Joko Widodo pantas menang
dalam perhelatan Pilpres 2014 lalu. Sebuah kemenangan yang memang sudah sejak awal
diprediksikan kebanyakan rakyat Indonesia, atau bahkan mungkin dunia. Tampil
luwes dengan frame politik minor, Jokowi berhasil merebut hati rakyat di
hampir seluruh penjuru nusantara. Jokowi tampak menjanjikan dalam kepemimpinan
nasional.
Visi-misi Jokowi untuk mengurusi nasib bangsa ini menyuguhkan
optimisme positif akan terciptanya sebuah perubahan di dalam setiap lini
kehidupan. Termasuk di dalam menyangkut soal eksistensi dan kiprah bangsa ini
di dataran laut karena Indonesia merupakan satu-satunya negara kepulauan
terbesar di dunia.
Buktinya, Indonesia memiliki wilayah dengan panjang 5.200 km
dan lebar 1.870 km, gugusan pulau sebanyak 17.508, panjang garis pantai 94.156
km, dan jumlah pelabuhan 2.154 buah membuat Indonesia memiliki modal kuat
menjadi poros maritim dunia. Sedikit data itu mungkin jadi pegangan Jokowi.
Setidaknya pada masa kampanye Piplres dua tahun lalu. Artinya, eks Walikota
Solo menjanjikan di mata publik dengan kesadaran nusantara yang diusung
sehingga jalan menuju Istana Negara pun begitu mulusnya. Akhirnya, Jokowi
memimpin Indonesia, hingga kini telah menginjak usia tahun kedua. Tulisan ini
tentunya tak bermaksud menyanjung agung sosok Jokowi.
Karena bagaimana pun
hebatnya Jokowi, presiden adalah jabatan politik yang diperoleh secara politis
pula. Lebih-lebih konstelasi perpolitikan nasional yang terkadang tampil tak
cukup mengembirakan dan menjanjikan, sebab hiruk pikuknya selalu dibarengi
dengan nuansa dan dinamika kepentingan-kepentingan sehingga dapat disimpulkan
Jokowi tidak berdiri sendiri. Hanya saja, melanggengnya Jokowi ke puncak
kekuasaan tentu tak terlepas dari janji politik yang pernah ditawarkan.
Kalau
janji-janji itu mentok pada wacana tanpa bukti dan realisasi, maka penghakiman
publik secara moral akan datang dengan sendirinya. Ibarat bom waktu, kapan saja
tanpa instruksi bakal meledak tanpa terduga. Karena itulah, salah satu cara
terbaik mempertahankan kekuasaan ialah dengan tidak menafikan keterlibatan dan
kontrol publik, terutama menyangkut soal kebijakan-kebijakan. Terlepas dari
itu, gagasan tentang poros maritim dunia tentu masih hangat dalam ingatan
publik negeri. Gagasan tersebut bisa disebut sebagai kata kunci dan gerbang
pembuka Istana Negara bagi seorang Jokowi.
Sebuah gagasan langka yang merefleksikan
bahwa kesadaran nusantara harus dihidupkan kembali setelah sekian tahun lamanya
mati suri akibat keganasan perpolitikan nasional. Terlebih, sejak Orde Baru,
gagasan tentang maritim terpendam dan tenggelam akibat pemerintah yang justru
membangun Indonesia hanya semata mengandalkan land oriented
sampai-sampai pegunungan pun seumpana rata dengan tanah di dataran rendah.
Sementara laut terus membiru tanpa disentuh untuk pembangunan negara, padahal
Indonesia adalah nusantara itu sendiri. Sebuah sebutan yang sudah melegenda,
bahkan tak terbantahkan tentang kejayaannya.
Namun yang terjadi bertahun-tahun,
pemerintah dengan bangga terus menerus membangun jembatan guna memotong laut
dengan dalih memudahkan transportasi antar pulau. Sebuah kebijakan pemerintah
yang tampak disengaja untuk membutakan mata rakyat dari potensi besar yang
dapat dimanfaatkan dari keberadaan laut Indonesia. Bicara tentang laut dan
pulau, Indonesia patut tampil di garda terdepan dibanding bangsa dan negara
lainnya di dunia. Peta politik internasional kini tengah menghadap ke Asia
Pasifik, termasuk Indonesia. Kiblat politik internasional yang mengarah ke
kawasan Asia Pasifik ini membuat negara-negara besar panas, terutama pasca
Tiongkok berhasil melakukan proses doktrinasi di negara-negara kawasan Asia
dengan doktrin maritim string of pearl.
