Friday 11 March 2016

Menanti Joko Widodo di Laut

 Ilustrasi laut Indonesia

Joko Widodo pantas menang dalam perhelatan Pilpres 2014 lalu. Sebuah kemenangan yang memang sudah sejak awal diprediksikan kebanyakan rakyat Indonesia, atau bahkan mungkin dunia. Tampil luwes dengan frame politik minor, Jokowi berhasil merebut hati rakyat di hampir seluruh penjuru nusantara. Jokowi tampak menjanjikan dalam kepemimpinan nasional.

Visi-misi Jokowi untuk mengurusi nasib bangsa ini menyuguhkan optimisme positif akan terciptanya sebuah perubahan di dalam setiap lini kehidupan. Termasuk di dalam menyangkut soal eksistensi dan kiprah bangsa ini di dataran laut karena Indonesia merupakan satu-satunya negara kepulauan terbesar di dunia.

Buktinya, Indonesia memiliki wilayah dengan panjang 5.200 km dan lebar 1.870 km, gugusan pulau sebanyak 17.508, panjang garis pantai 94.156 km, dan jumlah pelabuhan 2.154 buah membuat Indonesia memiliki modal kuat menjadi poros maritim dunia. Sedikit data itu mungkin jadi pegangan Jokowi. Setidaknya pada masa kampanye Piplres dua tahun lalu. Artinya, eks Walikota Solo menjanjikan di mata publik dengan kesadaran nusantara yang diusung sehingga jalan menuju Istana Negara pun begitu mulusnya. Akhirnya, Jokowi memimpin Indonesia, hingga kini telah menginjak usia tahun kedua. Tulisan ini tentunya tak bermaksud menyanjung agung sosok Jokowi. 

Karena bagaimana pun hebatnya Jokowi, presiden adalah jabatan politik yang diperoleh secara politis pula. Lebih-lebih konstelasi perpolitikan nasional yang terkadang tampil tak cukup mengembirakan dan menjanjikan, sebab hiruk pikuknya selalu dibarengi dengan nuansa dan dinamika kepentingan-kepentingan sehingga dapat disimpulkan Jokowi tidak berdiri sendiri. Hanya saja, melanggengnya Jokowi ke puncak kekuasaan tentu tak terlepas dari janji politik yang pernah ditawarkan.

Kalau janji-janji itu mentok pada wacana tanpa bukti dan realisasi, maka penghakiman publik secara moral akan datang dengan sendirinya. Ibarat bom waktu, kapan saja tanpa instruksi bakal meledak tanpa terduga. Karena itulah, salah satu cara terbaik mempertahankan kekuasaan ialah dengan tidak menafikan keterlibatan dan kontrol publik, terutama menyangkut soal kebijakan-kebijakan. Terlepas dari itu, gagasan tentang poros maritim dunia tentu masih hangat dalam ingatan publik negeri. Gagasan tersebut bisa disebut sebagai kata kunci dan gerbang pembuka Istana Negara bagi seorang Jokowi.

Sebuah gagasan langka yang merefleksikan bahwa kesadaran nusantara harus dihidupkan kembali setelah sekian tahun lamanya mati suri akibat keganasan perpolitikan nasional. Terlebih, sejak Orde Baru, gagasan tentang maritim terpendam dan tenggelam akibat pemerintah yang justru membangun Indonesia hanya semata mengandalkan land oriented sampai-sampai pegunungan pun seumpana rata dengan tanah di dataran rendah. Sementara laut terus membiru tanpa disentuh untuk pembangunan negara, padahal Indonesia adalah nusantara itu sendiri. Sebuah sebutan yang sudah melegenda, bahkan tak terbantahkan tentang kejayaannya.

Namun yang terjadi bertahun-tahun, pemerintah dengan bangga terus menerus membangun jembatan guna memotong laut dengan dalih memudahkan transportasi antar pulau. Sebuah kebijakan pemerintah yang tampak disengaja untuk membutakan mata rakyat dari potensi besar yang dapat dimanfaatkan dari keberadaan laut Indonesia. Bicara tentang laut dan pulau, Indonesia patut tampil di garda terdepan dibanding bangsa dan negara lainnya di dunia. Peta politik internasional kini tengah menghadap ke Asia Pasifik, termasuk Indonesia. Kiblat politik internasional yang mengarah ke kawasan Asia Pasifik ini membuat negara-negara besar panas, terutama pasca Tiongkok berhasil melakukan proses doktrinasi di negara-negara kawasan Asia dengan doktrin maritim string of pearl.

