Pengakuan Yang
Tertunda
Mengakui suatu
perbuatan terkadang lebih sering dilakukan di kemudian hari ketimbang saat
perbuatan itu terjadi. Motifnya bermacam-macam, termasuk salah satunya soal
gengsi. Padahal, secara prinsip kejujuran dan kebenaran adalah dua perkara yang
tak boleh ditunda-tunda, karena semakin ditunda maka akan menjadi usang.
Begitulah deskripsi
singkat mengenai sebuah pengakuan tentang suatu tindakan. Itu terjadi pada
penulis. Bagi penulis, tak baik rasanya menyembunyikan kebenaran, karena hak
kebenaran hanyalah satu, disampaikan atau diungkapkan.
Atas dasar pemikiran
itu, penulis mengungkapkan dua hal kepada Wulan. Pertama, soal perasaan cinta
penulis yang telah tumbuh subur, diumbar dan kedua tentang kejadian malam itu
yang sempat membuat kami bertengkar.
Perihal pertama
telah berkali-kali penulis ungkapkan serta pertegas kepada Wulan. Namun soal
kedua, penulis mencoba pelan-pelan ungkapkan kejadian yang sesungguhnya agar
kejadian itu tak menjadi sandungan di kemudian hari.
Penulis dan Wulan
kini berada dalam telpon. Ya, malam ini kami berbincang untuk kesekian kalinya
lewat HP. Sejak awal pasca peristiwa malam itu, penulis menyadari adalah
penulis sendiri yang berada di pihak yang salah. Hanya karena tersandung soal
gengsi dan ingin menjaga citra diri, penulis tampil dalam wajah yang sok jaga
imej. Mirisnya, penulis harus mengorbankan orang lain, Wulan sebagai pihak yang
dipersalahkan. Sikap ini, penulis akui sebagai kekeliruan terbesar dalam hidup
penulis.
Sungguh, penyesalan
amat besar membuat penulis tak tenang.
Penulis kemudian
mencoba merubah pikiran yang kala itu diselimuti ego diri. Pikiran penulis pun
berubah. Dengan segenap kekuatan diri penulis ungkapkan kejadian yang
sesungguhnya kepada Wulan dan berharap Wulan tak marah, atau merasaka
kekecewaan. Namun, beginilah adanya penulis yang selalu menjadikan sikap jujur
sebagai panglima dalam setiap jejak langkah penulis saban harinya.
Dalam telpon,
penulis menceritakan kepada Wulan tentang kejadian malam itu, bahwa penulis
benar melakukan tindakan yang mengumbar birahi. Penulis memohon beribu ampun
karena telah mengingkarinya malam itu. Jujur saja, ungkap penulis kepada Wulan,
penulis memang melakukan beberapa gerakan yang mengumbar birahi pada diri
penulis sediri demi memuaskan hasrat yang sejak beberapa hari belakangan
mendesak keinginan untuk melakukan hubungan intim. Namun, penulis tak tahu
harus bagaimana, kepada siapa melampiaskannya, toh penulis masih membujang dan
belum punya pasangan.
Akhirnya, tindakan
yang penulis lakukan malam itu adalah cara satu-satunya yang dapat penulis
lakukan demi membuncahkan hasrat di jiwa. Demikianlah adanya penulis. Malam
itu, penulis memang sedang punya hasrat ingin dibelai dan dimanja. Benar,
penulis melakukan tindakan itu. Bagi penulis, Wulan telah berhasil memancing
penulis.
Sudah cukup sampai
di situ saja pengakuan akan kejujuran ini. Penulis menahan malu tak terhingga.
Namun, dengan bijaknya Wulan hanya menanggapinya dengan tawa, bahkan
terbahak-bahak. Penulis merasa lega, untung Wulan tak marah dan kecewa serta memandang
rendah diri penulis.
"Hahaha, aku
udah ngira mas. Aku tahu dari suaramu, nggak mungkin kamu tak melakukan itu
malam itu," ujar Wulan mentertawai.
Wulan bilang,
harusnya penulis mengaku sedari awal. Toh, ujar Wulan dirinya dapat mengerti
dan tak akan memarahi andai mengakuinya. Tetapi, kata Wulan yang terjadi justru
sebaliknya, penulis marah-marah tak karuan sekaligus mengingkarinya. Tindakan
penulis yang mengingkarinya itu justru membuat Wulan kecewa, lebih-lebih, ujar
Wulan penulis justru memarahi dirinya hingga menuding dirinya dengan sesuatu
hal yang tak pantas diucapkan.
"Harusnya sejak
awal kamu mengaku aja, bukan malah justru marah-marah nggak jelas. Untung aku
masih sabar, coba kalau nggak, udah aku tinggal kamu," ujar Wulan.
Penulis tak tahu
harus berkata apa-apa. Penulis mengaku salah dan menyesalinya seumur hidup.
Bahkan, penulis berjanji kepada Wulan tak akan mengulanginya lagi. Marah, bagi
penulis merupakan tindakan yang penulis hindari, kepada siapapun, lebih-lebih
kepada orang yang disayangi dan dicintai, Wulan.
Wulan melanjutkan,
dirinya sudah dapat memaafkan tindakan penulis meski sempat merasakan
kekecewaan yang luar biasa. Hanya saja, Wulan meminta jangan lagi diulangi di
suatu hari nanti dan seterusnya. Jujur, kata dia adalah tindakan yang paling
disukainya, dalam hal apapun karena hanya dengan berlaku jujur kita dapat
memahami orang lain dan mengetahui kapasitas diri kita.
Penulis membenarkan
semua statemen dan pernyataan dari Wulan. Selain itu, penulis berjanji dalam
hati akan bersikap jujur kepada Wulan dalam hal apapun.
"Jadi ceritanya
ini pengakuan yang tertunda yah mas?," tanya Wulan.
"Ya sudahlah
mas, itu udah berlalu, lupaian aja nggak usah diingat-ingat. Tapi kalau boleh
aku meminta, jangan sekali-sekali diulangi lagi yah, aku nggak suka dengar
orang marah-marah, itu buruk di mataku," Wulan melanjutkan.
Obrolan penulis dan
Wulan berakhir sampai di situ. Kami sepakat untuk tak lagi membahas masalah
itu, dan dilupakan saja. Tentu, penulis berterimakasih kepada Wulan karena
telah mau mengerti. Sikap Wulan, bagi penulis adalah wujud nyata dari
kedewasaannya dalam mensikapi sebuah permasalahan, dan hal itu membuat penulis
semakin jatuh cinta kepadanya.
Bagi penulis lagi,
Wulan adalah sosok wanita yang sungguh penulis idamkan.
I love you so much Wulan! Lanjut...