Merenggang, Lalu Menghilang
Tepat berusia sebulan, komunikasi penulis dan
Wulan tiba-tiba renggang.
Penulis tak habis pikir.
Penulis kemudian sibuk mencari-cari apa masalah
di balik renggangnya komunikasi dengan Wulan. Yang jelas, sikap Wulan telah berubah. Dia tampak tak lagi
peduli dengan penulis sejak liburan natal.
Penulis kecewa dan tak habis pikir. Mengapa?
Ada apa?
Bagi penulis, kerenggangan ini begitu cepat dan
datang secara tiba-tiba. Tanpa terpikirkan. Tanpa terencana.
Penulis terus mencari sebab musabab di balik
itu. Namun tak kunjung menemukan sebuah jawaban yang berarti. Kata kawannya,
Wulan saat liburan begini sangat sibuk di rumahnya. Ada kegiatan rutin
keluarga.
Lagi-lagi penulis bertanya dalam hati, apakah
logis hanya karena alasan kesibukan itu lantas Wulan bersikap acuh tak acuh?
Ah, sekali lagi, ini alasan tak masuk di akal.
Berkali-kali penulis memancing pengakuan Wulan
perihal apa yang sedang terjadi. Tetapi sayang, jawaban yang diharapkan tak
kunjung didapatkan.
Penulis pasrah.
Dalam hati penulis bergumam. "Mungkin dia
sudah lelah,"
Suatu ketika, penulis coba menanyakan perihal
sikap Wulan yang acuh tak acuh itu kepada Avid. Barangkali Avid tahu
jawabannya.
Jawaban yang didpatkan penulis tetap tak
memuaskan.
"Dia kalau liburan kayak gini di rumah
sibuk, nggak bisa diganggu," ujar Avid.
Ah, jawaban yang tak logis.
"Mungkin dia meganggap udah nggak ada
urusan lagi sama aku," tukas penulis.
"Ah, itu kan cuma perasaanmu aja. Santai
aja bro, nggak usah khawatir," jawab Avid mencoba yakinkan penulis.
Tapi kenyataannya, penulis tetap tak memperoleh
sebuah keyakinan akan kelanjutan hubungan dengan Wulan. Bagi penulis, jawaban
yang dilontarkan Avid sama sekali tak memenuhi harapan, malah justru
mengambang.
Bahkan, Avid juga memberikan sebuah jawaban
yang nyaris membuat penulis makin putus asa dan meradang.
"Nanti, kalau kamu butuh dia tinggal
telpon aja ke nomor hpnya bro," pesan Avid kepada penulis.
Pesan dari Avid ini justru membuat penulis jadi
bertanya-tanya dengan penuh rasa penasaran.
Bukan menenangkan hati penulis, jawaban Avid
malah justru membuat penulis bingung.
"Saranmu semakin membuat aku tambah
bingung. Bagaimana mungkin kamu bilang 'kalau kamu butuh dia?' Ini bukan soal
butuh atau tidak bro, tapi soal perasaan yang butuh kepastian," sahut
penulis geram.
"Cobalah beritahu aku, apa yang sebenarnya
telah terjadi sampai-sampai Wulan seperti ingin sekali menghindari aku sejak
dua hari belakangan ini?," pinta penulis.
Avid tak memberikan jawaban apa-apa. Dia
mencoba berkata bijak, tetapi sama sekali tidak solutif.
"Ya sudahlah, yang penting kamu sabar aja
dulu. Ikuti alurnya dia aja," Avid menasehati.
Penulis sekali lagi tak habis pikir.
Berbagai macam pertanyaan mengemuka. Tetapi mau
meminta jawaban kepada siapa? Tak tahu.
Wulan? Percuma, dia bakal tak mau bicara. Avid?
Ah, dia bicara datar dan tak solutif.
Penulis mencoba mengeruk jawaban dari dalam
hati dan pikiran penulis sendiri. Dalam kondisi begini, tentu tak seorang pun
yang dapat dimintai jawaban kecuali diri sendiri.
Penulis menebak, menerka dan membuat berbagai
macam rasionalisasi-rasionalisasi serta berbagai kemungkinan. Penulis membuka
lagi pesan-pesan yang penulis pernah kirimkan kepada Wulan beserta balasan
darinya. Penulis ingat-ingat lagi perbincangan kami yang pernah terlontar.
Penulis amati update status-status Wulan di berbagai media sosial.
Dari pesan-pesan dan obrolan telepon, setahu
dan seingat penulis tak ada yang salah. Namun satu hal, update status Wulan di
akun media sosialnya seumpama oase di tengah padang pasir. Ya, oase dari sebuah
jawaban yang sejak empat hari penulis cari-cari.
