Ilustrasi aktivitas jual-beli di sungai
Anehnya, hal itu jarang terjadi di Indonesia. Sungai selalu saja dikonotasikan bagian belakang rumah. Contoh, ketika kita ditanya apabila hendak membuang hajat. Sebagian besar masyarakat Indonesia menjawab "Mau ke belakang dulu, buang air", padahal belakang yang dimaksud tak lain dan tak bukan ialah sungai. Pun, kebenaran saja posisi rumah selalu membelakangi sungai. Semua orang seperti sudah lumrah dan paham belakang yang dimaksud ialah sungai. Membuang hajat di sungai, belakang rumah.
Kebiasaan memandang sungai selalu identik dengan belakang sudah mengakar di tengah-tengah masyarakat. Dari generasi ke generasi terus diidentikkan sehingga persepsi terhadap sungai itu terus menerus soal tempat pembuangan hajat di belakang rumah. Artinya, seperti ada semacam telah terjadinya pendangkalan budaya yang membuat orang tak lagi memandang sungai sebagai sebuah kebutuhan dalam setiap aktivitas kehidupan. Sementara, manfaat sungai sangatlah banyak dan berguna dalam melakoni berbagai aktivitas kehidupan, mulai dari ekonomi hingga soal kebutuhan transportasi.
Di masa lampau, sungai adalah sumber penghidupan dan kehidupan. Hampir seluruh aktivitas perekonomian seperti perdagangan, jual beli, tukar menukar barang kesemuanya terjadi di sungai. Sungai mampu mempertemukan, mengikat dan mempersatukan semua golongan masyarakat. Bahkan, aktivitas-aktivitas perekonomian sebetulnya dimulai dari sungai (juga laut) hingga akhirnya menjorok ke daratan.
Demikian pula halnya dengan transportasi. Sungai adalah jalur transportasi pertama sebelum akhirnya jalan raya di darat dibangun. Kebudayaan maritim nusantara yang dipelopori nenek moyang sebetulnya hendak menegaskan kepada generasi mendatang bahwa laut dan sungai merupakan jalur perdagangan dan transportasi utama demi keberlangsungan kehidupan manusia. Abai terhadap keberadaan sungai, sama halnya abai terhadap kebudayaan, terutama Indonesia. Jadikanlah sungai sebagai beranda terdepan dari halaman rumah anda.!