Hati
Yang Mulai Mendikte
Semakin
hari makin terasa sudah perasaan cinta penulis kepada Wulan. Tiga hari tak
berkabar, penulis merasakan kehilangan sosoknya, dan rindu acap kali datang
bertamu. Muncul semacam perasaan hampa apabila tak terdengar kabar berita dari
Wulan walau hanya sekadar menanyakan kabar.
Selama
tiga hari belakangan penulis sengaja tak menghubunginya. Wulan akhir-akhir ini
memang menjadi super sibuk karena jadwalnya padat dan tugas akademi yang
menumpuk. Demikian pengakuannya tiga hari lalu. Ingin sekali rasanya penulis
mengirimkan sebuah pesan memberikan support dan dukungan kepadanya supaya dia
merasa didukung, namun penulis mulai menyadari tentang hak penulis terhadap
dirinya. Tak baik juga kiranya penulis saban waktu harus menyapa lagi bertanya
tentang kabar ataupun keadaan tertentu dari diri Wulan.
Penulis
berpikir, Wulan mungkin saja satu dari sekian banyak orang yang tak begitu
senang apabila dihubungi melulu, apalagi jika tak ada hal penting yang ingin
disampaikan.
Di atas
alasan itu, penulis mengurungkan niat menghubungi walau hanya sekadar
menanyakan kabar.
Namun,
di samping itu jujur saja penulis memendam kerinduan yang teramat dalam
kepadanya. Adalah suaranya yang menjadi sesuatu hal yang paling penulis
rindukan. Hal lainnya, penulis teramat rindu mendengarkan Wulan bernyanyi.
Suara parau dan serak-serak basah saat Wulan melantunkan sebuah lagu terus
terngiang-nging di dalam pendengaran penulis. Suaranya itu mampu menghadirkan
sebuah kerinduan. Haruskah penulis sampaikan kerinduan ini pada Wulan yang
sedang sibuk di sana?
Sejak
tiga hari belakangan ini, penulis benar-benar telah merasa didikte. Ya, didikte
oleh perasaan penulis sendiri tentang kerinduan, rasa cinta, dan rasa sayang
yang terus membara kepada Wulan. Namun anehnya, perasaan-perasaan itu justru
membuat bibir kelu, tak mampu berucap, tak tahu apa yang harus dilakukan,
bagaimana diri harus mensikapinya, sebab penulis masih berpikir Wulan tak akan
percaya begitu saja apabila penulis menyampaikan segenap perasaan ini.
Perasaan
penulis telah berhasil mendikte diri penulis sendiri. Mendikte dalam pengertian
apapu yang akan penulis katakan dan perbuat maunya harus sesuai dengan apa yang
Wulan harus tahu, apa yang harus Wulan mau, apa yang sedang dipikirkan Wulan.
Ya, semuanya harus serupa dengan Wulan agar dia percaya bahwa penulis punya
kesungguhan dan kejujuran rasa.
"Ke
mana aja sih mas, kok nggak ada kabarnya sama sekali?," sebuah pesan masuk
yang tak lain dan tak bukan berasal dari Wulan.
Ah,
sebuah pesan yang memang penulis tunggu sejak tiga hari belakangan ini. Penulis
senang tak alang kepalang menerima pesan singkat ini. Mesti tak banyak, namun
rindu ini seperti telah terbayar lunas setelah pesan singkat ini masuk. Tiada
pesan dan kabar lain yang penulis tunggu tiga hari belakangan ini kecuali pesan
dan kabar dari Wulan. Kini, kabar itu sudah di depan mata.
Penulis
memilih kata-kata yang selektif untuk membalas pesan singkat dari Wulan.
Tujuannya agar pesan ini tak berhenti sampai di sini saja dan terus berlanjut
dengan sebuah obrolan ringan di antara kami.
Setelah
memilih dan memilah, penulis kemudian mengirimkan pesan balasan yang sengaja
dibuat agak gombal.
"Eem,
nggak ke mana-mana kok dek. Aku di kos aja, menulis banyak hal, termasuk
menulis tentang dirimu," jawab penulis.
Agak
lama pesan balasan dari penulis dibalas olehnya.
"Wah,
menulis tentang aku. Tentang apanya mas yang ditulis?," tanyanya balik.
"Aku
sedang menulis apapun tentang dirimu dek. Kelak hasil tulisan ini akan kukirim
kepadamu untuk sekadar bacaan ringanmu di sela-sela santaimu," ujar
penulis lagi.
"Oh
begitu. Oke deh mas, aku tunggu yah tulisannya," jawab Wulan seperti ingin
mengakhiri obrolan kami dalam pesan singkat.
Membaca
balasan Wulan tersebut, penulis pun tak berniat membalasnya lagi, khawatir dia
bosan. Obrolan kami lewat pesan singkat itu berlalu begitu saja. Penulis merasa
gembira, sangat gembira. Bagi penulis, berbincang dengan Wulan meski hanya
lewat pesan singkat merupakan hal yang dirindu-rindukan. Kesempatan seperti
itu, bagi penulis ibarat momen paling berharga. Ya, perasaan demikian itu
muncul karena cinta yang telah mendikte penulis.
Ah,
betapa hebatnya sosok seorang dara bernama Wulan itu. Dia telah mampu
menggetarkan hati penulis, meluluhkan ego yang kadang tak menentu, mencairkan
otak yang kadang penat, mengurai benang kusut jiwa penulis, menginspirasi
imaji, serta membubuhkan gejolak harapan tentang kasih sayang yang suci nan
murni.
Ah,
Wulan. Andai saja kau tahu tentang perasaan tulus ini, tentu diri ini akan
melambung terbang tinggi di atas awan-awan cinta sehingga awan-awan itu pun
akan membentuk sebuah taman keindahan dan kesejukan tanpa sesiapun yang berani
mengusiknya.
Sungguh.
Hati dan jiwa penulis telah terbeli oleh kejelitaanmu, wajah rupawanmu, serta
kelembutan hati, tutur sapa dan bahasamu.
Dear.. Wulan... Lanjut.....