BBM |
Melalui peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Nomor 4 Tahun 2015 tentang perhitungan harga jual bahan bakar, pemerintah menaikkan harga BBM yakni BBM jenis premium dan solar sebesar Rp. 500 di wilayah Jawa-Madura-Bali. Dengan bahasa lain, harga solar Rp. 6.900 perliter dan premium Rp. 7.500 perliter.
Sungguh menyesakkan! Kenaikkan harga BBM ini ditengarai karena pertimbangan pasar dan melemahnya nilai tukar rupiah. Dua dalil tak populis. Tentu saja. Bahkan muncul kabar, kenaikan harga BBM kali ini atas perintah Jokowi yang sedang safari politik ke luar negeri.
Karuan saja, dari beberapa kabar berita yang muncul ke permukaan, Jokowi bahkan menyatakan tak tahu menahu perihal kenaikan BBM karena itu urusan menteri ESDM. Tak masuk di akal! Masa iya seorang presiden cuci tangan terhadap sebuah kebijakan di mana kebijakan tersebut merupakan tanggungjawab seorang kepala negara. Aduh pak Jokowi! Kami tak paham bagaimana cara sampean memimpin negara ini. Kebijakanmu sungguh membuat bingung dan jengkel.
Kami bahkan tak percaya kalau seorang presiden berusaha untuk menyengsarakan rakyat, terutama masyarakat kelas bawah yang acapkali jadi korban dan tumbal dari sebuah kebijakan. Bukankah pak Jokowi sendiri tahu bahwa tujuan akhir bernegara ialah mensejahterakan kehidupan bangsa dan negara. Kami malah justru agak curiga dengan kebijakan tak populis begini.
Jangan-jangan, ada pertimbangan keuntungan individu dan kelompok tertentu di sebalik kebijakan menaikkan harga BBM yang sudah terlanjur jadi kebutuhan pokok masyarakat di jaman modern. Kami sudah paham, kenaikan harga BBM tentu saja berimbas pada kenaikan kebutuhan pokok lainnya secara otomatis. Sebab, semua bahan pokok untuk memenuhi kebutuhan dasar hidup selalu berkaitan dan bertalian antar satu dengan lainnya. Rakyat kecil menjerit. Sudah barang tentu.
Itu sebuah fakta empirik. Pemerintah tak boleh menutup mata seolah-olah buta. Lantas, fakta mana lagi yang mau pemerintah dustakan? Entahlah! Negara memang bukan institusi sosial, namun tak lantas berarti pemerintah mengabaikan begitu saja nasib rakyatnya, lebih-lebih menjadikan rakyat sebagai pihak yang dikorbankan demi mengulik keuntungan materi dari balik sebuah kebijakan.