JOKOWI DAN JUSUF KALLA |
Teori yang mengatakan kekuasaan bukanlah wadah untuk mengurusi rakyat berulang kali terbukti. Kekuasaan hanya mengurusi kekuasaan saja, sedangkan rakyat harus mengurusi diri sendiri. Tak ada kaitannya antara kekuasaan, penguasa dan rakyat melainkan hanya simbol formal belaka.
Kira-kira begitulah realitas negara ini. Sekurang-kurangnya sejak naiknya Joko Widodo (Jokowi) sebagai presiden. Diawali dengan serangkaian acara blusukan ke berbagai daerah di Indonesia dan "blusukan" ke luar negeri, sang presiden berusaha membangun citra diri terlebih dahulu supaya mendapatkan kepercayaan dari masyarakat terhadap kepemimpinannya. Namun, di balik aktivitas itu, presiden tampak abai dengan dinamika persoalan di lembaga-lembaga negara, baik institusi maupun elitnya.
Sementara itu, wakil presiden tampak tak begitu punya peran yang strategis. Padahal, aktivitas presiden dan wakil presiden tak pernah berbarengan kecuali dalam agenda rapat kabinet. Mungkin ada benarnya, wapres hanyalah -maaf- ban serep.! Toh, JK tampak tidak begitu berperan dalam menyikapi beberapa kasus di lembaga pemerintahan. Terbaru ialah kasus pertikaian KPK-Polri. Terlepas dari hak, peran, fungsi dan wewenangnya, wapres tampil hanya sebatas sebuah simbol dan formalitas semata. Saya tak bermaksud mengatakan wapres tak berfungsi atau presiden tak melibatkan wapres dalam mengelola negara. Akan tetapi, faktanya wapres jarang tampil sebagai sosok pemimpin dalam mengatasi berbagai kemelut di lembaga-lembaga negara atau pemerintahan. Lantas, apa pekerjaan wapres? Sebagai orang awam, saya sumpah tidak begitu tahu!
Saya pikir, dengan gaya kepemimpinan yang Jokowi tunjukan, sebaiknya memang harus ada semacam pembagian tugas antara presiden dan wakil presiden. Mungkin saran ini nantinya dibilang tidak paham aturan dan UU, tapi percayalah usulan itu cukup penting dalam mengurusi berbagai persoalan. Pembagian tugas antara presiden dan wakil presiden kontekstual dengan gaya kepemimpinan Jokowi yang tampak jarang mendekam di istana negara melainkan lebih sering keluar alias sering blusukan ke berbagai daerah. Sementara di sisi lain, JK tampak lebih sering tidak meninggalkan kursi wapresnya jauh-jauh seperti Jokowi.
Hal menarik dapat kita lihat pada saat Jokowi jadi gubernur DKI Jakarta. Kala itu, Jokowi berbagi tugas dengan Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok. Jokowi sibuk blusukan, sementara Ahok diberi-tugas mereformasi birokrasi. Nah, ada baiknya JK melakukan hal serupa laiknya Ahok. Lebih-lebih, pemerintahan Jokowi-JK berkali-kali menekankan kerja kerja kerja dan kerja. Dengan kata lain, pemerintahan Jokowi-JK lebih menomorsatukan tindakan ketimbang hanya sekadar bicara dan beretorika. Sebab, reformasi birokrasi, menurut subyektifitas saya menjadi agenda yang sangat krusial, apalagi spirit yang dibangun ialah memperbaiki birokrasi yang selama ini karut marut, bobrok dan cenderung korup serta berbagai tindakan penyelewengan.
Salah satu bukti nyata tidak sehatnya birokrasi ialah soal pertikaian KPK versus Polri yang belakangan menjadi sorot perhatian publik. Pertikaian itu membuka mata publik bahwa persoalan-persoalan di institusi negara harus disikapi dengan segera karena ke depan akan merusak agenda pemerintahan serta kemajuan peradaban bangsa Indonesia. Jokowi sendiri sebagai seorang presiden tentu saja akan kewalahan jika tidak dibantu JK serta unsur-unsur lain di pemerintahan. Demikianlah..