Sehari
berselang, penulis melanjutkan komunikasi dengan Ieva. Tetapi kali ini,
komunikasi kami masih dalam tahap kenal mengenal antar satu sama lain.
Mahasiswi satu ini masih tetap tampak cuek dan jutek, penulis agak kesal.
Sebab, pesan yang dikirim nyaris semuanya dijawab singkat dengan kalimat yang
tak lebih dari tiga suku kata.
Meski
sedikit kesal dengan pesan balasan dari Ieva yang singkat-singkat, penulis
tetap berpikir positif. Setidaknya penulis sadar, bahwa ini merupakan
perkenalan awal yang mungkin tak diinginkan Ieva. Pasalnya, penulis tahu
keinginan Ieva hanya satu hal, yakni membahas tentang karya ilmiahnya, bukan
soal lain termasuk perkenalan.
Awalnya,
penulis hanya ingin mengakrabkan diri saja supaya mudah ketika berdiskusi.
Apalagi, menurut pengakuannya, Ieva tak bisa diajak bertemu langsung, kecuali
hanya pembicaraan melalui telpon seluler, baik berupa pesan maupun bicara
langsung.
"Ya
sudah, begini saja mbak, nanti filenya dikirim ke email saya aja yah,"
penulis mulai membahas kepentingan Ieva.
Sejurus
permintaan itu, penulis mengirimkan sebuah alamat email berharap Ieva segera
mengirimkan filenya agar segera penulis koreksi.
"Oke,
nanti sore saya kirimkan mas, sepulang dari dari kampus," Ieva menjawab.
Itulah
pesan terakhir dari Ieva. Setelahnya sudah tak ada lagi tanda-tanda dia ingin
melanjutkan perkenalan kami, dan penulis pun mengurungkan diri tuk mengirim
pesan lagi kepada Ieva.
Tak
terasa, penulis pun tertidur pulas.
Sore
harinya.
Penulis
bangun ketika adzan ashar berkumandang. Tampak di luar sedang hujan lebat.
Penulis memutuskan tuk mandi, lalu menunaikan kewajiban sebagai seorang muslim,
shalat ashar.
Seusai
shalat, penulis menemukan ide sebagai bahan tulisan sore ini. Belum ada
keinginan penulis tuk melihat email, apakah sudah dikirim Ieva atau belum file
yang diminta siang tadi.
Kali ini
penulis ingin fokus pada ide yang baru saja terlintas di pikiran ini. Ya,
penulis akan menuliskan tentang isu yang baru ramai diperbincangkan oleh
pemerintah dan media, yakni soal eksodus masyarakat Indonesia yang berbatasan
langsung dengan Malaysia. Penulis tertarik dengan isu tersebut karena kampung
halaman penulis masih termasuk kawasan perbatasan, Kalimantan Barat.
Kali ini
penulis mengetengahkan judul tulisan "Orang Perbatasan, Orang di
Persimpangan". Nantinya, penulis berharap coretan ini akan dimuat di media
massa sebagai tanggapan terhadap isu yang sedang berkembang pesat sejak
beberapa hari belakangan ini. Penulis akan menyorot soal kesejahteraan yang
kurang memperoleh perhatian pemerintah pusat maupun daerah pada masyarakat
perbatasan yang penulis anggap sebagai biang keladi terjadinya eksodus
besar-besaran itu.
Satu jam
kemudian, artikel pun itu jadi. Panjangnya empat lembar tulisan. Meski untuk
ukuran opini di media massa terlalu panjang, namun penulis tak mau mengurangi
tulisan itu, biarlah redaksi media massa yang memberikan kebijakan nantinya.
Begitu pikir penulis.
Setelah
dianggap cukup, penulis pun menoleh ke HP. Di sana telah masuk berbagai pesan
singkat dan salah satunya dari Ieva, gadis cuek dan jutek itu. Meski pesan
singkat itu tampak dari lima orang berbeda, tetapi penulis lebih mendahulukan
pesan dari Ieva.
"Mas,
filenya udah aku kirim barusan. Minta tolong dikoreksi yah. Nanti kalau ada
yang salah dicoret aja, atau dibenarin juga boleh. Makasih sebelum dan
sesudahnya," pesan Ieva sambil menitip senyum.
Tak
perlu pikir lama, penulis pun segera membalas pesan itu.
"Oke.
Nanti aku koreksi semampuku. Tapi nanti kalau ada yang aku nggak paham, kita
diskusikan bersama yah," jawab penulis.
Penulis
pun langsung membuka email sembari membalas pesan-pesan singkat lainnya dari
yang datang teman-teman penulis.
Di dalam
email, tampak kiriman file dari Ieva telah masuk. Segera penulis mendownloadnya
lalu menyimpannya ke dalam laptop. Penulis tak buru-buru mengkoreksi karena
seorang kawan mengajak bertemu di suatu tempat. Urusan penting katanya.
Dari
kos, penulis bertolak ke sebuah mall, tempat di mana kawan telah menunggu. Kami
membicarakan banyak hal dalam pertemuan tak formal itu. Kawan itu menginginkan
penulis untuk segera ke Jakarta, menindaklanjuti pekerjaan yang sempat tertunda
sejak dua bulan lalu. Namun, penulis meminta waktu barang satu bulan lagi untuk
kembali ke Ibu Kota, setelah urusan di Jogja semua selesai. Kawan itu memenuhi
permintaan penulis dengan syarat, setelah semua urusan di Jogja kelar, maka
penulis harus bersegera ke Jakarta. Pertemuan kami berakhir sampai di situ.
