Saturday 24 January 2015

WHEN NOVEMBER RAIN

Ketika Wulan Merasa Bersalah

Penulis gagal berjumpa Wulan semalam.
Keesokan harinya penulis lebih dahulu menyapa Wulan lewat HP. Dalam update-nya, Wulan tampak sedih dan merasa bersalah karena dia menganggap dirinya telah mengecewakan penulis.
“Ciye, ciye,, ada yang lagi sedih nih kayaknya,” celetuk penulis menggoda.
Seketika itu Wulan membalas pesan singkat tersebut. Dalam balasannya, dia meminta maaf dan mengungkapkan penyesalannya. Wulan benar-benar merasa bersalah.
Wulan pun pasrah.
Dalam kepasrahannya, dia mengungkapkan lagi tak ada niat tuk membuat hati penulis merasa kecewa karena tak menyambangi penulis saat mendatanginya tadi malam. Namun, penulis bersikap santai dan rileks sembari berusaha membesarkan hatinya. Sebab, bagi penulis adalah hal wajar dengan tindakan Wulan yang tak menemui penulis di depan kampus malam itu. Wulan, sedang belajar karena minggu-minggu ini menghadapi ujian akhir semester.
Meski begitu, Wulan tetap menyesal.
Dia pun mengungkapkan rasa penyesalannya dengan nada sendu. Bahkan, dia cenderung menyalahkan dirinya sendiri. Bagi Wulan, mengecewakan orang lain bukanlah sifatnya, bukan sikap dirinya, bukan perilaku yang menjadi ciri khas dirinya. Kepada siapapun, seperti pengakuannya, Wulan tak mau menanamkan benih kekecewaan kepada orang lain, termasuk kepada penulis.
“Tetapi sungguh, tadi malam aku emang nggak bisa mas, aku udah terlanjur di tempat temanku. Jauhnya setengah jam dari kosku, dan nggak mungkin rasanya aku balik karena udah mulai larut,” ungkapnya.
Wulan sekali lagi pasrah.
Dia menyerahkan segala sesuatunya kepada penulis untuk memberi sebuah keputusan terhadap tindakannya malam tadi.
“Semua aku serahkan ke kamu mas untuk menilai aku,” tukas Wulan pasrah.
Dari nada bicaranya, terdengar jelas Wulan sangat menyesal. Dan itu dipertegas dari kata-kata dan untaian kalimat yang keluar dari bibirnya saat berucap kata maaf kepada penulis. Penulis merasakan kejujuran dan ketulusan dari kata maafnya.
Sejujurnya, penulis telah memaafkan sebelum kata maaf itu keluar dari bibir Wulan. Tak ada sedikitpun terbesit dalam hati penulis mempersalahkan dirinya. Alasan Wulan sudah lebih daripada cukup untuk diterima dan dinalar. Sehingga rasa-rasanya tak ada alasan tuk mengatakan dirinya telah keliru dalam mengambil sikap, yakni tak menemui penulis tadi malam.
“Sudahlah nduk, sudahlah. Aku sudah memaafkan kamu sebelum kamu memintanya. Lagi pula, memang belum saatnya kita dipertemukan, dan mungkin di lain waktu. Kamu nggak perlu menyalahkan diri, menganggap diri salah, karena kamu punya alasan yang bisa diterima dan rasional. Mungkin memang aku yang patut dipersalahkan karena sudah nekat,” respon penulis membujuk Wulan.
Wulan tampak terharu dengan respon penulis.
Wulan tak mampu menahan rasa bersalahnya. Dia pasrah. Dia meminta maaf. Dia mengaku bersalah. Bahkan, ucapnya, Wulan mengaku siap menanggung kesalahannya, siap menerima kosekuensi dari kesalahannya, siap menerima hukuman kalau perlu.
Penulis terperanjat. Dalam relung hati bertanya, mengapa Wulan sampai sejauh ini mempersoalkan kejadian semalam. Bagi penulis, ini sudah tampak berlebihan, dan jika tak dihentikan niscaya akan berlarut-larut yang pada akhirnya hanya akan menimbulkan kesalah-pahaman.
