Ketika Wulan
Merasa Bersalah
Penulis
gagal berjumpa Wulan semalam.
Keesokan
harinya penulis lebih dahulu menyapa Wulan lewat HP. Dalam update-nya, Wulan tampak sedih dan merasa bersalah karena dia
menganggap dirinya telah mengecewakan penulis.
“Ciye,
ciye,, ada yang lagi sedih nih kayaknya,” celetuk penulis menggoda.
Seketika
itu Wulan membalas pesan singkat tersebut. Dalam balasannya, dia meminta maaf
dan mengungkapkan penyesalannya. Wulan benar-benar merasa bersalah.
Wulan
pun pasrah.
Dalam
kepasrahannya, dia mengungkapkan lagi tak ada niat tuk membuat hati penulis
merasa kecewa karena tak menyambangi penulis saat mendatanginya tadi malam.
Namun, penulis bersikap santai dan rileks sembari berusaha membesarkan hatinya.
Sebab, bagi penulis adalah hal wajar dengan tindakan Wulan yang tak menemui
penulis di depan kampus malam itu. Wulan, sedang belajar karena minggu-minggu
ini menghadapi ujian akhir semester.
Meski
begitu, Wulan tetap menyesal.
Dia
pun mengungkapkan rasa penyesalannya dengan nada sendu. Bahkan, dia cenderung
menyalahkan dirinya sendiri. Bagi Wulan, mengecewakan orang lain bukanlah
sifatnya, bukan sikap dirinya, bukan perilaku yang menjadi ciri khas dirinya.
Kepada siapapun, seperti pengakuannya, Wulan tak mau menanamkan benih
kekecewaan kepada orang lain, termasuk kepada penulis.
“Tetapi
sungguh, tadi malam aku emang nggak bisa mas, aku udah terlanjur di tempat
temanku. Jauhnya setengah jam dari kosku, dan nggak mungkin rasanya aku balik
karena udah mulai larut,” ungkapnya.
Wulan
sekali lagi pasrah.
Dia
menyerahkan segala sesuatunya kepada penulis untuk memberi sebuah keputusan
terhadap tindakannya malam tadi.
“Semua
aku serahkan ke kamu mas untuk menilai aku,” tukas Wulan pasrah.
Dari
nada bicaranya, terdengar jelas Wulan sangat menyesal. Dan itu dipertegas dari
kata-kata dan untaian kalimat yang keluar dari bibirnya saat berucap kata maaf
kepada penulis. Penulis merasakan kejujuran dan ketulusan dari kata maafnya.
Sejujurnya,
penulis telah memaafkan sebelum kata maaf itu keluar dari bibir Wulan. Tak ada
sedikitpun terbesit dalam hati penulis mempersalahkan dirinya. Alasan Wulan
sudah lebih daripada cukup untuk diterima dan dinalar. Sehingga rasa-rasanya
tak ada alasan tuk mengatakan dirinya telah keliru dalam mengambil sikap, yakni
tak menemui penulis tadi malam.
“Sudahlah
nduk, sudahlah. Aku sudah memaafkan kamu sebelum kamu memintanya. Lagi pula,
memang belum saatnya kita dipertemukan, dan mungkin di lain waktu. Kamu nggak
perlu menyalahkan diri, menganggap diri salah, karena kamu punya alasan yang
bisa diterima dan rasional. Mungkin memang aku yang patut dipersalahkan karena
sudah nekat,” respon penulis membujuk Wulan.
Wulan
tampak terharu dengan respon penulis.
Wulan
tak mampu menahan rasa bersalahnya. Dia pasrah. Dia meminta maaf. Dia mengaku
bersalah. Bahkan, ucapnya, Wulan mengaku siap menanggung kesalahannya, siap
menerima kosekuensi dari kesalahannya, siap menerima hukuman kalau perlu.
Penulis
terperanjat. Dalam relung hati bertanya, mengapa Wulan sampai sejauh ini
mempersoalkan kejadian semalam. Bagi penulis, ini sudah tampak berlebihan, dan
jika tak dihentikan niscaya akan berlarut-larut yang pada akhirnya hanya akan
menimbulkan kesalah-pahaman.
