Friday 17 June 2016

Berlalulah Wahai Sosok Tauladan, Kini Aku Tak Sudi Mendengar Nasihatmu

ILUSTRASI
Sebuah pengalaman tak menyenangkan akhir-akhir ini menimpa sebuah artikel yang saya buat khusus dalam bentuk opini atau aspirasi. Tulisan yang sekira 6000 kata itu menuai sumpah serapah tak karu-karuan dari berbagai pihak, termasuk salah satunya tokoh yang jadi panutan banyak orang. Maaf, saya rahasiakan identitas dan namanya, khawatir fitnah dan ghibah.

Artikel yang saya buat itu sebtulnya hanya sederhana, tetapi hasilnya menyinggung banyak pihak yang berkepentingan. Melemparkan opini ke hadapan publik yang terlanjur fanatik dan berpihak memang sulit. Caci maki, sumpah serapah, tudingan dan kecaman tak lagi menjadi sebuah keheranan. Ya itu tadi, karena kita berhadapan dengan orang-orang yang fanatik dan berpihak, sehingga mereka enggan untuk sekadar bersikap arif dan adil.

Alhasil, kuping pun menjadi panas dengan komentar bernada sentimentil. Hal yang paling saya sesalkan adalah ketika membaca komentar dari orang yang selama kehidupan pergerakan selalu dijadikan referensi tunggal untuk meminta pendapat, saran dan nasihat. Beliau berkata dalam komentarnya "Orang yang menulis artikel ini tidak patut dijadikan contoh, tidak patut dipercayai karena menulis sesuatu hal yang kental dengan fitnah".

Atas komentar itu, saya dibilang goblok dan bodoh. di situ, kadang saya merasa sedih. Padahal, saya hanya bermaksud menuliskan sesuatu hal yang memang saya jumpai di lapangan serta gabungan dari sejumlah variabel yang dirangkai dalam sebuah tulisan. Tidak ada nuansa doktrinal dan dogmatis dari isi tulisan itu. Yang ada hanya semata mengeluarkan isi benak sebagai sebuah analisis sementara serta tak menutup kemungkinan untuk dibantah dan ditanggapi dengan opini lain.

Ya, sekurang-kurangnya diluruskan. Sayang sekali, harapan saya itu seumpama jauh panggang dari api. Tidak ada kalimat yang meluruskan, malah justru saya dituding tukang fitnah meski tak ada sedikitpun terbesit di dalam pikiran saya untuk melakukan tindakan haram fitnah. Komentar adil dan arif yang saya tunggu ternyata berbuah kecaman dan cemoohan.

Namun akhirnya saya mulai mengerti lebih dalam lagi bahwa tidak semua tokoh yang dibangga-banggakan itu dapat dijadikan sebagai teladan baik, (maaf) sekalipun dia disebut-sebut dan dikenal orang sebagai seorang alim ulama dan berpengetahuan agama tinggi. Atau mungkin dalam setiap tulisan saya perlu dimasukan sejumlah dalil-dalil suci supaya dia mau untuk sekadar mengerti. Ah, sudahlah. Kau memang sudah tak lagi pantas dijadikan sebagai tauladan baik. Cukup sampai di situ saja saya mempercayai sosok itu. Pudar...

Disqus Comments