Friday 11 March 2016

Menanti Keramahan Islam Menyikapi LGBT

ILUSTRASI
Keberadaan kelompok LGBT sebetulnya tidak perlu disikapi secara berlebihan. LGBT lebih merupakan bagian dari dinamika kehidupan sosial dan fakta sahih bahwa manusia memang beragam bentuk, karakter dan sifatnya. Mengakui keberadaan LGBT tentu bukanlah sebuah dosa. Sebab, mereka juga adalah bagian dari masyarakat yang tumbuh dan berkembang sesuai kodratnya sebagai seorang manusia sehingga keberadaan mereka perlu dipandang dari berbagai sisi, bukan malah justru mencaci-maki, menghardik dan mendiskreditkannya. Mendiskreditkan LGBT adalah suatu kejahatan sosial. Penolakan terhadap keberadaan dan eksistensi mereka merupakan wujud dari kebutaan mata dari realitas hidup. Toh, realitas hidup sudah barang tentu bukan lahir dengan sendirinya, melainkan ada sebab-akibat serta faktor tertentu yang melatarbelakanginya. Andai kata hendak memperdebatkan soal LGBT, sebaiknya menggunakan nilai-nilai sosial kemanusiaan ketimbang secara sepihak mengecam dengan menggunakan legitimasi agama. Belakangan, dalil-dalil agama malah justru dijadikan legitimasi satu-satunya untuk melakukan kecaman terhadap LGBT. Tentu saja tindakan tersebut tak adil. 

Pasalnya, jika dicermati LGBT lebih merupakan persoalan psikologi kepribadian seseorang yang menyangkut soal motif, pemahaman, kecenderungan, pergaulan hingga gaya hidup. Artinya, mengecam LGBT dengan menggunakan legitimasi agama semata merupakan tindakan terburu-buru. Menuding mereka sebagai kelompok yang melakukan tindakan penyimpangan dan abnormal juga merupakan kesimpulan yang sepihak dan emosional. Tentu saja, kesimpulan dalam dalil-dalil Islam memandang LGBT adalah suatu keabnormalan sebagai seorang manusia. Sebab, menurut Qur’an manusia diciptakan secara berpasang-pasangan. Begitu pula dalam surat Al-Hujurat juga disebutkan bahwa manusia itu diciptakan dari dua jenis, yakni laki-laki dan perempuan.

Hal itu mengindikasikan bahwa selain dua jenis tersebut, Islam sendiri tidak menyebut LGBT sebagai jenis lain yang telah diciptakan oleh Tuhan di muka bumi. Atas dasar itulah sebagian besar umat Islam memandang LGBT adalah jenis manusia yang telah menyimpang dari kodrat penciptaan manusia sehingga muncullah tindakan pengecaman dan penolakan. Selain itu, umat Islam juga acap kali merujuk pada kisah kaum nabi Luth sebagai dalil sahih untuk menuding LGBT telah sesat dan menyimpang. Mengacu pada dua dasar di atas, penolakan terhadap LGBT sah-sah saja dilakukan. Akan tetapi, perlu sikap arif dalam menyikapi persoalan LGBT tanpa harus melakukan tudingan dan kecaman bernada emosional dan provokatif. Sebab, memandang LGBT secara manusiawi merupakan sebuah kewajiban antar sesama manusia karena bagaimana pun mereka juga memiliki hak yang sama di mata negara seperti tertera di dalam UU HAM Nomor 39 Tahun  1999 yang menyebutkan bahwa setiap orang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum, pemerintah dan setiap orang demi kehormatan serta perlindung akhlak dan martabat manusia. Untuk itu, menyikapi LGBT memang harus adil dan bijaksana. Merasa diri pihak yang paling berhak memiliki kehidupan bukanlah suatu perkara yang dibenarkan dari segi kemanusiaan dan HAM. Sikap emosional menolak, menuding dan mengecam keberadaan LGBT merupakan wujud dari ketidakberdayaan, kenaifan, keangkuhan serta pengingkaran terhadap asas kehidupan. LGBT adalah realitas, fenomena dan dinamika kehidupan. Keberadaan mereka sebetulnya bukanlah hal yang baru karena usianya sejalan dengan usia kehidupan manusia. LGBT dijadikan, bukan diciptakan

 Artinya, ada sebab-akibat yang menyertai keberadaan LGBT di tengah-tengah kehidupan masyarakat, terlebih kenyataannya mereka terus eksis dan berkembang sampai kemudian publik ramai-ramai memperbincangkan, meributkan dan memperdebatkannya. Keberadaan LGBT sebetulnya tidak perlu menimbulkan perdebatan. Hanya saja, kebiasaan buruk berupa intoleran masih membudaya dan berakar pada sebagian masyarakat menyebabkan kegagapan dalam menerima kenyataan hidup.  Itulah pekerjaan rumah pemerintah, masyarakat dan negara, yakni toleransi. Sikap intoleransi memang sedang marak belakangan ini akibat kegagapan sebagian masyarakat dalam memandang perbedaan yang senyatanya merupakan dinamika dalam kehidupan manusia, khususnya di Indonesia. Sikap intoleransi berkembang tidak mengembirakan di tengah-tengah kehidupan masyarakat, bahkan tak jarang tampil dengan wajah mengerikan dan mengancam sehingga timbulnya beragam aksi kekerasan yang sejatinya tidak perlu terjadi manakala pemahaman dan kesadaran tentang kehidupan dapat terlaksana dengan bijak. Menghadapi perbedaan dengan cara-cara detruktif dan kekerasan sudah barang tentu merupakan tindakan yang menyalahi aturan dan norma hidup. Sebab, Islam sendiri melarang keras berikap keras, provokatif dan merusak dalam menyikapi perbedaan tersebut.
Dalam kehidupan, Islam justru diharuskan untuk menjaga jiwa manusia (hifdzun nafs) demi terjaganya jiwa manusia dari aksi-aksi kekerasan. Pungkasan, kecaman, tudingan serta kekerasan yang dialamatkan kepada LGBT merupakan tindakan gegabah yang dilarang karena dapat menimbulkan ketidakharmonisan antar sesama manusia dalam kehidupan sosial. Untuk itu, keramahan sikap dan pendekatan persuasif dalam menyikapi perbedaan harus dikedepankan, ketimbang melakukan tindakan-tindakan intoleran yang sejatinya tidak perlu bahkan dilarang.
Disqus Comments