NKRI |
Demokrasi di Indonesia kebablasan. Tidak ada sekat yang membatasi antara rakyat dan pemimpin negara. Di mata liar demokrasi, semua dipandang dan dinilai setara, tak ada batas, semua bebas berucap, semua bebas berkomentar, dan semuanya berdiri di atas klaim kebebasan menyampaikan aspirasi.
Teorinya, jadi seorang pemimpin memang dituntut harus mampu mengendalikan diri. Tetapi bukan kebal dan antikritik. Seorang presiden harus terbuka dan mau menampung kritikan, saran dan masukan. Mungkin demikian itu kemauan dari demokrasi yang gembar gemborkan selama ini. Tapi apa jadinya kalau publik berusaha untuk mendikte seorang presiden, terutama dalam proses menyelesaiakan suatu persoalan?
Saya pikir, orang sudah tak lagi bisa membedakan antara kritik, saran, masukan dan sikap mendikte. Kritik, saran dan masukan prinsipnya bersifat teguran dan himbauan, sementara mendikte lebih pada keinginan untuk memaksakan ide dan gagasan diri secara doktrinal. Sederhananya, mendikte adalah sebuah upaya doktrinasi, pemaksaan terhadap suatu pemikiran untuk dilaksanakan. Doktrin, atau dalam bahasa saya mendikte cenderung lebih dekat dengan usaha pencucian otak (washingbrain or brainstorming).
Dalam beberapa kasus atau persoalan, tak sedikit kalangan yang berusaha untuk memaksakan ide dan gagasannya agar dilaksanakan presiden. Mereka menganggap ide dan gagasannya tersebut paling benar dan menafikan kebenaran ide dan gagasan orang lain. Meminjam istilah Sutan Bhatoegana, sikap orang-orang itu sungguh ngeri-ngeri sedap! Atas nama demi kepentingan serta kebaikan negara, mereka berhak mendikte pemikiran dan langkah sang presiden dalam menyikapi suatu persoalan atau kemelut. Padahal, presiden punya gagasan, ide serta cara tersendiri hasil atau kesimpulan dari kritikan, saran dan masukan yang telah disaring serta dipertimbangkan.
Sejak reformasi bergulir, nyatanya demokrasi telah berhasil mendikte beberapa presiden terpilih macam Abdurrahman Wahid (Gus Dur), Megawati Soekarnoputri, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) hingga Joko Widodo (Jokowi). Mungkin termasuk juga Pak Harto!!
Orang-orang pintar di Indonesia memang hebat dan tangguh. Demokrasi berhasil dikolaborasikan mereka dengan aktivitas percaturan politik praksis. Doktrinasi yang digencarkan mereka di atas klaim kebebasan (baca: demokrasi) dan sikap politik. Dengan begitu, ruang-ruang dan sekat-sekat terbuka lebar, tabir-tabir tersingkap, hingga tak ada lagi yang benar-benar mampu menutupi serta membentengi diri, termasuk sang presiden. Dalam satu dasawarsa terakhir, presiden memang punya tantangan sangat berat dalam memimpin dan mengurusi pemerintahan. Tantangan berat itu bukan datang dari rakyat biasa melainkan dari berbagai kalangan yang punya kepentingan besar dalam seluruh agenda negara. Cerbong yang mereka manfaatkan adalah demokrasi dan politik. Hebat bukan?
Pungkasan, setelah SBY 10 tahun duduk di Istana Negara, Jokowi pun menuai banjir kritikan yang begitu derasnya. Kritikan-kritikan itu tampak makin menukik tak lagi sekadar kritik melainkan ada upaya pendiktean. Jokowi harus begini, Jokowi harus begitu, Jokowi tak boleh begini begitu...bla bla bla bla.. Saya lantas bertanya, mengapa tidak mereka aja yang jadi presiden kalau memang menganggap diri paling sahih? Entahlah. Yang jelas, pendiktean terhadap Jokowi makin hari semakin menohok. Saya lalu mengajukan sebuah pertanyaan reflektif, benarkah kepercayaan kita terhadap presiden telah semakin pudar? Ya, kepercayaan kepada sosok presiden. Kalau kepercayaan kepada DPR pudar mah itu saya tidak heran!!