Saturday 24 January 2015

WHEN NOVEMBER RAIN

Merenggang, Lalu Menghilang

Tepat berusia sebulan, komunikasi penulis dan Wulan tiba-tiba renggang.
Penulis tak habis pikir.
Penulis kemudian sibuk mencari-cari apa masalah di balik renggangnya komunikasi dengan Wulan. Yang jelas, sikap Wulan telah berubah. Dia tampak tak lagi peduli dengan penulis sejak liburan natal.
Penulis kecewa dan tak habis pikir. Mengapa? Ada apa?
Bagi penulis, kerenggangan ini begitu cepat dan datang secara tiba-tiba. Tanpa terpikirkan. Tanpa terencana.
Penulis terus mencari sebab musabab di balik itu. Namun tak kunjung menemukan sebuah jawaban yang berarti. Kata kawannya, Wulan saat liburan begini sangat sibuk di rumahnya. Ada kegiatan rutin keluarga.
Lagi-lagi penulis bertanya dalam hati, apakah logis hanya karena alasan kesibukan itu lantas Wulan bersikap acuh tak acuh?
Ah, sekali lagi, ini alasan tak masuk di akal.
Berkali-kali penulis memancing pengakuan Wulan perihal apa yang sedang terjadi. Tetapi sayang, jawaban yang diharapkan tak kunjung didapatkan.
Penulis pasrah.
Dalam hati penulis bergumam. "Mungkin dia sudah lelah,"
Suatu ketika, penulis coba menanyakan perihal sikap Wulan yang acuh tak acuh itu kepada Avid. Barangkali Avid tahu jawabannya.
Jawaban yang didpatkan penulis tetap tak memuaskan.
"Dia kalau liburan kayak gini di rumah sibuk, nggak bisa diganggu," ujar Avid.
Ah, jawaban yang tak logis.
"Mungkin dia meganggap udah nggak ada urusan lagi sama aku," tukas penulis.
"Ah, itu kan cuma perasaanmu aja. Santai aja bro, nggak usah khawatir," jawab Avid mencoba yakinkan penulis.
Tapi kenyataannya, penulis tetap tak memperoleh sebuah keyakinan akan kelanjutan hubungan dengan Wulan. Bagi penulis, jawaban yang dilontarkan Avid sama sekali tak memenuhi harapan, malah justru mengambang.
Bahkan, Avid juga memberikan sebuah jawaban yang nyaris membuat penulis makin putus asa dan meradang.
"Nanti, kalau kamu butuh dia tinggal telpon aja ke nomor hpnya bro," pesan Avid kepada penulis.
Pesan dari Avid ini justru membuat penulis jadi bertanya-tanya dengan penuh rasa penasaran.
Bukan menenangkan hati penulis, jawaban Avid malah justru membuat penulis bingung.
"Saranmu semakin membuat aku tambah bingung. Bagaimana mungkin kamu bilang 'kalau kamu butuh dia?' Ini bukan soal butuh atau tidak bro, tapi soal perasaan yang butuh kepastian," sahut penulis geram.
"Cobalah beritahu aku, apa yang sebenarnya telah terjadi sampai-sampai Wulan seperti ingin sekali menghindari aku sejak dua hari belakangan ini?," pinta penulis.
Avid tak memberikan jawaban apa-apa. Dia mencoba berkata bijak, tetapi sama sekali tidak solutif.
"Ya sudahlah, yang penting kamu sabar aja dulu. Ikuti alurnya dia aja," Avid menasehati.
Penulis sekali lagi tak habis pikir.
Berbagai macam pertanyaan mengemuka. Tetapi mau meminta jawaban kepada siapa? Tak tahu.
Wulan? Percuma, dia bakal tak mau bicara. Avid? Ah, dia bicara datar dan tak solutif.
Penulis mencoba mengeruk jawaban dari dalam hati dan pikiran penulis sendiri. Dalam kondisi begini, tentu tak seorang pun yang dapat dimintai jawaban kecuali diri sendiri.
Penulis menebak, menerka dan membuat berbagai macam rasionalisasi-rasionalisasi serta berbagai kemungkinan. Penulis membuka lagi pesan-pesan yang penulis pernah kirimkan kepada Wulan beserta balasan darinya. Penulis ingat-ingat lagi perbincangan kami yang pernah terlontar. Penulis amati update status-status Wulan di berbagai media sosial.
Dari pesan-pesan dan obrolan telepon, setahu dan seingat penulis tak ada yang salah. Namun satu hal, update status Wulan di akun media sosialnya seumpama oase di tengah padang pasir. Ya, oase dari sebuah jawaban yang sejak empat hari penulis cari-cari.