Dalam akun facebook-nya, Wulan menuliskan
pernyataan serta pengakuan yang sepertinya cukup tuk dijadikan jawaban.
Dari tulisan itu dapat penulis simpulkan jika
Wulan berniat meninggalkan penulis. Meski pernyataan tertulisnya itu dipoles
dengan kata-kata yang menyentuh jiwa, namun pada akhirnya dia ingin mengatakan
bahwa meninggalkan penulis merupakan satu jalan yang dipilihnya walau sulit
baginya.
"Kau boleh saja benci...salahkan saja padaku...mungkin lebih
baik bagimu...jika kau melupakan aku...tapi dengarlah ini ...hati ini
berjanji...apa pun yang terjadi nanti...kau akan selalu di hati...kau takkan
tahu...aku pun terluka saat meninggalkanmu...
aku pun merasakan itu...,".
aku pun merasakan itu...,".
Kurang dan lebihnya begitulah pernyataan Wulan.
Penulis pun segera mengambil kesimpulan. Wulan,
memang tak pernah punya rasa kepada penulis. Hanya saja, selama ini Wulan
berusaha tuk menghibur serta membesarkan hati penulis semata. Ya, tak lebih
dari sekadar itu. Tetapi penulis telah salah kaprah, salah mengartikan sikap
Wulan selama ini.
Memang benar adanya demikian. Toh, pikir
penulis, komunikasi yang terjalian antara penulis dan Wulan selama ini hanya
berasaskan tolong menolong. Itu saja. Tak ada yang lebih daripada itu. Ya,
semua harus kembali seperti semula setelah keperluan tolong menolong itu telah
usai. Ya, kami harus kembali seperti dua orang yang tak pernah saling mengenal.
Kurang-lebihnya begitulah kemauan Wulan.
Kecewa. Itulah satu-satunya yang penulis
rasakan. Tetapi apa hendak dikata, apa hendak diperbuat, memang begitulah
kenyataannya kini. Penulis sadar tak punya hak apapun untuk memaksa. Kenyataan
ini memang pahit, tapi inilah sebuah kenyataan.
Terkadang, niat baik itu tak selamanya berujung
baik pula. Ya, baik dalam perspektif subyektifitas kita masing-masing. Sebab,
kita punya standar kebaikan sesuai versi kita sendiri. Baik menurut kita, belum
tentu baik pula menurut orang lain. Sebab, hanya Tuhanlah yang punya kebaikan
abadi dan kekal. Sedang manusia hanya menebak, mengira serta menduga lalu
mengusahakannya sebagai pembuktian tentang kebaikan yang diri begitu berani
mendefinisikannya.
Yang jelas, penulis
sedikit-banyak telah menemukan jawaban yang sepertinya lebih dekat dengan
kebenarannya. Ya, sebuah pengakuan yang datang dari Wulan sendiri melalui akun
facebooknya itu. Penulis kira, itulah pengakuan yang sesungguhnya dari Wulan
tuk menjawab kegamangan serta ketidakpastian sejak empat hari belakangan. Atau
sekurang-kurangnya itulah jawaban dari beragam pertanyaan yang mengerubungi
otak penulis tentang sikap acuh tak acuh Wulan kepada penulis.
Kini, tak ada alasan
bagi penulis tuk tak mengerti. Penulis rasa, semuanya telah tampak begitu jelas
serta tak perlu bertanya-tanya lagi, tak perlu memohon, meminta dan menghiba
kasih seumpama sang pengemis cinta.
Rasa-rasanya, penulis
pun tak perlu harus menangisinya. Air mata hanyalah sebuah ekspresi, bukan
jawaban dan solusi. Penulis kini mengerti, hal terbaik yang akan penulis
lakukan adalah menyerahkan segala sesuatunya ke pangkuan Sang Ilahi. Sebab,
penulis datang kepada Wulan hanya bermodalkan ketulusan dan keikhlasan. Penulis
sudah berusaha, tetapi penulis tak mau mengatakan hasil akhir ini sebagai
sebuah takdir karena penulis tak tahu bagaimana skenario Tuhan untuk memvonis
ini sebagai sebuah takdir, hasil akhir dari sebuah usaha dan niat baik.
Andai penulis boleh
menghiba, maka hanya kepada Tuhan penulis meminta. Di balik itu, andai pun
penulis harus membuat sebuah pengakuan, maka dengarlah Tuhan, hingga detik ini
hamba sungguh masih mencintai dan menyayangi dirinya.
Wulan, penulis menyebut
namamu.. Lanjut...