Saturday 24 January 2015

WHEN NOVEMBER RAIN

Hati Yang Mulai Mendikte

Semakin hari makin terasa sudah perasaan cinta penulis kepada Wulan. Tiga hari tak berkabar, penulis merasakan kehilangan sosoknya, dan rindu acap kali datang bertamu. Muncul semacam perasaan hampa apabila tak terdengar kabar berita dari Wulan walau hanya sekadar menanyakan kabar.
Selama tiga hari belakangan penulis sengaja tak menghubunginya. Wulan akhir-akhir ini memang menjadi super sibuk karena jadwalnya padat dan tugas akademi yang menumpuk. Demikian pengakuannya tiga hari lalu. Ingin sekali rasanya penulis mengirimkan sebuah pesan memberikan support dan dukungan kepadanya supaya dia merasa didukung, namun penulis mulai menyadari tentang hak penulis terhadap dirinya. Tak baik juga kiranya penulis saban waktu harus menyapa lagi bertanya tentang kabar ataupun keadaan tertentu dari diri Wulan.
Penulis berpikir, Wulan mungkin saja satu dari sekian banyak orang yang tak begitu senang apabila dihubungi melulu, apalagi jika tak ada hal penting yang ingin disampaikan.
Di atas alasan itu, penulis mengurungkan niat menghubungi walau hanya sekadar menanyakan kabar.
Namun, di samping itu jujur saja penulis memendam kerinduan yang teramat dalam kepadanya. Adalah suaranya yang menjadi sesuatu hal yang paling penulis rindukan. Hal lainnya, penulis teramat rindu mendengarkan Wulan bernyanyi. Suara parau dan serak-serak basah saat Wulan melantunkan sebuah lagu terus terngiang-nging di dalam pendengaran penulis. Suaranya itu mampu menghadirkan sebuah kerinduan. Haruskah penulis sampaikan kerinduan ini pada Wulan yang sedang sibuk di sana?
Sejak tiga hari belakangan ini, penulis benar-benar telah merasa didikte. Ya, didikte oleh perasaan penulis sendiri tentang kerinduan, rasa cinta, dan rasa sayang yang terus membara kepada Wulan. Namun anehnya, perasaan-perasaan itu justru membuat bibir kelu, tak mampu berucap, tak tahu apa yang harus dilakukan, bagaimana diri harus mensikapinya, sebab penulis masih berpikir Wulan tak akan percaya begitu saja apabila penulis menyampaikan segenap perasaan ini.
Perasaan penulis telah berhasil mendikte diri penulis sendiri. Mendikte dalam pengertian apapu yang akan penulis katakan dan perbuat maunya harus sesuai dengan apa yang Wulan harus tahu, apa yang harus Wulan mau, apa yang sedang dipikirkan Wulan. Ya, semuanya harus serupa dengan Wulan agar dia percaya bahwa penulis punya kesungguhan dan kejujuran rasa.
"Ke mana aja sih mas, kok nggak ada kabarnya sama sekali?," sebuah pesan masuk yang tak lain dan tak bukan berasal dari Wulan.
Ah, sebuah pesan yang memang penulis tunggu sejak tiga hari belakangan ini. Penulis senang tak alang kepalang menerima pesan singkat ini. Mesti tak banyak, namun rindu ini seperti telah terbayar lunas setelah pesan singkat ini masuk. Tiada pesan dan kabar lain yang penulis tunggu tiga hari belakangan ini kecuali pesan dan kabar dari Wulan. Kini, kabar itu sudah di depan mata.
Penulis memilih kata-kata yang selektif untuk membalas pesan singkat dari Wulan. Tujuannya agar pesan ini tak berhenti sampai di sini saja dan terus berlanjut dengan sebuah obrolan ringan di antara kami.
Setelah memilih dan memilah, penulis kemudian mengirimkan pesan balasan yang sengaja dibuat agak gombal.
"Eem, nggak ke mana-mana kok dek. Aku di kos aja, menulis banyak hal, termasuk menulis tentang dirimu," jawab penulis.
Agak lama pesan balasan dari penulis dibalas olehnya.
"Wah, menulis tentang aku. Tentang apanya mas yang ditulis?," tanyanya balik.
"Aku sedang menulis apapun tentang dirimu dek. Kelak hasil tulisan ini akan kukirim kepadamu untuk sekadar bacaan ringanmu di sela-sela santaimu," ujar penulis lagi.
"Oh begitu. Oke deh mas, aku tunggu yah tulisannya," jawab Wulan seperti ingin mengakhiri obrolan kami dalam pesan singkat.
Membaca balasan Wulan tersebut, penulis pun tak berniat membalasnya lagi, khawatir dia bosan. Obrolan kami lewat pesan singkat itu berlalu begitu saja. Penulis merasa gembira, sangat gembira. Bagi penulis, berbincang dengan Wulan meski hanya lewat pesan singkat merupakan hal yang dirindu-rindukan. Kesempatan seperti itu, bagi penulis ibarat momen paling berharga. Ya, perasaan demikian itu muncul karena cinta yang telah mendikte penulis.
Ah, betapa hebatnya sosok seorang dara bernama Wulan itu. Dia telah mampu menggetarkan hati penulis, meluluhkan ego yang kadang tak menentu, mencairkan otak yang kadang penat, mengurai benang kusut jiwa penulis, menginspirasi imaji, serta membubuhkan gejolak harapan tentang kasih sayang yang suci nan murni.
Ah, Wulan. Andai saja kau tahu tentang perasaan tulus ini, tentu diri ini akan melambung terbang tinggi di atas awan-awan cinta sehingga awan-awan itu pun akan membentuk sebuah taman keindahan dan kesejukan tanpa sesiapun yang berani mengusiknya.
Sungguh. Hati dan jiwa penulis telah terbeli oleh kejelitaanmu, wajah rupawanmu, serta kelembutan hati, tutur sapa dan bahasamu.

Dear.. Wulan... Lanjut.....
Disqus Comments