Dalam akun facebook-nya, Wulan menuliskan pernyataan serta pengakuan yang sepertinya cukup tuk dijadikan jawaban.
Dari tulisan itu dapat penulis simpulkan jika Wulan berniat meninggalkan penulis. Meski pernyataan tertulisnya itu dipoles dengan kata-kata yang menyentuh jiwa, namun pada akhirnya dia ingin mengatakan bahwa meninggalkan penulis merupakan satu jalan yang dipilihnya walau sulit baginya.
"Kau boleh saja benci...salahkan saja padaku...mungkin lebih baik bagimu...jika kau melupakan aku...tapi dengarlah ini ...hati ini berjanji...apa pun yang terjadi nanti...kau akan selalu di hati...kau takkan tahu...aku pun terluka saat meninggalkanmu...
aku pun merasakan itu..
.,".
Kurang dan lebihnya begitulah pernyataan Wulan.
Penulis pun segera mengambil kesimpulan. Wulan, memang tak pernah punya rasa kepada penulis. Hanya saja, selama ini Wulan berusaha tuk menghibur serta membesarkan hati penulis semata. Ya, tak lebih dari sekadar itu. Tetapi penulis telah salah kaprah, salah mengartikan sikap Wulan selama ini.
Memang benar adanya demikian. Toh, pikir penulis, komunikasi yang terjalian antara penulis dan Wulan selama ini hanya berasaskan tolong menolong. Itu saja. Tak ada yang lebih daripada itu. Ya, semua harus kembali seperti semula setelah keperluan tolong menolong itu telah usai. Ya, kami harus kembali seperti dua orang yang tak pernah saling mengenal.
Kurang-lebihnya begitulah kemauan Wulan.
Kecewa. Itulah satu-satunya yang penulis rasakan. Tetapi apa hendak dikata, apa hendak diperbuat, memang begitulah kenyataannya kini. Penulis sadar tak punya hak apapun untuk memaksa. Kenyataan ini memang pahit, tapi inilah sebuah kenyataan.
Terkadang, niat baik itu tak selamanya berujung baik pula. Ya, baik dalam perspektif subyektifitas kita masing-masing. Sebab, kita punya standar kebaikan sesuai versi kita sendiri. Baik menurut kita, belum tentu baik pula menurut orang lain. Sebab, hanya Tuhanlah yang punya kebaikan abadi dan kekal. Sedang manusia hanya menebak, mengira serta menduga lalu mengusahakannya sebagai pembuktian tentang kebaikan yang diri begitu berani mendefinisikannya.
Yang jelas, penulis sedikit-banyak telah menemukan jawaban yang sepertinya lebih dekat dengan kebenarannya. Ya, sebuah pengakuan yang datang dari Wulan sendiri melalui akun facebooknya itu. Penulis kira, itulah pengakuan yang sesungguhnya dari Wulan tuk menjawab kegamangan serta ketidakpastian sejak empat hari belakangan. Atau sekurang-kurangnya itulah jawaban dari beragam pertanyaan yang mengerubungi otak penulis tentang sikap acuh tak acuh Wulan kepada penulis.
Kini, tak ada alasan bagi penulis tuk tak mengerti. Penulis rasa, semuanya telah tampak begitu jelas serta tak perlu bertanya-tanya lagi, tak perlu memohon, meminta dan menghiba kasih seumpama sang pengemis cinta.
Rasa-rasanya, penulis pun tak perlu harus menangisinya. Air mata hanyalah sebuah ekspresi, bukan jawaban dan solusi. Penulis kini mengerti, hal terbaik yang akan penulis lakukan adalah menyerahkan segala sesuatunya ke pangkuan Sang Ilahi. Sebab, penulis datang kepada Wulan hanya bermodalkan ketulusan dan keikhlasan. Penulis sudah berusaha, tetapi penulis tak mau mengatakan hasil akhir ini sebagai sebuah takdir karena penulis tak tahu bagaimana skenario Tuhan untuk memvonis ini sebagai sebuah takdir, hasil akhir dari sebuah usaha dan niat baik.
Andai penulis boleh menghiba, maka hanya kepada Tuhan penulis meminta. Di balik itu, andai pun penulis harus membuat sebuah pengakuan, maka dengarlah Tuhan, hingga detik ini hamba sungguh masih mencintai dan menyayangi dirinya.

Wulan, penulis menyebut namamu.. Lanjut... 
Disqus Comments