Sebuah doktrin pembangunan ekonomi berbasis kelautan guna menguasai jalur perdagangan negara-negara strategis di sepanjang wilayah jalur laut Tiongkok Selatan dan jalur sutra (Selat Malaka). Doktrin ekonomi dan politik Tiongkok di laut telah memancing perseteruan dan rivalitas (emerging rivalry) negara-negara besar macam Amerika Serikat, Rusia dan Jepang. Negara-negara besar tersebut sadar betul Tiongkok ingin tampil sebagai negara adidaya baru dalam kancah perpolitikan dan perekonomian global. Guna memuluskan doktrin kepentingan politik dan ekonominya, Tiongkok kini tengah merayu pemerintahan Jokowi agar turut serta mendukung dengan cara melakukan kerjasama di segala bidang, termasuk dukungan terhadap ide presiden soal progam tol laut.

Keinginan Tiongkok berjaya di laut merupakan misi dan ambisi utama Xi Jinping. Xi berusaha menghidupkan kembali jalur perdagangan laut yang pernah dikembangkan saudagar Tiongkok pada awal abad masehi silam. Jalur sutra, begitulah gagasan Xi yang tak lama berselang menginspirasi untuk tak dikatakan mempengaruhi Jokowi melontarkan ide tentang kelautan.  Secara tidak sadar, Jokowi tengah membantu Xi untuk memuluskan ambisinya menghubungkan pelabuhan-pelabuhan di Tiongkok sendiri dengan negar-negara ASEAN lainya lewat Selat Malaka yang dikenal di seluruh dunia sebagai jalur utama laut atau jalur sutra (sea lane of communication). 

Jalur sutra yang sedangan ingin dibangun Jokowi dan Xi nantinya akan terus terhubung dengan negara-negara Asia Tengah, menembus Samudra Hindia sampai menemui jalur  sutra darat di kawasan Eropa Tengah hingga perdagangan jalur laut nantinya benar-benar akan dikuasai Tiongkok. Fakta inilah yang kemudian menyulut bara api perseteruan dan rivalitas politik dan ekonomi di kawasan Asia Pasifik antara Tiongkok, AS, Rusia dan Jepang.

Tanpa bermaksud mendikte kepemimpinan Jokowi, perseteruan di kawasan Asia Pasifik tentu menjadi ancaman sekaligus peluang besar bagi Indonesia untuk tampil sebagai negara maritim dunia. Dikatakan ancaman karena Indonesia akan menjadi sebuah negara yang diperebutkan oleh negara-negara besar dengan tawaran-tawaran investasi, perjanjian hingga filatropi besar-besaran untuk merayu Indonesia agar tunduk dan patuh pada pengaruh tertentu. Lebih bahaya lagi kalau pengaruh tersebut sampai menyentuh ihwal paling asasi sebuah negara, yakni doktrinasi ideologi. Di situ, Indonesia membutuhkan kepemimpinan sejati yang tetap berpegang-teguh dengan Pancasila sebagai ideologi satu-satunya, serta harus memiliki visi kemaritiman yang kuat.

Sementara itu, dikatakan peluang besar manakala di bawah kepemimpinan Jokowi Indonesia mampu tampil sebagai panglima di sektor maritim. Bukan sekadar hanya menjadi pengikut, pengekor dan perantara belaka. Pungkasnya, presiden Jokowi diharapkan agar lebih berhati-hati dalam menyikapi arus perpolitikan yang sedang membara di kawasan Asia Pasifik. Segala macam bentuk kerjasama yang gencar dilancarkan oleh Tiongkok belakangan ini harus senada dengan kepentingan nasional, bukan untuk kepentingan kelompok tertentu. Sebab, mengutama kepentingan nasional merupakan amanat rakyat yang tidak dapat ditawar dan diganggu gugat demi tercapainya perubahan dan kemajuan bangsa, terutama di sektor pembangunan. Dan sektor kelautan kini merupakan harapan satu-satunya bangsa Indonesia untuk menciptakan sebuah peradaban semenjak kemolekan sektor daratan (continent) perlahan luntur.

Disqus Comments