Segera penulis memotong pembicaraan Wulan.
“Sudahlah nduk. Udah nggak usah berlarut-larut, nggak usah diperpanjang, cukup sudah. Nggak ada yang salah. Ini kalau kita bahasa terus nanti kita malah jadi salah paham lho. Jadi, sudah yah nduk sudah yah. Aku nggak apa-apa kok, biasa aja dan memaklumi semuanya,” papar penulis.
Seketika itu Wulan biacara dengan nada yang sangat rendah menunjukkan dirinya pasrah.
“Kejadian tadi malam nggak akan merubah apapun. Aku tetap mencintai dan menyayangi kamu nduk. Nggak ada satu pun yang berkurang, malah aku semakin penasaran dengan kamu,” sambung penulis.
Wulan hanya bilang iya dengan nada rendah. Seperti biasanya, dia juga tak lupa mengucapkan terima kasih. Ya, itu kebiasaan Wulan belakangan ini, di mana tiap kali penulis mengucapkan kata-kata ‘i love you dan i miss you’, Wulan hanya menjawab ‘iya, terima kasih mas’.
Kali ini, kalimat itu dia ulangi lagi. Suaranya masih sama, tapi nadanya kali ini agak rendah. Dia seperti ingin menunjukkan jika dirinya memang mengalah pasrah.
Suasana tiba-tiba hening. Tak ada obrolan antara penulis dan Wulan. Kami terdiam, sibuk merangkai kata-kata apa yang mesti diucapkan dalam kecanggungan kami.
Hahaha. Penulis memecah kebuntuan dengan tertawa berharap Wulan meresponnya dan segera menemukan bahan apa yang akan kami perbincangkan kali ini dalam telpon.
“Aku melihat kesungguhan dan keseriusanmu mas. Kalau kamu bilang kamu sayang sama aku, maka sebenarnya aku pun sama, sayang sama kamu,” ujar Wulan lirih.
Penulis tersentak sekaligus bahagia dengan pengakuan Wulan tetapi diam saja mendengarkannya. Sementara Wulan masih terus berucap sembari mengakui perasaannya kepada penulis dengan nada datar.
“Berarti sekarang kita pacaran ini nduk?,” celetuk penulis.
“Apa? Cuma segitu aja komentarmu mas. Huh! Sebel, gemes aku! Udah ngomong panjang-panjang, dikomentari singkat,” ucap Wulan jutek.
“Eh, by the way, tadi aku ngomong apa ya. Kok aku lupa, nggak sadar aku ngomong apa. Hehehe,” tambahnya.
“Oalaah dek dek, kok ya bisa-bisanya lho lupa. Aneh. Sebel lagi ah aku sama kamu nduk!,” penulis balik menjuteki dia.
“Hahaha. Bercanda mas, bercanda. Tadi yang aku katakan benaran kok mas, huum bener,” ucapnya membujuk.
“Iya deh iya. Aku percaya kon nduk. Aku juga sayang kamu nduk,” ucap penulis datar.
Seketika itu obrolan kami mencair. Lupa sudah tentang kejadian semalam. Memang, sejak awal penulis mencoba tuk mengalihkan pembicaraan agar tak melulu membahas masalah selama. Tetapi malah justru Wulan yang berhasil mendapatkan bahan baru untuk kami obrolkan.
Dalam kondisi dan suasana hati yang gembira, kami bercanda, tertawa dan saling meledek. Hati kami riang gembira, bahagia yang mungkin tak satupun orang memilikinya hari itu kecuali hanya kami berdua, ya penulis dan Wulan.
Sejak saat ini, penulis resmi menganggap Wulan sebagai kekasih. Entah Wulan. Tapi yang jelas, seketika itu pula kebahagiaan menghiasi dinding-dinding di jiwa. Rasa bahagia yang sudah sekian lama penulis nantikan.
Akhirnya, datang, tiba juga. Lanjut...
Disqus Comments