Di
antara sekian ribu alumnus Ponpes Ngruki, mungkin penulislah salah satu sosok
alumni yang dituding telah murtad. Apa pasal? Murtad adalah istilah orang yang
keluar dari sebuah ajaran yang dogmatis-doktrinal baik secara pemikiran maupun
tindakan. Abdullah
Mufied.
Bukan nama sebenarnya. Tetapi, ketika masih berdomisili di Pondok Pesantren Islam Al-Mukmin, Ngruki, Cemani, Grogol, Sukoharjo, Surakarta nama tersebut disematkan kepadaku karena nama sebelumnya dinilai tidak islami.
Tidak ada motif apapun di balik pergantian nama itu, kecuali biar tampak lebih islami. Hanya itu satu-satunya alasan. Kendati demikian, nama itu bertahan hanya tiga tahun dan cuma berlaku di ponpes. Di luar, nama bawaan sejak lahir mutlak digunakan. Sebab, akte kelahiran tertulis demikian adanya. Bahkan, tak ada keinginan lebih lanjut meresmikan nama baruku tersebut untuk digunakan sepanjang hidup.
Biarkan saja nama Abdullah Mufied menjadi sebuah kenangan yang empirik bahwa dahulu aku pernah mengeyam pendidikan di pondok pesantren. Jadi, tak ada alasan otentik untuk menuding bahwa pergantian nama tersebut sebagai langkah diriku bakal berencana membuat aksi makar.
Bukan nama sebenarnya. Tetapi, ketika masih berdomisili di Pondok Pesantren Islam Al-Mukmin, Ngruki, Cemani, Grogol, Sukoharjo, Surakarta nama tersebut disematkan kepadaku karena nama sebelumnya dinilai tidak islami.
Tidak ada motif apapun di balik pergantian nama itu, kecuali biar tampak lebih islami. Hanya itu satu-satunya alasan. Kendati demikian, nama itu bertahan hanya tiga tahun dan cuma berlaku di ponpes. Di luar, nama bawaan sejak lahir mutlak digunakan. Sebab, akte kelahiran tertulis demikian adanya. Bahkan, tak ada keinginan lebih lanjut meresmikan nama baruku tersebut untuk digunakan sepanjang hidup.
Biarkan saja nama Abdullah Mufied menjadi sebuah kenangan yang empirik bahwa dahulu aku pernah mengeyam pendidikan di pondok pesantren. Jadi, tak ada alasan otentik untuk menuding bahwa pergantian nama tersebut sebagai langkah diriku bakal berencana membuat aksi makar.
Bagiku, nama Abdullah Mufied sudah terkubur bersama kenangan masa lalu. Aku sudah kembali dengan nama asliku, bahkan sudah 11 tahun lamanya. Tulisan ini sebenarnya lebih banyak mengangkat tentang pengalaman pribadi salah seorang alumni Ponpes Ngruki, yakni penulis sendiri. Selebihnya, kisah beberapa alumni lain yang seangkatan, kakak dan adik kelas satu level di atas dan di bawahku. Sekali lagi, kisah dan pengalaman hanya segelintir alumni dan tidak mewakili keseluruhannya. Karena aku menyadari setiap alumni pasti memiliki serta memilih kehidupan sendiri-sendiri sesuai dengan pemikiran masing-masing.
Ya, itu sebuah penegasan saja demi menghindari klaim dan fitnah. Sudah sejak lama memang aku sendiri hendak menceritakan pengalamanku sebagai salah seorang alumni Ngruki. Tetapi, momen yang tepat selalu saja tak kunjung tiba, hingga akhirnya datang di awal-awal tahun 2016, dan tepatnya pasca kawasan Sarinah, Thamrin diguncang bom yang cukup menggemparkan masyarakat Indonesia tempo hari. Meski pihak Kepolisian menyebutkan teror bom itu didalangi kelompok Islamic State of Iraq and Syria (ISIS), akan tetapi media-media nasional latah dan berusaha untuk mengarahkan tuduhan kepada Abu Bakar Ba’syir.
Bicara Abu Bakar Ba’asyir sudah barang tentu pondok Ngruki terkena imbasnya. Karuan saja, sang ustadz adalah salah satu pembina pondok pesantren tersebut. Bahkan bukan sekali ini saja negara berusaha menjahati ustadz yang sudah sepuh tersebut. Pasca runtuhnya menara kebanggaan Amerika Serikat (AS), World Trade Center 2004 silam nama Abu Bakar Ba’asyir juga langsung dikait-kaitkan sebagai salah satu anggota Al-Qaeda, kelompok yang dituding presiden AS, George Walker Bush dalang di balik tragedi yang selanjutnya dikenal 9/September itu.