Setelah
pertemuan penting itu, penulis langsung pulang ke kos. Teman-teman lain
sebenarnya mencari-cari, tetapi hanya sekadar mengajak ngopi. Namun kali ini
penulis bilang tak bisa, dan mengaku sedang ada kesibukan.
Sesampainya
penulis di kos, secangkir kopi dipersiapkan. Cuaca teramat dingin selepas hujan
lebat.
"Mas,
nanti kalau ngerjain sambil telpon aku yah," pinta Ieva lewat pesan
singkatnya.
"Oh,
iya nduk, nanti aku telpon kamu," balas penulis.
Tak lama
berselang, penulis pun menelpon Ieva. Dia menjawab salam yang diucapkan
penulis.
Ini
pertama kali penulis mendengar suara Ieva. Penulis sedikit terkejut, kesan pertama
kali terhadap dirinya seperti terbantahkan begitu saja setelah mendengar
suaranya. Ieva tak seperti kesan yang penulis lontarkan pertama kali, cuek dan
jutek.
Penulis
amat yakin, Ieva tak seperti itu meski kami belum banyak terlibat dalam
obrolan. Dan benar saja, setelah setengah jam berbincang, Ieva hadir sebagai
pribadi yang ceriwis serta menyenangkan.
Kami
terlibat dalam perbincangan yang cair, serasa sudah kenal lama dan begitu
akrab. Bahkan berkali-kali dia mencoba meledek penulis dengan sindirannya, di
mana dia menuding penulis sebagai sosok yang suka galau. Dia menuding begitu
lewat update status-status penulis. Menurut dia, penulis adalah lelaki yang
gagal move on dari cerita masa lalu yang pernah menyakiti perasaan. Bahkan, tak
sungkan-sungkan Ieva menasehati penulis untuk segera meninggalkan kisah-kisah
suram masa lalu karena menurutnya semua itu tak ada gunanya tuk diingat
melainkan cukup tuk dijadikan pengalaman saja, ambil positifnya dan buang
jauh-jauh sisi negatifnya.
Penulis
lebih memilih mendengarkan saja apa kata-kata Ieva. Dia terus meledek penulis,
dan penulis benar-benar merasa terhibur dengan sikap bijaksana serta
kedewasaannya.
Mendengar
nasehat-nasehat Ieva, penulis menjadi termotivasi. Dan Ieva mulai berhenti
meledek saat penulis mengalihkan pembicaraan kami membahas tentang karya
ilmiahnya.
Ieva pun
menceritakan hasil tulisannya tersebut panjang lebar. Penulis sekali lagi
memilih tuk jadi pendengar. Setelah dia selesai memaparkan masalah karya
ilmiahnya, barulah penulis memberanikan diri berkomentar.
Sembari
menelpon, penulis cek satu per satu hasil tulisannya. Penulis membenarkan
beberapa kesalahannya, dan menambahi beberapa hal yang penulis anggap kurang
supaya menjadi sempurna. Ieva menurut saja apa kata-kata penulis. Sepenuhnya,
katanya dia mempercayai penulis untuk mengkoreksi karya ilmiahnya tersebut
supaya tampak lebih baik lagi. Sebab, tak lama lagi karya ilmiah ini akan
dipresentasikan ke hadapan pembimbing dan peserta sidang. Ieva berharap penuh
karya ilmiahnya ini bisa sempurna sehingga mampu memperoleh nilai yang bagus.
Penulis
pun berusaha meyakinkan Ieva bahwa nanti penulis akan berusaha sebisa penulis
membuat karya ilmiahnya ini menjadi lebih baik dan sempurna, setidaknya
mendekati kata sempurna.
Tak
terasa, malam kian larut. Ieva pun terdengar sudah mengantuk. Sayup-sayup
suaranya mulai hilang, dan beberapa kali penulis mendengarkan dia menguap.
Menyadari
hal itu, penulis pun menyarankan Ieva agar segera tidur. Lebih-lebih besok, dia
harus bangun pagi, karena, menurut penuturannya besok dia pagi-pagi harus sudah
berangkat ke kampus.
Ieva
menuruti saran dari penulis. Dia pun segera berpamitan.
"Aku
tidur dulu yah mas. Kamu juga tidur, jangan begadang. Kalau nggak selesai malam
ini, dilanjutin besok lagi aja itu," ujar Ieva.
Meski
terdengar masih ingin berbincang, penulis merasa Ieva sudah sangat mengantuk.
"Oke.
Baiklah nduk. Kamu tidur yah. Selamat tidur, selamat malam. Assalamu'alaykum..,"
jawab penulis.
Setelah
menjawab salam. Tuuuttt.. Tuuuuttt.. Tuuuuuttt. Telpon pun terputus.
Malam
ini benar-benar telah membuat penulis senang. Motivasi penulis untuk membantu
Ieva semakin kuat. Kesan terhadap Ieva dari cuek dan jutek pun telah berubah 90
derajat. Kini, penulis punya kesan baru, bahwa Ieva adalah sosok wanita yang
sangat menyenangkan dan ramah. Jujur saja, kesan kedua ini membuat penulis
menjadi kagum dengan sosoknya.
Ieva,
penulis ingin mengenalmu lebih jauh lagi. Ya, lebih jauh tentang kepribadianmu,
tentang kebijaksanaanmu, tentang kedewasaanmu, tentang keramahanmu, dan
lain-lainnya.
Sampai
di sini, penulis merasa mulai tertarik dengan Ieva. Lanjut......