Segera
penulis memotong pembicaraan Wulan.
“Sudahlah
nduk. Udah nggak usah berlarut-larut, nggak usah diperpanjang, cukup sudah.
Nggak ada yang salah. Ini kalau kita bahasa terus nanti kita malah jadi salah
paham lho. Jadi, sudah yah nduk sudah yah. Aku nggak apa-apa kok, biasa aja dan
memaklumi semuanya,” papar penulis.
Seketika
itu Wulan biacara dengan nada yang sangat rendah menunjukkan dirinya pasrah.
“Kejadian
tadi malam nggak akan merubah apapun. Aku tetap mencintai dan menyayangi kamu
nduk. Nggak ada satu pun yang berkurang, malah aku semakin penasaran dengan
kamu,” sambung penulis.
Wulan
hanya bilang iya dengan nada rendah. Seperti biasanya, dia juga tak lupa
mengucapkan terima kasih. Ya, itu kebiasaan Wulan belakangan ini, di mana tiap
kali penulis mengucapkan kata-kata ‘i love you dan i miss you’, Wulan hanya
menjawab ‘iya, terima kasih mas’.
Kali
ini, kalimat itu dia ulangi lagi. Suaranya masih sama, tapi nadanya kali ini
agak rendah. Dia seperti ingin menunjukkan jika dirinya memang mengalah pasrah.
Suasana
tiba-tiba hening. Tak ada obrolan antara penulis dan Wulan. Kami terdiam, sibuk
merangkai kata-kata apa yang mesti diucapkan dalam kecanggungan kami.
Hahaha.
Penulis memecah kebuntuan dengan tertawa berharap Wulan meresponnya dan segera
menemukan bahan apa yang akan kami perbincangkan kali ini dalam telpon.
“Aku
melihat kesungguhan dan keseriusanmu mas. Kalau kamu bilang kamu sayang sama
aku, maka sebenarnya aku pun sama, sayang sama kamu,” ujar Wulan lirih.
Penulis
tersentak sekaligus bahagia dengan pengakuan Wulan tetapi diam saja
mendengarkannya. Sementara Wulan masih terus berucap sembari mengakui
perasaannya kepada penulis dengan nada datar.
“Berarti
sekarang kita pacaran ini nduk?,” celetuk penulis.
“Apa?
Cuma segitu aja komentarmu mas. Huh! Sebel, gemes aku! Udah ngomong
panjang-panjang, dikomentari singkat,” ucap Wulan jutek.
“Eh,
by the way, tadi aku ngomong apa ya. Kok aku lupa, nggak sadar aku ngomong apa.
Hehehe,” tambahnya.
“Oalaah
dek dek, kok ya bisa-bisanya lho lupa. Aneh. Sebel lagi ah aku sama kamu
nduk!,” penulis balik menjuteki dia.
“Hahaha.
Bercanda mas, bercanda. Tadi yang aku katakan benaran kok mas, huum bener,”
ucapnya membujuk.
“Iya
deh iya. Aku percaya kon nduk. Aku juga sayang kamu nduk,” ucap penulis datar.
Seketika
itu obrolan kami mencair. Lupa sudah tentang kejadian semalam. Memang, sejak
awal penulis mencoba tuk mengalihkan pembicaraan agar tak melulu membahas
masalah selama. Tetapi malah justru Wulan yang berhasil mendapatkan bahan baru
untuk kami obrolkan.
Dalam
kondisi dan suasana hati yang gembira, kami bercanda, tertawa dan saling
meledek. Hati kami riang gembira, bahagia yang mungkin tak satupun orang
memilikinya hari itu kecuali hanya kami berdua, ya penulis dan Wulan.
Sejak
saat ini, penulis resmi menganggap Wulan sebagai kekasih. Entah Wulan. Tapi
yang jelas, seketika itu pula kebahagiaan menghiasi dinding-dinding di jiwa.
Rasa bahagia yang sudah sekian lama penulis nantikan.
Akhirnya,
datang, tiba juga. Lanjut...