Hari ini aku geram sekali. Sejak sebulan belakangan, orang lain selalu memaksa diri untuk berubah padahal aku tidak melakukan kejahatan. Karena hanya kejahatan saja yang harus dirubah. Aku hanya menjalani apa yang sementara ini bisa kuperbuat sampai akhirnya nanti Tuhan menunjukkan jalan yang telah digariskan.
Bukan bermaksud putusasa dan menunggu takdir, tetapi aku selalu berbuat, berbuat, berbuat dan berbuat atau dalam istilah populer orang bekerja dan berusaha. Siapa bilang aku tak berusaha dan bekerja? Tidak.
Hanya saja bekerja sudah terlanjur berkonotasi menghasilkan materi yang melimpah dan berkecukupan. Hidup, bagi mereka itu hanyalah momentum untuk sekadar menumpuk harta benda semata lalu diklaim sebagai sebuah kesuksesan.
Miskin sekali cara berpikir mereka, gumamku dalam hati. Ayolah kawan. Kita punya pemikiran sendiri-sendiri, jangan pernah paksakan cara berpikirmu yang kau anggap kebenaran itu sebagai kebenaran mutlak lalu kau paksakan orang lain berpikiran sepertimu. Yang kita butuhkan hanyalah pengakuan dan penghargaan.
Orang mau seperti apa, menjadi apa tak perlu kau umpat. Perhatikan dia. Jangan gumunan. Karena itu sikap tak adil dan jauh dari kebijaksanaan. Ah, hari ini, 18 Oktober 2015 puncak kegeramanku. Sudah sampai ubun-ubun, merasuk ke dalam hati dan memancing keegoan diri, nafsu amarah muncul sudah. Psikisku dipaksa menjelma menjadi angkara murka dan kemarahan. Mereka paksakan aku melakukan apa yang mereka inginkan.
Andai sedikit saja kau mau menghargai aku, niscaya aku akan berbuat sendiri sesuai jalanku tanpa harus kau memberikan arahan bualmu. Kau selalu mengukur kesuksesan sesuai konsesus orang banyak tanpa melihatnya dari sisi lain yang berbeda. Bodoh.
Padahal, bukankah selama ini kau mengaku sudah menelan pendidikan tinggi yang selalu dibanggakan? Ah, percuma. Pendidikanmu saja bagimu tak ada gunanya, toh kau tak mampu menghargai orang lain yang berbeda denganmu.