni membahas tentang karya ilmiahnya, bukan soal lain termasuk perkenalan.
Awalnya, penulis hanya ingin mengakrabkan diri saja supaya mudah ketika berdiskusi. Apalagi, menurut pengakuannya, Ieva tak bisa diajak bertemu langsung, kecuali hanya pembicaraan melalui telpon seluler, baik berupa pesan maupun bicara langsung.
"Ya sudah, begini saja mbak, nanti filenya dikirim ke email saya aja yah," penulis mulai membahas kepentingan Ieva.
Sejurus permintaan itu, penulis mengirimkan sebuah alamat email berharap Ieva segera mengirimkan filenya agar segera penulis koreksi.
"Oke, nanti sore saya kirimkan mas, sepulang dari dari kampus," Ieva menjawab.
Itulah pesan terakhir dari Ieva. Setelahnya sudah tak ada lagi tanda-tanda dia ingin melanjutkan perkenalan kami, dan penulis pun mengurungkan diri tuk mengirim pesan lagi kepada Ieva.
Tak terasa, penulis pun tertidur pulas.
Sore harinya.
Penulis bangun ketika adzan ashar berkumandang. Tampak di luar sedang hujan lebat. Penulis memutuskan tuk mandi, lalu menunaikan kewajiban sebagai seorang muslim, shalat ashar.
Seusai shalat, penulis menemukan ide sebagai bahan tulisan sore ini. Belum ada keinginan penulis tuk melihat email, apakah sudah dikirim Ieva atau belum file yang diminta siang tadi.
Kali ini penulis ingin fokus pada ide yang baru saja terlintas di pikiran ini. Ya, penulis akan menuliskan tentang isu yang baru ramai diperbincangkan oleh pemerintah dan media, yakni soal eksodus masyarakat Indonesia yang berbatasan langsung dengan Malaysia. Penulis tertarik dengan isu tersebut karena kampung halaman penulis masih termasuk kawasan perbatasan, Kalimantan Barat.
Kali ini penulis mengetengahkan judul tulisan "Orang Perbatasan, Orang di Persimpangan". Nantinya, penulis berharap coretan ini akan dimuat di media massa sebagai tanggapan terhadap isu yang sedang berkembang pesat sejak beberapa hari belakangan ini. Penulis akan menyorot soal kesejahteraan yang kurang memperoleh perhatian pemerintah pusat maupun daerah pada masyarakat perbatasan yang penulis anggap sebagai biang keladi terjadinya eksodus besar-besaran itu.
Satu jam kemudian, artikel pun itu jadi. Panjangnya empat lembar tulisan. Meski untuk ukuran opini di media massa terlalu panjang, namun penulis tak mau mengurangi tulisan itu, biarlah redaksi media massa yang memberikan kebijakan nantinya. Begitu pikir penulis.
Setelah dianggap cukup, penulis pun menoleh ke HP. Di sana telah masuk berbagai pesan singkat dan salah satunya dari Ieva, gadis cuek dan jutek itu. Meski pesan singkat itu tampak dari lima orang berbeda, tetapi penulis lebih mendahulukan pesan dari Ieva.
"Mas, filenya udah aku kirim barusan. Minta tolong dikoreksi yah. Nanti kalau ada yang salah dicoret aja, atau dibenarin juga boleh. Makasih sebelum dan sesudahnya," pesan Ieva sambil menitip senyum.
Tak perlu pikir lama, penulis pun segera membalas pesan itu.
"Oke. Nanti aku koreksi semampuku. Tapi nanti kalau ada yang aku nggak paham, kita diskusikan bersama yah," jawab penulis.
Penulis pun langsung membuka email sembari membalas pesan-pesan singkat lainnya dari yang datang teman-teman penulis.
Di dalam email, tampak kiriman file dari Ieva telah masuk. Segera penulis mendownloadnya lalu menyimpannya ke dalam laptop. Penulis tak buru-buru mengkoreksi karena seorang kawan mengajak bertemu di suatu tempat. Urusan penting katanya.
Dari kos, penulis bertolak ke sebuah mall, tempat di mana kawan telah menunggu. Kami membicarakan banyak hal dalam pertemuan tak formal itu. Kawan itu menginginkan penulis untuk segera ke Jakarta, menindaklanjuti pekerjaan yang sempat tertunda sejak dua bulan lalu. Namun, penulis meminta waktu barang satu bulan lagi untuk kembali ke Ibu Kota, setelah urusan di Jogja semua selesai. Kawan itu memenuhi permintaan penulis dengan syarat, setelah semua urusan di Jogja kelar, maka penulis harus bersegera ke Jakarta. Pertemuan kami berakhir sampai di situ.
Setelah pertemuan penting itu, penulis langsung pulang ke kos. Teman-teman lain sebenarnya mencari-cari, tetapi hanya sekadar mengajak ngopi. Namun kali ini penulis bilang tak bisa, dan mengaku sedang ada kesibukan.
Sesampainya penulis di kos, secangkir kopi dipersiapkan. Cuaca teramat dingin selepas hujan lebat.
