ILUSTRASI |
Hal itu mengindikasikan bahwa selain dua jenis tersebut, Islam sendiri tidak menyebut LGBT sebagai jenis lain yang telah diciptakan oleh Tuhan di muka bumi. Atas dasar itulah sebagian besar umat Islam memandang LGBT adalah jenis manusia yang telah menyimpang dari kodrat penciptaan manusia sehingga muncullah tindakan pengecaman dan penolakan. Selain itu, umat Islam juga acap kali merujuk pada kisah kaum nabi Luth sebagai dalil sahih untuk menuding LGBT telah sesat dan menyimpang. Mengacu pada dua dasar di atas, penolakan terhadap LGBT sah-sah saja dilakukan. Akan tetapi, perlu sikap arif dalam menyikapi persoalan LGBT tanpa harus melakukan tudingan dan kecaman bernada emosional dan provokatif. Sebab, memandang LGBT secara manusiawi merupakan sebuah kewajiban antar sesama manusia karena bagaimana pun mereka juga memiliki hak yang sama di mata negara seperti tertera di dalam UU HAM Nomor 39 Tahun 1999 yang menyebutkan bahwa setiap orang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum, pemerintah dan setiap orang demi kehormatan serta perlindung akhlak dan martabat manusia. Untuk itu, menyikapi LGBT memang harus adil dan bijaksana. Merasa diri pihak yang paling berhak memiliki kehidupan bukanlah suatu perkara yang dibenarkan dari segi kemanusiaan dan HAM. Sikap emosional menolak, menuding dan mengecam keberadaan LGBT merupakan wujud dari ketidakberdayaan, kenaifan, keangkuhan serta pengingkaran terhadap asas kehidupan. LGBT adalah realitas, fenomena dan dinamika kehidupan. Keberadaan mereka sebetulnya bukanlah hal yang baru karena usianya sejalan dengan usia kehidupan manusia. LGBT dijadikan, bukan diciptakan
Artinya, ada sebab-akibat yang menyertai keberadaan LGBT di tengah-tengah kehidupan masyarakat, terlebih kenyataannya mereka terus eksis dan berkembang sampai kemudian publik ramai-ramai memperbincangkan, meributkan dan memperdebatkannya. Keberadaan LGBT sebetulnya tidak perlu menimbulkan perdebatan. Hanya saja, kebiasaan buruk berupa intoleran masih membudaya dan berakar pada sebagian masyarakat menyebabkan kegagapan dalam menerima kenyataan hidup. Itulah pekerjaan rumah pemerintah, masyarakat dan negara, yakni toleransi. Sikap intoleransi memang sedang marak belakangan ini akibat kegagapan sebagian masyarakat dalam memandang perbedaan yang senyatanya merupakan dinamika dalam kehidupan manusia, khususnya di Indonesia. Sikap intoleransi berkembang tidak mengembirakan di tengah-tengah kehidupan masyarakat, bahkan tak jarang tampil dengan wajah mengerikan dan mengancam sehingga timbulnya beragam aksi kekerasan yang sejatinya tidak perlu terjadi manakala pemahaman dan kesadaran tentang kehidupan dapat terlaksana dengan bijak. Menghadapi perbedaan dengan cara-cara detruktif dan kekerasan sudah barang tentu merupakan tindakan yang menyalahi aturan dan norma hidup. Sebab, Islam sendiri melarang keras berikap keras, provokatif dan merusak dalam menyikapi perbedaan tersebut.
Dalam kehidupan, Islam justru diharuskan untuk menjaga jiwa manusia (hifdzun nafs) demi terjaganya jiwa manusia dari aksi-aksi kekerasan. Pungkasan, kecaman, tudingan serta kekerasan yang dialamatkan kepada LGBT merupakan tindakan gegabah yang dilarang karena dapat menimbulkan ketidakharmonisan antar sesama manusia dalam kehidupan sosial. Untuk itu, keramahan sikap dan pendekatan persuasif dalam menyikapi perbedaan harus dikedepankan, ketimbang melakukan tindakan-tindakan intoleran yang sejatinya tidak perlu bahkan dilarang.