ILUSTRASI |
"Hidup tampak sudah tak lagi penting," seorang kawan berseloroh. Bukan karena kawan itu pesimis dan putus asa memandang dan menjalani hidup, melainkan hasil refleksinya tentang dinamika kehidupan manusia yang sudah tak lagi memandang hidup sebagai sesuatu yang esensial dijalani karena nyatanya tiap-tiap dinamika kerap kali dianggap sesuatu yang aksidental; selesai hari ini, besok tak dipikirkan lagi.
Omongan kawan itu sedikit banyak tentu ada benarnya. Toh, menjalani kehidupan memang bukanlah perkara yang mudah dan gampang, tetapi juga tidak sulit-sulit amat. Tak mudah karena kewajiban kita adalah memenuhi kebutuhan hidup yang kian terdesak serta selalu mendesak. Tak sulit-sulit amat karena kita harus lentur dan kompromi dengan segenap dinamika-dinamika hidup.
Poin terakhir memang agak sulit. Pasalnya, kebutuhan dasar masyarakat modern ialah tampil sebagai kelas menengah kalau tidak kelas atas (elite) karena takut jatuh miskin (baca: harta). Lantas kelas mana sih yang benar-benar bisa menikmati kehidupan? Sebagian besar orang akan bilang "kelas atas alias elite" karena tak pernah merasakan kekurangan harta. Ke mana-mana mudah, mau apa saja ada, bebas seenaknya.
Bertahun-tahun lamanya saya mencoba untuk tak terlalu terobsesi tuk menjadi masyarakat kelas menengah maupun kelas atas. Bukan karena tak mampu, karena apa saja bisa saya dapatkan asal diri saya mau berusaha dan berupaya, bahkan dengan segala macam cara, bisa-bisa saja. Toh, faktanya orang menjadi kaya bukan didapatkan secara instan melainkan karena dia mampu memanfaatkan kemampuan dirinya sendiri. Begitu bukan bung? Tapi, menjadi orang tak berpunya ternyata tak mudah menjalaninya.
Segala keadaan terasa hendak mencekik leher. Inilah, itulah. Semua membutuhkan keberpunyaan harta. Karena nyatanya hidup ini memang tak gratis alias berbayar. Lalu kita harus bagaimana bung? Sebab, kaya harta kadang membuat diri kita buta sebagai manusia.
Kalau pun ada orang yang kaya harta tampak berjiwa sosial tinggi tak lebih hanyalah pencitraan dan sikap yang seolah-olah, bukan murni dari kesadaran kemanusiaan dirinya. Entahlah. Tulisan ini masih antiklimaks.!