Tak sampai di situ, tragedi nahas bom Bali juga adalah rentetan peristiwa penting di balik upaya negara dan dunia memojokkan Al-Qaeda dengan program bertajuk pemberantasan terorisme dan radikalisme. Sebuah program yang dikampanyekan hampir di seluruh negara di belahan dunia, tidak terkecuali di Indonesia. Sialnya, program terorisme dan radikalisme malah gencar digalakkan di negara-negara dunia yang notabene memiliki prosentase masyarakat yang agamanya lebih didominasi oleh Islam. Ambil contoh misalnya Indonesia, program terorisme dan radikalisme tampak vulgar menjadikan masyarakat yang beragama Islam sebagai obyek utama dan target program deradikalisasi.
Kendati demikian, harus diakui wajah Islam kini memang sedang terpuruk dalam konstelasi perpolitikan dunia. Entah apa motifnya, Islam seolah-olah adalah kambing hitam di balik sejumlah aksi teror di beberapa negara hanya karena kelompok militan pelaku teror membawa embel-embel Islam. Padahal, jika ditilik dari sejarah, gerakan terorisme dan radikalisme sebenarnya seusia dengan perjalanan hidup manusia. Gerakan-gerakan semacam itu nyatanya lahir dari berbagai macam legitimasi sosial, seperti suku, ras dan ideologi. Hanya saja, sejak runtuhnya WTC 2004 silam, gerakan terorisme dan radikalisme lalu diidentikkan dengan Islam meskipun tak ada hubungannya sama sekali.
Toh, Islam sendiri tidak membenarkan umatnya melakukan tindakan-tindakan destruktif, alih-alih membunuh nyawa manusia. Hemat penulis, pengindetikkan Islam dengan gerakan-gerakan radikal adalah sebuah skenario besar yang lahir akibat sikap sentimen keagamaan. Kita tidak perlu menutup mata dan pura-pura mengingkari bahwa sentimen agama usianya sudah cukup tua dalam perjalanan kehidupan manusia di dunia. Dalam pandangan Islam Islam,[1] proses doktrinasi ideologi agama akan terus berlanjut selama perjalanan kehidupan manusia sampai agama tersebut dipeluk, diikuti serta diamalkan ajarannya.
Dan ihwal itu sudah berlaku sejak berabad-abad silam. Tentu motif dan indikatornya beragama, tetapi klaim kebenaran telah menjadi semacam doktrin paling sahih mengapa praktek sentimen agama tersebut tak berkesudahan. Guna meredam dosa sejarah itu, agama-agama di seluruh dunia bersusah-payah menguburkannya dalam-dalam. Berbagai wacana perdamaian seperti toleransi, pluralisme, multikulturalisme, hak asasi manusia, moderasi agama, serta wacana-wacana kemanusiaan dilontarkan ke hadapan publik untuk selanjutnya dikonsumsi demi menjaga keberlanjutan kehidupan manusia di muka bumi yang dilingkari beragam perbedaan. Terlepas dari hal itu, pembunuhan manusia memang tidak dibenarkan. Pembunuhan atas nama agama, doktrin dan ideologi juga sama, haram dan tak ada dalil yang membenarkannya. Sebab, membunuh nyawa manusia itu prinsipnya lebih merupakan urusan dan kuasa Tuhan.
Tindakan terorisme dan radikalisme yang kerap menelan nyawa manusia adalah kekerasan dan kekejaman. Tetapi, membunuh nyawa manusia dengan dalih pemberantasan terorisme juga bagian dari kekejaman, kejahatan, kebengisan, serta pelanggaran hak asasi kemanusiaan. Namun, pasca program terorisme dan radikalisme dikampanyekan, tindakan pembunuhan nyawa manusia telah dijadikan sebagai praktik legal oleh negara. Di Indonesia sendiri, praktik perburuan nyawa manusia tersebut didalangi Datasemen Khusus Anti Teror, atau yang lebih populer disebut Densus 88. Berseragam dan bersenjata lengkap, pasukan anti teror itu belakangan terus melakukan perburuan nyawa manusia di sejumlah tempat dan daerah. Penangkapan dan penyiksaan orang juga telah menjadi bagian dari aktifitas pasukan tersebut.
Menurut negara, tindakan itu sah meskipun berseberangan dengan wacana HAM yang digembar-gemborkan negara, LSM dan sejumlah aktifis kemanusiaan. Buku ini mencoba berikan ulasan secara rinci bagaimana konstelasi politik dalam program pemberantasan terorisme dan radikalisme, khususnya di Indonesia. Maksudnya, hipotesis yang diajukan penulis bahwa gerakan terorisme dan radikalisme yang mengatasnamakan agama lebih merupakan bagian dari aktifitas politik kelompok tertentu yang memiliki latar belakang sejarah dan basis ideologi.
Kelompok-kelompok tersebut hendak menerapkan ideologi politiknya ke dalam negara sehingga menjadi sistem kenegaraan yang absolut. Fakta menariknya, kelompok politis tersebut malah justru menggunakan gerakan-gerakan radikal guna memuluskan kepentingan politik dan ideologinya. Boleh jadi tindakan membunuh nyawa manusia sesekali mereka halalkan sebagai bagian dari proses pencitraan (berginning posisition).