Sebuah doktrin pembangunan
ekonomi berbasis kelautan guna menguasai jalur perdagangan negara-negara
strategis di sepanjang wilayah jalur laut Tiongkok Selatan dan jalur sutra
(Selat Malaka). Doktrin ekonomi dan politik Tiongkok di laut telah memancing
perseteruan dan rivalitas (emerging rivalry) negara-negara besar macam
Amerika Serikat, Rusia dan Jepang. Negara-negara besar tersebut sadar betul
Tiongkok ingin tampil sebagai negara adidaya baru dalam kancah perpolitikan dan
perekonomian global. Guna memuluskan doktrin kepentingan politik dan
ekonominya, Tiongkok kini tengah merayu pemerintahan Jokowi agar turut serta
mendukung dengan cara melakukan kerjasama di segala bidang, termasuk dukungan
terhadap ide presiden soal progam tol laut.
Keinginan Tiongkok berjaya di laut
merupakan misi dan ambisi utama Xi Jinping. Xi berusaha menghidupkan kembali
jalur perdagangan laut yang pernah dikembangkan saudagar Tiongkok pada awal
abad masehi silam. Jalur sutra, begitulah gagasan Xi yang tak lama berselang
menginspirasi untuk tak dikatakan mempengaruhi Jokowi melontarkan ide tentang
kelautan. Secara tidak sadar, Jokowi tengah membantu Xi untuk memuluskan
ambisinya menghubungkan pelabuhan-pelabuhan di Tiongkok sendiri dengan
negar-negara ASEAN lainya lewat Selat Malaka yang dikenal di seluruh dunia
sebagai jalur utama laut atau jalur sutra (sea lane of communication).
Jalur sutra yang sedangan ingin dibangun Jokowi dan Xi nantinya akan terus
terhubung dengan negara-negara Asia Tengah, menembus Samudra Hindia sampai
menemui jalur sutra darat di kawasan Eropa Tengah hingga perdagangan
jalur laut nantinya benar-benar akan dikuasai Tiongkok. Fakta inilah yang
kemudian menyulut bara api perseteruan dan rivalitas politik dan ekonomi di
kawasan Asia Pasifik antara Tiongkok, AS, Rusia dan Jepang.
Tanpa bermaksud mendikte kepemimpinan Jokowi,
perseteruan di kawasan Asia Pasifik tentu menjadi ancaman sekaligus peluang
besar bagi Indonesia untuk tampil sebagai negara maritim dunia. Dikatakan
ancaman karena Indonesia akan menjadi sebuah negara yang diperebutkan oleh
negara-negara besar dengan tawaran-tawaran investasi, perjanjian hingga
filatropi besar-besaran untuk merayu Indonesia agar tunduk dan patuh pada
pengaruh tertentu. Lebih bahaya lagi kalau pengaruh tersebut sampai menyentuh
ihwal paling asasi sebuah negara, yakni doktrinasi ideologi. Di situ, Indonesia
membutuhkan kepemimpinan sejati yang tetap berpegang-teguh dengan Pancasila
sebagai ideologi satu-satunya, serta harus memiliki visi kemaritiman yang kuat.
Sementara itu, dikatakan peluang besar manakala di bawah kepemimpinan Jokowi Indonesia mampu tampil sebagai panglima di sektor maritim. Bukan sekadar hanya menjadi pengikut, pengekor dan perantara belaka. Pungkasnya, presiden Jokowi diharapkan agar lebih berhati-hati dalam menyikapi arus perpolitikan yang sedang membara di kawasan Asia Pasifik. Segala macam bentuk kerjasama yang gencar dilancarkan oleh Tiongkok belakangan ini harus senada dengan kepentingan nasional, bukan untuk kepentingan kelompok tertentu. Sebab, mengutama kepentingan nasional merupakan amanat rakyat yang tidak dapat ditawar dan diganggu gugat demi tercapainya perubahan dan kemajuan bangsa, terutama di sektor pembangunan. Dan sektor kelautan kini merupakan harapan satu-satunya bangsa Indonesia untuk menciptakan sebuah peradaban semenjak kemolekan sektor daratan (continent) perlahan luntur.
Sementara itu, dikatakan peluang besar manakala di bawah kepemimpinan Jokowi Indonesia mampu tampil sebagai panglima di sektor maritim. Bukan sekadar hanya menjadi pengikut, pengekor dan perantara belaka. Pungkasnya, presiden Jokowi diharapkan agar lebih berhati-hati dalam menyikapi arus perpolitikan yang sedang membara di kawasan Asia Pasifik. Segala macam bentuk kerjasama yang gencar dilancarkan oleh Tiongkok belakangan ini harus senada dengan kepentingan nasional, bukan untuk kepentingan kelompok tertentu. Sebab, mengutama kepentingan nasional merupakan amanat rakyat yang tidak dapat ditawar dan diganggu gugat demi tercapainya perubahan dan kemajuan bangsa, terutama di sektor pembangunan. Dan sektor kelautan kini merupakan harapan satu-satunya bangsa Indonesia untuk menciptakan sebuah peradaban semenjak kemolekan sektor daratan (continent) perlahan luntur.