Orang terkadang susah membedakan mana hal yang pantas diucapkan dan mana yang tidak pantas. Sikap dan ucapan itu lahir dari keegoisan diri.
Memandang segala persoalan dengan cara ngotot dan melotot tak elok. Tekanan dalam diri adalah hal biasa yang harus disikapi secara sadar. Mengelola emosi itu kadang penting dan menentukan. Sebab, setiap orang itu ada masanya sendiri-sendiri. Hidup bukan hanya soal berapa dapat berapa, apa dapat apa, begitu pula halnya berhubungan antar sesama manusia.
Tetapi, manusia itu memanglah sumber terjadinya kejahatan-kejahatan dan rumpunan kebencian. Padahal, orang tahu kalau kejahatan dan kebencian merupakan dua contoh perilaku tak patut disemai. Hanya saja, orang kadang susah sekali menggunakan akalnya untuk menilai etika dan moralitas yang nyatanya potensi diri.
Ya, kebaikan adalah sebuah potensi karena manusia itu sejak lahir sudah diklaim suci dan bersih. Tetapi sayang sekali, realitas kehidupan membuat mereka buta akan potensi kebaikan itu sehingga hanya kejahatan yang bersarang di dalam hati dan pikirannya. Anehnya, ketika kejahatan dan kebencian itu tersemai di dalam hati dan pikiran, orang justru merindukan surga yang dianggap sebagai sebaik-baiknya tempat. Bodoh! Tuhan memang hebat. Dalam kitab suciNya, sederhana sekali pertanyaan yang dituangkannya "Apakah sama antara orang yang berpikira dan orang yang tidak berpikir? Apakah sama orang yang berpengetahuan dan orang yang tidak? Apakah sama orang yang berkesadaran dan tidak sadar?". Jawabannya, tentu tidak sama!
Ketidakpantasan demi ketidakpantasan yang selalu diperbuat seseorang adalah kenyataan pahit yang gemar dipupuk dan diperbuat. Jujur saja, mereka telah membodohi diri sendiri. Pengetahuannya tak bermanfaat bagi dirinya, alih-alih buat orang lain.
Memandang segala persoalan dengan cara ngotot dan melotot tak elok. Tekanan dalam diri adalah hal biasa yang harus disikapi secara sadar. Mengelola emosi itu kadang penting dan menentukan. Sebab, setiap orang itu ada masanya sendiri-sendiri. Hidup bukan hanya soal berapa dapat berapa, apa dapat apa, begitu pula halnya berhubungan antar sesama manusia.
Tetapi, manusia itu memanglah sumber terjadinya kejahatan-kejahatan dan rumpunan kebencian. Padahal, orang tahu kalau kejahatan dan kebencian merupakan dua contoh perilaku tak patut disemai. Hanya saja, orang kadang susah sekali menggunakan akalnya untuk menilai etika dan moralitas yang nyatanya potensi diri.
Ya, kebaikan adalah sebuah potensi karena manusia itu sejak lahir sudah diklaim suci dan bersih. Tetapi sayang sekali, realitas kehidupan membuat mereka buta akan potensi kebaikan itu sehingga hanya kejahatan yang bersarang di dalam hati dan pikirannya. Anehnya, ketika kejahatan dan kebencian itu tersemai di dalam hati dan pikiran, orang justru merindukan surga yang dianggap sebagai sebaik-baiknya tempat. Bodoh! Tuhan memang hebat. Dalam kitab suciNya, sederhana sekali pertanyaan yang dituangkannya "Apakah sama antara orang yang berpikira dan orang yang tidak berpikir? Apakah sama orang yang berpengetahuan dan orang yang tidak? Apakah sama orang yang berkesadaran dan tidak sadar?". Jawabannya, tentu tidak sama!
Ketidakpantasan demi ketidakpantasan yang selalu diperbuat seseorang adalah kenyataan pahit yang gemar dipupuk dan diperbuat. Jujur saja, mereka telah membodohi diri sendiri. Pengetahuannya tak bermanfaat bagi dirinya, alih-alih buat orang lain.