Dear Wulan
Dear Wulan..
Dua suku kata itu penulis tampilkan dalam
status BlackBerry Messenger (BBM) di suatu hari. Itu adalah ungkapan sebuah
kerinduan teruntuk Wulan. Diakui, penulis sengaja menuliskan itu dalam profile
message agar Wulan tahu bahwa penulis sedang merindukannya.
Penulis ingin sekali Wulan tahu bahwa ada cinta
dan rindu di diri penulis untuk dia.
Benar saja. Sore harinya, profile message yang
ditulis pada pagi hari itu dibalas oleh Wulan dalam bentuk profile messange
pula.
"Sore ini dapat sapaan 'dear Wulan',"
tulisnya dengan emot tersenyum.
Penulis tidak mengkomentari update-an Wulan
melainkan hanya membiarkannya saja. Sengaja penulis membiarkannya meski
sebenarnya jauh di lubuk hati penulis merasa gembira atas respon Wulan
tersebut.
Malam harinya, penulis menelpon Wulan lagi.
Kami terlibat perbincangan santai, bercanda, tertawa, serta obrolan lain yang
menunjukkan keakraban kami.
Ada pula hal serius yang kami perbincangkan,
terutama soal perkembangan karya ilmiahnya. Wulan bilang, karya ilmiahnya masih
perlu direvisi lagi sebelum benar-benar akan disidangkan, sebab menurut Wulan
masih terdapat beberapa kesalahan dan kekurangan yang perlu direvisi lagi.
Mendengar itu, penulis segera meminta kepadanya
untuk mengirimkan kembali file karya ilmiah tersebut agar segera penulis
perbaiki. Selain itu penulis meminta kepadanya untuk memberikan semacam
catatan-catatan dari poin-poin yang harus diperbaiki dari tugas akademiknya
tersebut. Wulan mengiyakannya.
Perbincangan kami tentang karya ilmiah itu
dianggap usai. Kami, terutama penulis sudah paham apa yang mesti penulis
lakukan, yakni merevisi. "Ya, nanti setelah menelpon ini," pikir
penulis.
Kami beralih ke perbincangan lainnya. Merasa
update-an penulis ditanggapi Wulan sore hari tadi, penulis mencoba
memanfaatkannya untuk bicara soal cinta. Obrolan kami lantas mengalir begitu
saja. Hingga pada akhirnya penulis pun memberanikan diri untuk mengungkapkan
perasaan penulis kepadanya.
Duaarrr!! Akhirnya penulis memberanikan diri.
Tak ada ekspresi kaget dari Wulan. Dia
mensikapinya datar dan biasa-biasa saja. Dari tanggapannya, tampak Wulan tak
begitu antusias dengan pengakuan dari kejujuran penulis itu. Benar prediksi
penulis sebelumnya, mengungkapkan perasaan hati ini tak akan dipercaya begitu
saja oleh Wulan. Baginya, semua itu adalah lelucon belaka meski penulis mencoba
meyakinkan dirinya. Lagi pula, kata Wulan adalah hal yang mustahil perasaan
cinta itu muncul secara tiba-tiba sementara kami baru saja berkenalan belum
juga genap satu bulan. Sehingga sesuatu hal yang mustahil perasaan cinta hadir
dalam tempo waktu yang sesingkat itu. Bagi Wulan, itu semua palsu!
Memang, menurut penuturannya, tak mudah bagi
Wulan untuk terlalu cepat percaya tentang hal yang berbau perasaan cinta.
Lebih-lebih, penulis adalah sosok baru yang dianggapnya belum tahu apa-apa
tentang dirinya.
Jadilah pengakuan dan kejujuran penulis terasa
hambar serta bukan sesuatu hal yang istimewa melainkan biasa-biasa saja dalam
anggapan Wulan. Akhirnya, sesuatu hal yang sebelumnya penulis anggap sebagai
ungkapan yang istimewa menjadi biasa-biasa saja. Sesuatu hal yang penulis
anggap tadinya akan menimbulkan sebuah gejolak setelah diungkapkan malah justru
menjadi bahan candaan. Hingga pada akhirnya, penulis berpikir mungkin terlalu
dini bagi penulis untuk mengakui kejujuran hati dan perasaan itu.
Akan tetapi, apa boleh buat, semua telah
diungkapkan, telah diutarakan dan telah terlanjur diucapkan. Apapun hasilnya,
penulis tentu tak merasa kecewa melainkan hanya rasa gembira karena telah
mengungkapkan sebuah perasaan yang sejak beberapa hari belakangan bergejolak
serta memaksa untuk diucapkan. Ya, itu hanya bermodalkan kejujuran, ketulusan
serta kesungguhan. Tak ada motif lain karena memang hati menghendaki demikian
adanya. Apa boleh buat, penulis tunduk dalam kepasrahan diri, apapun respon dan
jawaban dari Wulan tadi penulis terima apa adanya. Tak ada paksaan, toh itu
merupakan hak prerogatif Wulan.
Meski penulis telah mengungkapkannya kepada
Wulan, hebatnya obrolan kami masih cair-cair saja, tidak ada rasa canggung, dan
masih seperti biasa-biasanya kami berbincang. Mungkin saja sikap Wulan itu
merupakan bagian dari kedewasaan dirinya dalam menanggapi respon eksternal yang
dialamatkan kepada dirinya. Dia mencoba bersikap realistis terhadap sebuah
keadaan, sesuatu hal yang menurutnya mustahil dan tak masuk akal dianggapnya
sebagai angin lalu serta tak memberikan dampak perubahan sikap pada dirinya.
Penulis berusaha mengerti sikap Wulan soal
perihal tersebut. Toh, sejak awal penulis sudah memperkirakan bakal terjadi
ketidakpercayaan dari Wulan. Ya, meurut penulis sikap Wulan sudah berada di
jalur yang benar, wajar, maklum dan lumrah.
Lagi pula, penulis sadar bahwa penulis tak
mampu menghadirkan bukti nyata dari ungkapan perasaan hati itu. Mungkin,
penulis hanya perlu mengetahui dan merasakan gejolak hati itu untuk diri
penulis sendiri, bukan untuk disampaikan kepada sesiapapun, termasuk kepada
Wulan sendiri yang merupakan satu-satunya tujuan penulis tentang perihal itu.
Biarlah. Biar nati waktu yang akan membuktikan
tentang keseriusan, kejujuran dan keikhlasan penulis itu. Toh, jika kelak Wulan
telah membuka hatinya maka dia akan merasakan bahwa pengakuan penulis itu
bukanlah sebuah lelucon dan candaan sesaat, melainkan sebuah kebenaran yang
memang demikian adanya, dan demikian faktanya.
Dear Wulan..
Teruntuk Wulan, penulis sungguh-sungguh
mencintai dan menyayangimu.! Lanjut....