"Mas, nanti kalau ngerjain sambil telpon aku yah," pinta Ieva lewat pesan singkatnya.
"Oh, iya nduk, nanti aku telpon kamu," balas penulis.
Tak lama berselang, penulis pun menelpon Ieva. Dia menjawab salam yang diucapkan penulis.
Ini pertama kali penulis mendengar suara Ieva. Penulis sedikit terkejut, kesan pertama kali terhadap dirinya seperti terbantahkan begitu saja setelah mendengar suaranya. Ieva tak seperti kesan yang penulis lontarkan pertama kali, cuek dan jutek.
Penulis amat yakin, Ieva tak seperti itu meski kami belum banyak terlibat dalam obrolan. Dan benar saja, setelah setengah jam berbincang, Ieva hadir sebagai pribadi yang ceriwis serta menyenangkan.
Kami terlibat dalam perbincangan yang cair, serasa sudah kenal lama dan begitu akrab. Bahkan berkali-kali dia mencoba meledek penulis dengan sindirannya, di mana dia menuding penulis sebagai sosok yang suka galau. Dia menuding begitu lewat update status-status penulis. Menurut dia, penulis adalah lelaki yang gagal move on dari cerita masa lalu yang pernah menyakiti perasaan. Bahkan, tak sungkan-sungkan Ieva menasehati penulis untuk segera meninggalkan kisah-kisah suram masa lalu karena menurutnya semua itu tak ada gunanya tuk diingat melainkan cukup tuk dijadikan pengalaman saja, ambil positifnya dan buang jauh-jauh sisi negatifnya.
Penulis lebih memilih mendengarkan saja apa kata-kata Ieva. Dia terus meledek penulis, dan penulis benar-benar merasa terhibur dengan sikap bijaksana serta kedewasaannya.
Mendengar nasehat-nasehat Ieva, penulis menjadi termotivasi. Dan Ieva mulai berhenti meledek saat penulis mengalihkan pembicaraan kami membahas tentang karya ilmiahnya.
Ieva pun menceritakan hasil tulisannya tersebut panjang lebar. Penulis sekali lagi memilih tuk jadi pendengar. Setelah dia selesai memaparkan masalah karya ilmiahnya, barulah penulis memberanikan diri berkomentar.
Sembari menelpon, penulis cek satu per satu hasil tulisannya. Penulis membenarkan beberapa kesalahannya, dan menambahi beberapa hal yang penulis anggap kurang supaya menjadi sempurna. Ieva menurut saja apa kata-kata penulis. Sepenuhnya, katanya dia mempercayai penulis untuk mengkoreksi karya ilmiahnya tersebut supaya tampak lebih baik lagi. Sebab, tak lama lagi karya ilmiah ini akan dipresentasikan ke hadapan pembimbing dan peserta sidang. Ieva berharap penuh karya ilmiahnya ini bisa sempurna sehingga mampu memperoleh nilai yang bagus.
Penulis pun berusaha meyakinkan Ieva bahwa nanti penulis akan berusaha sebisa penulis membuat karya ilmiahnya ini menjadi lebih baik dan sempurna, setidaknya mendekati kata sempurna.
Tak terasa, malam kian larut. Ieva pun terdengar sudah mengantuk. Sayup-sayup suaranya mulai hilang, dan beberapa kali penulis mendengarkan dia menguap.
Menyadari hal itu, penulis pun menyarankan Ieva agar segera tidur. Lebih-lebih besok, dia harus bangun pagi, karena, menurut penuturannya besok dia pagi-pagi harus sudah berangkat ke kampus.
Ieva menuruti saran dari penulis. Dia pun segera berpamitan.
"Aku tidur dulu yah mas. Kamu juga tidur, jangan begadang. Kalau nggak selesai malam ini, dilanjutin besok lagi aja itu," ujar Ieva.
Meski terdengar masih ingin berbincang, penulis merasa Ieva sudah sangat mengantuk.
"Oke. Baiklah nduk. Kamu tidur yah. Selamat tidur, selamat malam. Assalamu'alaykum..," jawab penulis.
Setelah menjawab salam. Tuuuttt.. Tuuuuttt.. Tuuuuuttt. Telpon pun terputus.
Malam ini benar-benar telah membuat penulis senang. Motivasi penulis untuk membantu Ieva semakin kuat. Kesan terhadap Ieva dari cuek dan jutek pun telah berubah 90 derajat. Kini, penulis punya kesan baru, bahwa Ieva adalah sosok wanita yang sangat menyenangkan dan ramah. Jujur saja, kesan kedua ini membuat penulis menjadi kagum dengan sosoknya.
Ieva, penulis ingin mengenalmu lebih jauh lagi. Ya, lebih jauh tentang kepribadianmu, tentang kebijaksanaanmu, tentang kedewasaanmu, tentang keramahanmu, dan lain-lainnya.

Sampai di sini, penulis merasa mulai tertarik dengan Ieva. Lanjut......
Disqus Comments